29 Desember 2011

DETAK JANTUNG DAN BUNYI JARUM JAM



“Aku menyayangimu jauh sebelum mengenalmu” kata lelaki pada perempuan yang mendengarkannya.
“Kamu memang pintar menggombal, sudah berapa banyak perempuan yang takluk oleh gombalanmu?”
“Kata-kataku tadi tidak dimaksudkan untuk menggombali kamu, apalagi untuk menaklukan perempuan”
“Lalu apa maksud dari kata-kata tadi?”

Kedua orang itu lalu ditelan keheningan. Beberapa bayangan berjalan-jalan dalam kepala masing-masing. Barangkali dugaan-dugaan baru akan lahir setelahnya. Siksaan selalu mengintai setiap keheningan dengan gigi-gigi tajam prasangka. Waktu berjalan pada lintasan yang pasti, namun merasakannya jadi sesuatu yang tidak dapat dipastikan. Paling tidak begitulah yang dialami lelaki dan perempuan itu.

“Aku menyayangimu sebagai kewajiban sesama manusia, karena kita harus menyayangi bahkan terhadap semua makluk bernyawa di bumi ini. Ah, maafkan aku jika kata ‘sayang’ terlalu sensitif bagimu”
“Tidak. Aku suka kamu berani mengatakannya”
“Terima kasih. Aku suka atas penerimaanmu terhadap kata-kataku”
“Apakah kau menyukaiku?”

Lelaki itu dihantui keinginan untuk mengatakan bahwa detak jantungnya masih seperti biasa ketika mengatakan telah menyayangi perempuan itu. Tapi ia tetap menyimpannya di dalam dada. Baginya itulah adalah kesekian kalinya ia berkata yang sama kepada perempuan. Walau kesekian kalinya juga ia dikatakan gombal oleh perempuan. Pertayaan terakhir perempuan itu kembali mengundang keheningan untuk mereka.

“Aku mulai menyukaimu semenjak mengenalmu”
“ Apa yang membuatmu suka padaku?”
“Segala kebaikan dan kelebihan yang kamu miliki”
“Kenapa kamu bisa mengatakan aku baik dan memiliki kelebihan? Aku merasa biasa saja”
“Kata-katamu sebelum ini jadi salah satu sebab aku menyukaimu”
“Ah, kamu bisa saja. Ayo katakan alasan kenapa kamu menyukaiku?”

Datang juga masanya lelaki itu untuk mencari alasan atau mencari-cari alasan. Yang terakhir ini selalu dihindarinya, karena ia telah memikirkan apa yang akan diucapkannya. Baginya alasan menyukai seorang perempuan jadi rahasia sementara sebelum tiba waktu yang tepat untuk mengatakannya. Alasan menyukai wanita itu telah ia simpan dalam ingatannya menjadi kenangan yang ia pelihara dengan baik. Lelaki itu mengambil nafas dalam-dalam seolah memasukkan alasan ia menyukai perempuan itu ke dalam dadanya.

“Suatu saat nanti akan kujelaskan padamu”
“Kapan? Kamu bisa saja membuatku jadi penasaran”
“Pada waktu yang kurasa tepat nantinya. Tidak masalah kamu jadi penasaran, asal tidak diiringi prasangka-prasangka”
“Agar aku tidak berprasangka, maukah kamu mengatakannya sedikit saja?”
“Sebenarnya aku telah mengatakan lebih banyak padamu dalam kata-kataku sebelumnya”
“Kamu serius? Kata-katamu yang mana?”

Lelaki itu berusaha mengatur detak jantungnya. Sekarang ia merasakan dirinya jadi sangat sensitif. Selama perbicangan semua perasaan yang dirasakannya telah ia sampaikan dengan sepenuh hati. Ia mencoba meyakinkan dirinya kalau pertanyaan perempuan itu sebagai keinginan untuk meyakini sesuatu, yaitu dirinya.

“Aku serius mengatakan semua kata-kata tadi padamu. Semoga tidak mengubah perasaanmu padaku”
“Tidak jadi masalah bagiku. Aku takut membayangkan jika perempuanmu tahu kamu     mengatakan sayang dan suka padaku”
“Hahaha, percayalah tidak ada perempuan seperti dalam bayanganmu itu”
“Aku meragukannya. Lelaki sepertimu pasti dengan mudah dapat memikat hati perempuan mana saja”
“Kamu terlalu berlebihan memujiku”
“Buktinya aku sudah merasakannya”

Menikmati detik-detik yang saling berganti sekarang seolah menikmati waktu yang hilang. Perbincangan telah membuat mereka melupakan jarum jam sedang menunjukkan angka apa. Semua yang dikatakan adalah semua yang dirasakan. Barangkali inilah hakikat dari perbincangan. Tapi mengatakan semua yang dirasakan hanya jadi sebatas usaha, karena tidak semua yang dirasakan dapat dikatakan.

