23 Mei 2011

Kapankah Kita Akan Tua?

Kejutan terbesar dalam kehidupan manusia adalah usia tua ~Leo Tolstoy

Apakah batasan antara tua dan muda? Pertanyaan ini mungkin terdengar nyeleneh, tidak penting atau absurd. Batasan antara tua dan muda itu saya yakini ada, namun saya tidak tahu tempat tepatnya dimana. Jika merujuk pada usia yang terdiri dari angka-angka, pada umur berapakah tua  dimulai atau muda diakhiri. Umur tidak hanya jadi satu batasan antara tua dan muda, saya juga percaya ini. Lalu apa batasan lain dari tua dan muda? kerut kulit, jumlah uban, gaya berpakaian, bau badan, tebal kaca mata, kecepatan berjalan, jumlah gigi, kekuatan otot, kadar gula, bongkok badan dan apapun mungkin bisa dijadikan sebagai petunjuk namun tidak bisa memastikan batasannya dengan tepat.

Batasan tua dan muda mungkin sama seperti lukisan abstrak dan puisi yang susah dipahami. Setiap orang bisa memberikan apresiasi sesuai “tebal kacamata” atau “panjang rambut”. Batasan yang diciptakan secara abstrak itu telah diamini oleh banyak orang  dan didakwahkan kepada banyak orang lainnya.

Banyaknya perusahaan atau kegiatan yang merengkrut manusia dalam jumlah banyak seringkali mencantumkan usia maksimal atau minimal sebagai salah satu syaratnya. Ada semacam penelanjangan terhadap usia yang merupakan hasil dari kuasa waktu yang berjalan. Saya tidak menentang pembatasan usia sebagai syarat tersebut, tulisan ini hanya untuk melihat indikasi terhadap batasan tua dan muda yang telah diamini.

Dalam hubungan vertikal kita dengan Tuhan, muda dan tuapun mendapat perhatian khusus, seperti beribadah ketika muda akan diganjar pahala lebih banyak ketimbang beribadah ketika tua. Mungkin beribadah ketika tua lebih ditenagai oleh banyangan akan mati.

Mungkin hanya cinta yang kurang memberikan batasan terhadap tua dan muda. Saya sengaja memakai kata “mungkin” sebelumnya. Barangkali angka-angka pada usia, kerut kulit, jumlah uban, kadar gula dan semuanya itu tidak memiliki kuasa atas cinta, apalagi kalau cinta itu sudah buta, barangkali. Seperti digambarkan film Elegy, seorang mahasiswa cantik yang diperankan oleh Penelope Cruz jatuh hati pada seorang profesor yang diperankan oleh Ben Kingsley. Profesor yang memilih hidup sendiri untuk melakukan petualangan cinta dan telah memiliki anak yang sebaya atau mungkin lebih tua dari mahasiswi yang dipacarinya. Cinta mereka tidak memandang angka-angka usia, jumlah uban, kerut kulit, kadar gula atau penyakit yang diidap. Mungkin dalam berbagai film dan sinetron tema semacam ini sudah sering diangkat. Namun saya mencoba mengungkit sisi lain dari hubungan mereka.  

Si professor tidaklah seorang dengan pribadi yang baik, tidak memiliki ketampanan yang mencolok atau harta yang berlimpah. Dia hanya memiliki semangat dan keyakinan yang kuat serta pengolahan pengalaman dalam “permainan” untuk  meraih apa yang diinginkan. Dengan ketiga hal tersebut angka-angka usia, kerut kulit, jumlah uban, kadar gula seakan tidak punya kuasa terhadap hidupnya.

Apakah semangat, keyakinan dan pengalaman bisa menjadi batasan yang tepat untuk tua dan muda? Tulisan ini tidak untuk menjawab pertanyaan itu, namun saya akan setuju apabila ada yang dapat menghitungnya secara matematis. Lalu apakah batasan tepat untuk tua dan muda menurut saudara?