“Kita telah mengatakan saling menyayangi dan menyukai, mungkinkah kita dapat saling mencintai? Tapi sebelumnya aku ingin tahu cinta itu menurutmu apa?”
“Bagiku cinta itu adalah semua alasan kita melakukan perbincangan ini, sebelum dan sesudahnya. Kita  bisa saja saling mencintai selama perbincangan demi perbincangan kita lakukan. Karena diam tidak mampu mengungkapkan cinta itu sendiri.”
“Apakah perbincangan yang sudah sering kita lakukan dapat menumbuhkan rasa cinta itu?”
“Tentu saja. Aku katakan sekarang kalau perasaan cintaku mulai tumbuh kepadamu. Tapi aku berusaha untuk...”

Tuuut....tuuut...tuuut...

Keheningan terjadi lagi di antara mereka. Bukan karena sebuah pertanyaan, tapi sebuah pernyataan yang belum tuntas disampaikan. Lelaki itu berusaha menenangkan jantungnya yang tadi berdetak lebih cepat dari biasanya. Di dalam pikirannya perempuan yang berada di kota lain itu sedang menerka-nerka pernyataannya tadi. Sungguh ia tidak ingin perempuan itu menciptakan terkaan-terkaan yang buruk terhadapnya. Jemarinya bergetar saat menekan huruf-huruf di layar ponselnya.

Perasaan cinta memang telah tumbuh dan akarnya menancap dengan kuat. Tapi aku berusaha lebih kuat untuk tidak membiarkannya tumbuh lebih besar. Karena meyakini  kalau perbincangan saja belum cukup untuk membesarkan cinta yang mulai tumbuh itu. Kita juga butuh perjumpaan demi perjumpaan untuk memeliharanya. Sekarang saatnya kita untuk memelihara perasaan cinta masing-masing, barangkali ada tunas baru yang dapat ditumbuhkannya pada waktu dan tempat lain di mana kita dapat berjumpa atau saling melupakan.

Setelah pesan singkat itu terkirim lelaki itu kembali berdamai dengan detak jantungnya. Bunyi jarum jam yang mengabarkan detik demi detik berlalu mengingatkan ia pada pagi yang menanti. Lelaki itu mulai mengatupkan matanya sambil menikmati malam bersama detak jantung dan bunyi jarum jam. Bunyi yang terasa sama saat mengabarkan kehidupan, namun tersimpan dalam dua wujud yang tidak sama atau dapat  disamakan. Barangkali dapat menjadi pengandaian dirinya dengan perempuan di kota lain itu.

 Semarang, Akhir 2011

#cumanaksirunite
 Nb: Cerita ini adalah fiksi yang diinspirasi kisah dengan perempuan dalam foto di bawah ini


12 November 2011

Tonggak Dingin

selama mata terpejam kau coba menyembunyikan tubuh dari tatapan matahari
keheningan menetas dari peluh yang menetes. pohon nangka menggetahi sunyi
mungkin jarak terlalu abstrak atau sembunyi terlalu rapi bagi mata yang perjaka
di tiang-tiang rumah gadang terngiang tawa yang hilang sebelum mengaji petang
di mana tongkat rotan tak segan melayang ke tangan gadis ke kaki bujang

tapak masih belum meninggalkan jejak di bawah pohon nangka
dada ke atas atau sekeping tubuh akan diadu dengan kencang lari
menjemput kenangan di tonggak yang menggigil di tinggalkan

kau yang mengaku penyair datang membawa hangat dalam segantang kata
bagai penari telanjang memilin-milinkan tubuhnya di tiang besi klub malam
ingin menggagalkan dingin menggigilkan tonggak di depan rumah gadang
yang menjelma jadi pohon nangka. sunyi dilepas dan digetahi berkali-kali

semarang, 2011

24 Oktober 2011

Bagai Anak-anak Pantau



Bagai anak-anak pantau ia tumbuh di tubuh
Datangnya gaib: entah turun dari langit entah bangkit dari bumi
Ia berenang dalam mimpimu melompat dari dalam mimpiku

Esok pagi saat engkau membasuh tubuh
Kau temui ia bermain di pemandian
Berenang cepat menghindar gayung
Lalu lambat mengarung tengah riak

Di pemandian ia tak akan jadi mas, mujair, atau gabus
Seperti gayungmu tak akan jadi tangguk berjaring rapat

Jika busa sabun membuatnya mabuk
hingga melepas ruh  di sela batu-batu kecil
Nanti malam ia berenang lagi dalam mimpimu
Karena datangnya gaib: turun dari langit entah bangkit dari bumi

Semarang , 2010

Melempar Gerbong Kereta Api



Kereta api ini engkau yang pilihkan.
Mimpiku terburai di jendela, untung tidak pecah.
Tadi kau mencintaiku. Punggung orang jadi kekasihku.
Kereta api tidak berhenti seperti mimpi.
Tidak ada mimpi di balik kelopak mata.
Gerbong-gerbong dalam tubuh sesak
Tidak ada stasiun di tanganku

Siang ini orangan sawah kesepian: ditinggal petani dan padi
Terlalu susah mencari katak juga buah jambu
Seorang bocah  ingin naik kereta api.
Tadi ia mendengar cerita kereta api dari kakeknya
Ia memungut bongkah tanah kering.
Sebentar kereta api menghibur orangan sawah.

Aku lemparkan bongkah tanah ke jendela kereta api.
Terburai tapi tidak memecah.
Kereta itu terlalu panjang.
Pagar ladang tebu di seberang
Di luar gerah. Tidak ada irigasi di tubuhku.
Kereta api membawa pergi ladang tebu
Lalu melempar ritihan bunyi peluit

Semarang, 2011

Bintang di Atas Piring


: semacam puisi untuk kado pernikahan seorang sahabat

Tidak perlu menyamakan potongan melintang belimbing dengan bintang
Karena lima sudut lancipnya begitu akrab dengan jari yang mengembang
Tidak perlu membaca kerut kening orang yang memakan belimbing matang
Karena lidah paling paham tentang asam dan manis yang lebih atau kurang
Lidah yang tidak pernah berdusta tentang rasa yang tak dapat dilihat mata

Belimbing matang di batang dipetik lelaki pada terang siang
Lelaki yang menjadikan tangannya tampuk bagi segala yang dipetik
Tubuhnya adalah batang yang bertahan terhadap kumbang penggirik
Lelaki yang akan berjalan dengan kaki-kaki yang menghindari
Pintu mini market  yang di gagangnya ditulisi “dorong”
(walau ditarik masih dapat terbuka untuk datang dan pergi)
 Di mana belimbing menggigil dalam steoroform dan plastik


Piring menguning menghidangkan pisau dan belimbing
Pisau yang diasah orang Lintau dibasuh dingin air Ngalau
Semakin tajam semakin paham pada sayat yang tepat

Pada hari depan ia menyadari pisau akan lapuk dan belimbing akan busuk
Namun mereka telah menanam tajam dan asam pada pangkal  malam
Hingga pada suatu ketika kita perlu juga mengamini kesamaan
Potongan melintang belimbing dengan bintang di buku gambar

Semarang, 2011

5 Oktober 2011

Rumah Sederhana di Taman Kanak-kanak


Ia paling setia menanti setiap kepulangan. Seakan tubuhnya dibentuk dari penantian-penantian yang berganti setiap hari. Tubuhnya tahan terhadap tamparan udara dingin. Tidak pernah ia mengeluhkan panasnya siang. Bentuk tubuh yang berubah adalah buah dari perjalanan waktu, namun ketenangannya tak pernah berubah, tak pernah goyah. Ia hidup karena penantian, akan selalu hidup karena menanti. Menanti suatu kepulangan juga menanti suatu kehilangan.
***
Ia paling setia melepas kepergian. Seakan tubuhnya dibentuk dari pelepasan-pelepasan yang berganti setiap hari. Tubuhnya tangguh pada setiap air mata yang jatuh. Tabah terhadap jabat tangan sebagai tanda berpisah. Ia tidak menyimpan laut luas dalam dada untuk berlayar kapal-kapal yang mengangkut kepedihan. Hanya sumur kecil dengan dua mata air yang dapat melepaskan dahagamu. Kehilangan tidak akan membuatnya nelangsa. Baginya tidak ada kesepian yang ditinggalkan oleh kepergian. Kepergian adalah hidupnya dan akan tetap hidup selama kepergian masih terjadi.
***
Selalu terasa ada yang kurang setiap kali ada yang ditambah. Ia membuka mulut lebar-lebar untuk lapar yang tak pernah terbayar. Pintu-pintu di tubuhnya adalah jalan lapang yang kerontang. Dilalui ketika pulang atau pergi sudah tidak ada yang peduli.  Semua yang berlalu terasa hampa. Anginpun segan untuk menyapa.
***
Seorang bocah menyusun tubuhnya dengan potongan kayu sederhana—warna dan potongannya. Sisi-sisi yang rumit tidak dipandang, mungkin juga telah hilang. Siang itu di taman kanak-kanak sebuah rumah telah dibangun. Keringat bening dari kening bocah menetes lemah ke atap rumah sederhana itu. Rumah itu hanya dibangun dengan balok, kubus, dan prisma. Bocah itu membayangkan tubuhnya masuk ke dalam rumah yang telah dibangunnya. Di dalamnya ia akan berlarian, pipis, tidur, bermimpi, bermain, dan membuat rumah baru lagi.
Kepala bocah itu ditengadahkan sambil telentang. Ia baru bangun dari tidurnya dan langsung melihat rumah baru yang tadi dibangun dan dimimpikannya. Masih tetap sederhana dan tenang. Sebentar lagi sopir pribadi menjemputnya ke sekolah. Ia akan menanam rindu untuk membangun rumah baru lagi pada esok harinya. Di rumahnya semua mainan memiliki sisi-sisi yang rumit. Ia merasakan mainan itu sama dengan rumahnya. Ia tidak pernah bermimpi ingin tidur di sana.
Semarang, 2011


4 Oktober 2011

Yang Hilang Yang Tak Sempat Dipandang



Kutemukan kau pada gelap siang dan terang malam
Di tempat yang tidak diketahui mata kita berjumpa
Percakapan tentang derita dan cerita cinta
Adalah api yang tak mengenal kata padam

Udara di sekitar menjelma tubuh yang ditunggu
Kutukan ibarat peluru yang ditembakkan waktu
Dari retakkan bulan darah mengalir ke mata
Bermuara di dada yang setia menampung segala

Kata telah menemukan jalan ke dalam kalimat
Bagai tukang pos yang setia merapal alamat
Karena hilang hanyalah yang datang tak sempat dipandang
Seperti cinta bisu di lidah namun mengerang dalam dada

Semarang, 2011

2 Oktober 2011

Keripik Balado dan Susu Coklat


Kembali saya berusaha mengingat kenangan dengan makanan. Saya berusaha memahami benda-benda di sekitar saat mulai menulis. Karena benda-benda itu sangat dekat dan mudah diamati. Benda yang setia menemani, paling tidak untuk sementara sebelum bermuara di lambung. Seperti kenangan yang sungguh dekat dengan tubuh, karena tubuh adalah media dari kenangan itu sendiri.
Keripik balado adalah makanan yang terbuat dari irisan singkong yang digoreng dengan lada goreng. Makanan sederhana yang bertahan sampai sekarang. Keripik balado yang berwarnah merah dan kadang terlihat sisi-sisinya yang menghitam karena penggorengan dan minyak yang tergenang dalam kemasan plastiknya.
Tidak susah untuk membuat sendiri makanan ini, namun tidak semua orang ahli dalam membuatnya. Keripik balado yang bagus adalah keripik yang renyah—tidak keras atau lembek. Kalau untuk dijual di warung biasanya keripik balado dikemas dalam bungkusan-bungkusan kecil. Harganya juga sangat memasyarakat, berkisar Rp 500,00 sampai Rp 1.000,00 saat ini.
Saat masih sekolah dasar keripik balado adalah jajanan yang setia mengisi salah satu sudut di meja kantin. Makanan yang tidak akan basi jika tidak habis satu hari. Pada kenyataannya memang sangat jarang keripik balado habis satu hari. Mungkin karena bentuknya yang kurang menarik atau karena setiap hari selalu tersedia. Keripik balado kadang jadi jajanan yang paling sering tersisa ketika jam pelajaran sudah selesai. Namun ada sebuah kejadian yang membuat semua itu berbalik dengan cepat. Keripik balado menjadi jajanan paling laris, bahkan pada istirahat pertama sudah habis.
Sebelumnya saya jelaskan dulu perbedaan antara keripik dan kerupuk di tempat kami. Keripik untuk jenis yang lebih kecil ukurannya dan tidak dijual secara satuan. Sedangkan kerupuk adalah yang bentuknya lebih besar dan dijual secara satuan.
Awalnya mungkin karena ketidak sengajaan, seorang teman yang ingin membeli kerupuk kuah kecewa karena kerupuknya habis. Karena kerupuk yang khusus untuk dikuahi habis maka dia membeli keripik balado yang diberinya kuah. Kuah yang dimaksud adalah kuah sate untuk kerupuk kuah. Perpaduan rasa kuah sate dengan pedas keripik balado ternyata memberikan sensasi rasa yang menarik. Rasa nikmat yang baru itu langsung tersebar ke telinga teman-teman yang lainnya. Hingga keripik balado hari itu habis dengan kuah kerupuk kuah.
Besok harinya keripik balado habis sedangkan kerupuk kuah  masih tersisa. Kuah yang sedianya untuk kerupuk telah menjadi padanan baru untuk makan keripik balado. Guru yang menjaga kantin sampai kewalahan mengatur murid-murid yang membeli keripik, karena pemilik kerupuk kuah dan keripik balado berbeda. Pada akhirnya pemiliki keripik balado menyediakan sendiri kuah untuk keripiknya.
Begitulah sebuah makanan dapat menjadi lebih nikmat dengan dikombinasikan jenis makanan lain. Walaupun berawal dari ketidak sengajaan, sampai sekarang jajanan keripik balado pakai kuah tetap bertahan di sekolah saya dulu. Bagaimana dengan kita agar tetap bertahan dalam kemajuan zaman dan perubahan gaya hidup sekarang. Karena itu perlunya kita juga berkombinasi dengan manusia lain untuk tetap bertahan mengikuti kemajuan zaman ini. Saling melengkapi dan saling memberi rasa. Lalu apa hubungan tulisan saya ini dengan susu coklat seperti judul di atas? Susu coklat adalah teman saya dalam menulis tulisan ini. Mungkin saya ibaratkan susu coklat adalah kamu yang sempat membaca tulisan ini. Maafkanlah pengibaratan saya ini jika terlalu…...
Semarang, 03 Oktober 2011

1 Oktober 2011

Terkenang Masa Kecil karena Makan Mie Instant Mentah


Tidak dapat ditolak kenangan itu datang menyelinap ke dalam pikiranmu sekarang, seperti kedatangan kejadiannya pada masa lalu. Sesuatu yang datang berpasangan –baik dengan buruk, pahit dengan manis dan lainnya. Tidak ada kuasa untuk menampik agar yang datang selalu baik atau manis. Usaha untuk mengenang segala yang terjadi bagai mendirikan rumah dengan puing-puing runtuhannya. Selalu saja ada bagian yang hilang atau terlupakan walau niat untuk menghilang dan melupakannya telah kita buang dan kuburkan.
Mengenang masa kecil adalah kembali mendirikan rumah dengan coretan-coretan di dinding. Seperti melukis mural di pinggir jalan. Banyak yang melihat namun sedikit yang menikmati apalagi memahami. Kenangan telah terbenam dalam kepalamu hingga kadang susah untuk kembali menemukannya di tengah lautan pikiran. Pikiran seperti hari yang selalu berganti. Pikiran yang bertumbuh dan berkembang seiring usia. Dan waktulah yang setia mendampinginya dalam proses pematangan.
Kenangan tentang masa kecil ditemukan pada malam ini lewat sebungkus mie instant yang dimakan mentah. Suara dari mie yang diremukkan jemari jadi kode pintu rahasia kejadian puluhan atau belasan tahun lalu. Kali ini kenangan datang lewat suara, bukan karena gambar sudah tidak mampu lagi terbayangkan. Suara mie yang remuk tidak pernah berubah, hingga tidak butuh waktu lama bagi telinga menangkap isyaratnya.
Makan mie instant mentah memang sangat jarang saya lakukan semenjak dari SMP sampai sekarang, yang berarti pernah dilakukan beberapa kali. Pada kali terakhir ini suaranya membawa saya kembali pada kenangan. Ketika masih SD, beberapa tahun sebelum pergolakan mahasiswa tahun 1988, mie instant menjadi jajanan ekslusif di sekolah. Uang jajan harian saya hanya cukup untuk membeli sebungkus mie instant. Jika saya membeli mie instant maka saya tidak dapat menikmati jajanan lainnya sedangkan jadwal istirahat ada dua kali.
Seringkali saya dan teman bersepakat untuk membeli jajanan di sekolahan pada jam istirahat pertama dan mie instant pada jam istirahat ke dua. Untuk membeli jajanan menggunakan uang dia dan membeli mie instant menggunakan uang saya, begitupun sebaliknya. Pada waktu itu harga mie instans Rp 250,00 sedangkan harga sate tahu kuah kacang atau keripik singkong pedas atau jagung iris manis yang dijual di kantin sekolah Rp 50,00. Mungkin karena perbedaan harga yang mencolok  mie instant menjadi makanan ekslusif bagi saya dan teman-teman di sekolah.
Bagi teman yang orang tuanya pemilik warung yang menjual mie instant dan teman yang memiliki uang jajan lebih banyak, untuk menikmati mie instant mentah adalah perkara yang mudah. Jika mereka sedang makan mie instant mentah sudah pasti dikelilingi oleh teman-teman lainnya.  Teman-teman yang ingin ikut menikmatinya karena  diberi atau meminta. Minyak sayur dalam kemasan mie sering dimitoskan oleh orang tua di kampung dengan minyak orang mati, hal ini untuk mencegah keinginan kami meminta uang jajan tambahan.
Sebungkus mie yang dimakan dengan beberapa orang teman memang terasa lebih nikmat. Sebuah penghargaan yang absurd diberikan kepada seorang yang sering makan mie instant mentah di sekolah. Kadang dia menjadi pemimpin atau penentu sebuah permainan yang akan dimainkan, atau mendapat bantuan tanpa dimintanya. Seolah mie instans adalah jubah kebesaran seorang raja. Dengan mie instant mendapatkan perhatian dan penghormatan secara instant pula.
Sekarang mie instant tidak lagi menjadi jajanan ekslusif di tempat saya bersekolah dulu, mungkin juga di semua sekolah dasar di Indonesia. Sudah banyak variasi jajanan memenuhi meja di kantin sekolah dengan harga yang juga lebih mahal. Mie instant tidak lagi menjadi makanan yang dapat mendatangkan penghargaan. Bahkan hal sebaliknya bisa datang karena pengetahuan tentang resiko dari kebanyakan mengonsumsinya.
Terompah waktu yang menginjak kita setiap saat selalu menyisakan kenangan dengan segala benda dan kejadiannya. Setiap penilaian dan pemaknaan bertumbuh atau luruh karena kenyataan sekarang. Kenangan seringkali tidak seperti benda kuno yang semakin lama semakin berharga. Berubah bentuk serupa model pakaian atau gaya rambut pemiliknya. Harganya menjadi absurd dalam kantong-kantong pikiran, lalu menyerah kepada kelihaian kita dalam menawarkan dan menjualnya kepada hari ini.
Semarang, 02 Oktober 2011



25 September 2011

Api dari Mulut Naga


Kayu-kayu tertumpuk di antara tegak tungku, tidak tertata. Api dari pemantik mulai memakan kayu hingga gemerisik mulai terdengar dari kayu yang terbakar. Api menyala menjulang sampai melewati pucuk tutup periuk. Makin menjulang. Kayu menjadi abu dengan terburu-buru begitu juga dengan gulai yang dimasak.

Penggambaran di atas saya alamatkan pada puisi-puisinya Naga Sukma terhadap banyaknya ide yang ingin disampaikan. Hingga meledak-ledak lalu redup tersendak-sendak. Ada panas yang menjadi sia-sia dan dapat membuat santan gulai menggelelegak tak layak.

Ide yang banyak memang  jadi berkah bagi seorang penulis namun jadi lanyah jika dituangkan secara terburu-buru. Butuh ketabahan dan kejelian dalam menuangkannya ke dalam sebuah tulisan khususnya puisi.  Agar puisi yang ditulis dapat dinikmati pembaca sebelum dijadikan bahan kontemplasi jika memungkinkan, agar tidak seperti yang terjadi dalam puisinya “Pengemis”
Banyak yang lewat, tak banyak yang memberi

Puisi seringkali tidak hanya kata-kata kosong--tanpa makna tanpa isi. Selalu ada yang ingin disampaikan baik secara berterang-terang maupun bergelap-gelap. Disampaikan dengan diksi-diksi terpilih agar menarik dibaca dan tepat dalam berkata. Puisi juga mengandung emosi di tubuhnya serta dapat melahirkan cerita dari cerita. Jika kita menceritakan hal biasa dengan emosi yang biasa mungkin setiap orang telah melakukannya—walau tidak menuliskannya.

Kadang puisi juga dibangun oleh kata-kata yang filosofis. Menciptakan makna yang universal dan menyerahkan sepenuhnya pada pembaca. Naga Sukma dalam pengelanaannya sempat menuliskan, manusia lupa bagaimana menjadi manusia. Kata-kata tersebut begitu menohok pembacanya yang tentu saja manusia. Bagaimana manusia yang sebenarnya manusia? Naga Sukma menggiring kita pada pertanyaan itu dan menyerahkan jawaban sepenuhnya kepada kita sendiri.

Karena terlalu banyaknya ide yang ingin disampaikan maka izinkan saya mencurigai Naga Suka memberi judul puisinya “Catatan, Puisi, dan Celoteh”. Tiga hal yang kadang bisa dijadikan satu atau dipisah satu dengan lainnya. Setiap hal itu bisa saja dilebur menjadi satu, yaitu puisi dengan penataan ide yang runut dan terjaga. Karena Naga Sukma telah memberi batasan pada judulnya maka saya dapat mengamini di antara banyak jeda terdapat celoteh-celoteh yang penuh emosi, catatan tentang diri sendiri, dan puisi yang berdiri sendiri.

Dengan catatanya Naga Sukma menampilkan dirinya dalam, bukuku membaca aku/sedang aku tak terbaca olehmu/angin yang cerai akan mendung. Penulisnya mungkin ingin atau mungkin saja yakin kalau dirinya memang tidak terbaca. Naga Sukma menjadi penulis yang misteri dengan tulisannya hingga pembaca sulit melacak jejak dari tulisannya, namun jejak tersebut masih nampak sedikit walau agak rumit.

Emosi yang menggebu sangat nampak dalam celotehannya, seperti tentang fakultas-fakultas di universitas. Sangat terasa Naga Sukma melihat fakultas itu dengan mata merah lalu mengeluarkan api dari mulutnya. Emosi yang tinggi membawanya ke celoteh-celoteh sekolah rendahan. Emosi yang tinggi membuat Naga Sukma juga lupa menuliskan judul untuk beberapa celotehanya atau mungkin puisinya. Akan lebih baik jika emosi yang menggebu dan ide yang banyak itu diolah secara cerdas dan terpelihara agar dapat melahirkan tulisan yang apik dan enak dibaca.


Tikungan Terakhir yang Getir

Tidak bisa dipungkiri perjalanan yang ditempuh ini akan mengalami titik akhir. Sebelumnya bisa saja ada tanjakan, turunan, jalan lurus, dan tikungan. Zulfa Fahmi memilih tikungan di bait terakhir puisinya. Tikungan yang tidak mudah ditebak akan mengarah ke mana. Tikungan terakhir yang getir. Tikungan terakhir yang mematahkan segala persepsi pembacanya lalu mengarahkan ke sebuah jalan yang perawan dengan pemandangan yang menawan.

Zulfa Fahmi dalam puisinya melahirkan cerita dari cerita. Seperti dalam puisinya “Ikan dalam Sumur”, pada dua baris terakhir puisinya tikungan itu mengantarkan pembaca pada inti dari cerita yang dipuisikan. Sangat tidak dapat diduga jika ikan berenang ke arah kegetiran kehidupan dalam keluarga. Cerita yang lahir dari cerita juga dapat ditemukan pada puisi “Kredit” penulisnya melunasi kredit-nya dengan kegetiran yang membuat kita tertarik untuk balik membacanya.

Dalam menulis puisi yang bercerita memang layak jika kita melahirkan sebuah cerita baru. Dalam berimajinasi kita juga dituntut untuk berempati agar imajinasi terasa lebih berisi. Ketika berimajinasi tentang rasa sakit kita dapat merasakan sakit itu seperti apa hanya dengan jalan berempati. Meresapi lebih dalam. Memahami hal-hal apa saja yang terjadi dan terlihat dari suatu peristiwa yang diceritakan atau dipuisikan.

Mencoba atau menciptakan gaya baru dalam berpuisi memang sebuah godaan atau dapat disebut sebuah tantangan bagi seorang penyair. Dalam puisi “Pak Pres” penulisnya nampak mau mencoba gaya baru. Puisi diisi dengan percakapan. Namun Zulfa Fahmy tidak memberi tanda kutip (“) pada setiap percakapan yang berlangsung hingga pembaca dipaksa memahami percakapan yang dituliskan. Percakapan yang terjadi juga terasa melompat-lompat.

Keberanian dan ketepatan dalam memilih diksi dapat menimbulkan decak kagum pada pembaca. Metafora yang menarik terasa apik ketika dituliskan Zulfa Fahmy seperti: Kutaruh motorku di remukan bulan, Ibunya menangis ditampar debu dan beberapa penggalan kalimat lain yang terasa sangat memikat. Jika penulisnya dapat mempertahankan kekuatan pada kata-katanya tidak bisa disangkal kalau puisi-puisi yang lahir langsung menjadi dewasa.

Untuk mendapatkan diksi yang tepat penulis tidak mesti mengambil dari benda-benda yang jauh dari tubuhnya. Benda-benda yang akrab dengan diri dapat dimasukkan ke dalam puisi karena kita lebih memahami benda tersebut seperti baju, buku, pensil, sepeda motor dan lainnya. Benda-benda yang selalu menemani kita setiap hari dapat diberi nyawa ketika masuk ke dalam puisi.

Puisi-puisi yang lahir dari dua orang penyair di atas membawa kita pada aliran emosi dan kepekaan terhadap keadaan dan peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Hal ini menunjukkan masih ada kepedulian dari generasi muda yang diwujudkan dalam tulisan berupa puisi. Puisi-puisi mereka bergelora dalam semangatnya. Menohok. Menaiki bukit-bukit tragedi lalu terjun dengan payung puisi. Di mana mereka akan berlabuh? Semua tergantung kelihaian mereka menarik tali payungnya. Di jurang batu, padang rumput yang lembut, atau pantai yang damai. Selamat terjun dengan kata-kata dan pilih tempat berlabuhmu penyair.
Semarang, 16 September 2011


7 Juni 2011

Sesembilu yang Tertinggal

Lepas bunga terakhir dari kepang rambut isyaratkan malam ini telah memuara
Lahirlah para penjual daging asin dan tulang masam tanpa dasi di antara dua saku
Lewat kabel-kabel listrik ia menyelinap dan saling menyalip agar sampai ke mata
Lalu lilin mati meninggalkan sesembilu di atas meja dan segelas air jeruk dingin

Di museum ia menjadi  pemandu maha tahu
Menjelaskan kisah dari ribuan tahun yang berlalu
Aku pelancong yang diantar oleh kaki-kaki ragu
Ingin memotret dan menyimpanmu dalam saku baju

Mungkin kau telah menjadi perawat di ruang gawat darurat
Sedang aku adalah darah basah yang keluar dari luka ke luka
Sesembilu yang tertinggal di atas meja melepas semua keringat
Aku masih mengalir dari luka hingga memuara pada lupa

Semarang, 2011

23 Mei 2011

Kapankah Kita Akan Tua?

Kejutan terbesar dalam kehidupan manusia adalah usia tua ~Leo Tolstoy

Apakah batasan antara tua dan muda? Pertanyaan ini mungkin terdengar nyeleneh, tidak penting atau absurd. Batasan antara tua dan muda itu saya yakini ada, namun saya tidak tahu tempat tepatnya dimana. Jika merujuk pada usia yang terdiri dari angka-angka, pada umur berapakah tua  dimulai atau muda diakhiri. Umur tidak hanya jadi satu batasan antara tua dan muda, saya juga percaya ini. Lalu apa batasan lain dari tua dan muda? kerut kulit, jumlah uban, gaya berpakaian, bau badan, tebal kaca mata, kecepatan berjalan, jumlah gigi, kekuatan otot, kadar gula, bongkok badan dan apapun mungkin bisa dijadikan sebagai petunjuk namun tidak bisa memastikan batasannya dengan tepat.

Batasan tua dan muda mungkin sama seperti lukisan abstrak dan puisi yang susah dipahami. Setiap orang bisa memberikan apresiasi sesuai “tebal kacamata” atau “panjang rambut”. Batasan yang diciptakan secara abstrak itu telah diamini oleh banyak orang  dan didakwahkan kepada banyak orang lainnya.

Banyaknya perusahaan atau kegiatan yang merengkrut manusia dalam jumlah banyak seringkali mencantumkan usia maksimal atau minimal sebagai salah satu syaratnya. Ada semacam penelanjangan terhadap usia yang merupakan hasil dari kuasa waktu yang berjalan. Saya tidak menentang pembatasan usia sebagai syarat tersebut, tulisan ini hanya untuk melihat indikasi terhadap batasan tua dan muda yang telah diamini.

Dalam hubungan vertikal kita dengan Tuhan, muda dan tuapun mendapat perhatian khusus, seperti beribadah ketika muda akan diganjar pahala lebih banyak ketimbang beribadah ketika tua. Mungkin beribadah ketika tua lebih ditenagai oleh banyangan akan mati.

Mungkin hanya cinta yang kurang memberikan batasan terhadap tua dan muda. Saya sengaja memakai kata “mungkin” sebelumnya. Barangkali angka-angka pada usia, kerut kulit, jumlah uban, kadar gula dan semuanya itu tidak memiliki kuasa atas cinta, apalagi kalau cinta itu sudah buta, barangkali. Seperti digambarkan film Elegy, seorang mahasiswa cantik yang diperankan oleh Penelope Cruz jatuh hati pada seorang profesor yang diperankan oleh Ben Kingsley. Profesor yang memilih hidup sendiri untuk melakukan petualangan cinta dan telah memiliki anak yang sebaya atau mungkin lebih tua dari mahasiswi yang dipacarinya. Cinta mereka tidak memandang angka-angka usia, jumlah uban, kerut kulit, kadar gula atau penyakit yang diidap. Mungkin dalam berbagai film dan sinetron tema semacam ini sudah sering diangkat. Namun saya mencoba mengungkit sisi lain dari hubungan mereka.  

Si professor tidaklah seorang dengan pribadi yang baik, tidak memiliki ketampanan yang mencolok atau harta yang berlimpah. Dia hanya memiliki semangat dan keyakinan yang kuat serta pengolahan pengalaman dalam “permainan” untuk  meraih apa yang diinginkan. Dengan ketiga hal tersebut angka-angka usia, kerut kulit, jumlah uban, kadar gula seakan tidak punya kuasa terhadap hidupnya.

Apakah semangat, keyakinan dan pengalaman bisa menjadi batasan yang tepat untuk tua dan muda? Tulisan ini tidak untuk menjawab pertanyaan itu, namun saya akan setuju apabila ada yang dapat menghitungnya secara matematis. Lalu apakah batasan tepat untuk tua dan muda menurut saudara?

Menaklukan Udara

: untuk sahabat-sahabat luar biasa di Creative Writing Room, FLS 2011



Kita percaya udara takluk oleh kata ketika menulis
Seperti dia menaklukan suara yang keluar dari mulut

Kemarin aku melihat horison baru terlahir
dan menggenggam lapisan bumi yang perawan
Saat melihat dan menggenggam aku percaya
melakukannya dari mata dan tangan kalian

Sekarang benang-benang di tubuh kita telah putus
Namun selalu ada benang di tubuh kata, jadi kain di tubuh kita

Serupa jalan bagi kaki, begitu harapan menulis bagi kita
yang mengalamatkan ke persinggahan dan tujuan tubuh ini
Menaklukan kuasa udara dengan kata-kata tak bersuara

Kita tidak pernah tahu kapan akan berjumpa lagi
Tapi selalu tahu kata jadi perjumpaan paling setia

Semarang, 2011

12 Mei 2011

Tiga Tujuan di Tubuhmu



Puncakmu menumbuhkan jarak depa demi depa
Bagai pinus gugurkan daun untuk tetap tegak
Kami yang gugur di lembah basah
Tempat riuh merayu bulu-bulu di akarmu
Berapa dalamkah jarak akan diselam
Elang terbang mengitari matahari
Di pinggangmu--simpang jalan babi hutan dan
pencari kayu-- ada yang terengah dan tengadah
Anjing pemburu terburu mencari anak air
Masih jauhkah jalan ke puncak tubuhmu
 
Di kakimu --lembah basah—kami yang gugur gelisah
Tumpah jadi genangan
Berharap pada musim untuk sampai ke puncakmu lewat awan
Masih lamakah hujan akan datang
 
Semarang, 2011

10 Mei 2011

Jarak Malam



Kamu masih terjaga
Aku sedang belajar tidur
Malam jadi cincin di jari manis

Ranjang ini terlalu lapang
Pintu rumah tertutup rapat
Kau datang bersama angin
Hingga aku dipagut dingin

Jarak telah ditikam malam
Kita bagai subuh dan pagi
Aku burung di ranting kayu kering
Kau penembak yang sedang hening

Kamu masih terjaga
Aku sedang menuju tidur
Siang  jadi jari manis tanpa cincin

Semarang, 2010

Maut Musim Malam



di tapak yang masih lekat pada jejak
alas kaki penunggang ia pasang
yang pandai memilih jalan dan
 lihai menghindar nganga lubang
payung hitam dilipat dan diikat erat
 remas pada ujung baju turut dilepas

ke padang ilalang ia jelang untuk merangkai miang jadi kembang
sebelum api jadikan jerebu sebelum angin lesapkan jalan pulang
genggam sepasang bingkai siap pasang untuk yang mengendap:
di ujung lidah sudut mata dan ujung jari

seiring pagi menikam malam
 ia menjadi benang-benang bening
menjangkau ujung seberang
 tempat tatap ingin berkandang
agar tak selamanya jadi penumpang
yang hanya tahu tempat berpegang

Semarang, 2010

Tentang Sajak yang Tak jadi Kubaca di Depanmu


Dari hati yang hati-hati ku tulis sajak untuk dibaca di depanmu.
Agar kata yang kadang bagai katak berjalan pelan ke tubuhmu
Sekarang sajak itu retak tanpa genang air tempat katak biasa melompat

Semarang, 2010