Menaklukan Udara

: untuk sahabat-sahabat luar biasa di Creative Writing Room, FLS 2011



Kita percaya udara takluk oleh kata ketika menulis
Seperti dia menaklukan suara yang keluar dari mulut

Kemarin aku melihat horison baru terlahir
dan menggenggam lapisan bumi yang perawan
Saat melihat dan menggenggam aku percaya
melakukannya dari mata dan tangan kalian

Sekarang benang-benang di tubuh kita telah putus
Namun selalu ada benang di tubuh kata, jadi kain di tubuh kita

Serupa jalan bagi kaki, begitu harapan menulis bagi kita
yang mengalamatkan ke persinggahan dan tujuan tubuh ini
Menaklukan kuasa udara dengan kata-kata tak bersuara

Kita tidak pernah tahu kapan akan berjumpa lagi
Tapi selalu tahu kata jadi perjumpaan paling setia

Semarang, 2011

12 Mei 2011

Tiga Tujuan di Tubuhmu



Puncakmu menumbuhkan jarak depa demi depa
Bagai pinus gugurkan daun untuk tetap tegak
Kami yang gugur di lembah basah
Tempat riuh merayu bulu-bulu di akarmu
Berapa dalamkah jarak akan diselam
Elang terbang mengitari matahari
Di pinggangmu--simpang jalan babi hutan dan
pencari kayu-- ada yang terengah dan tengadah
Anjing pemburu terburu mencari anak air
Masih jauhkah jalan ke puncak tubuhmu
 
Di kakimu --lembah basah—kami yang gugur gelisah
Tumpah jadi genangan
Berharap pada musim untuk sampai ke puncakmu lewat awan
Masih lamakah hujan akan datang
 
Semarang, 2011

10 Mei 2011

Jarak Malam



Kamu masih terjaga
Aku sedang belajar tidur
Malam jadi cincin di jari manis

Ranjang ini terlalu lapang
Pintu rumah tertutup rapat
Kau datang bersama angin
Hingga aku dipagut dingin

Jarak telah ditikam malam
Kita bagai subuh dan pagi
Aku burung di ranting kayu kering
Kau penembak yang sedang hening

Kamu masih terjaga
Aku sedang menuju tidur
Siang  jadi jari manis tanpa cincin

Semarang, 2010

Maut Musim Malam



di tapak yang masih lekat pada jejak
alas kaki penunggang ia pasang
yang pandai memilih jalan dan
 lihai menghindar nganga lubang
payung hitam dilipat dan diikat erat
 remas pada ujung baju turut dilepas

ke padang ilalang ia jelang untuk merangkai miang jadi kembang
sebelum api jadikan jerebu sebelum angin lesapkan jalan pulang
genggam sepasang bingkai siap pasang untuk yang mengendap:
di ujung lidah sudut mata dan ujung jari

seiring pagi menikam malam
 ia menjadi benang-benang bening
menjangkau ujung seberang
 tempat tatap ingin berkandang
agar tak selamanya jadi penumpang
yang hanya tahu tempat berpegang

Semarang, 2010

Tentang Sajak yang Tak jadi Kubaca di Depanmu


Dari hati yang hati-hati ku tulis sajak untuk dibaca di depanmu.
Agar kata yang kadang bagai katak berjalan pelan ke tubuhmu
Sekarang sajak itu retak tanpa genang air tempat katak biasa melompat

Semarang, 2010

6 Mei 2011

Batang Air


Ia hanya mengalir
Tidak mengenal pasang surut

Tanpa aur tebing memerah
Serupa wajah lelaki pemancing
yang menggenggam joran kayu

Kincir air tak kenal lagi lumut
Ia telah berkarib rayap dan semut
Kijang air berenang lambat
Dekat mujair yang melarat

Batu-batu kecil menjadi rumah-rumah batu di seberang
Tempat seorang puan resah menunggu lelakinya pulang

Walau di batang waktu ia mulai bertubuh sungai
Mulai lelah membasahi reranting hingga dedaunan
Untuk buahnya yang akan jadi karib ikan dalam rumah batu
Ia tetap batang air, batang air.
Yang mengalir dan tak mengenal pasang surut

Batusangkar, 2010

MEGALOMANIA*


: Marhalim Zaini

Seorang pemancing yang berjalan ke hulu
Setelah membaca isyarat pasang di muara
Melempar pancing bermata tiga
Satu mata menancap di bajunya
Sambil menanti, Ia terus bergumam
“Semakin besar umpan, semakin besar ikannya”

Jaring batu dalam ingatannya membatu
Akan dibenamkannya ke kepala nelayan menjelang malam
Agar esok pagi para istri bersuka-ria menyambut suaminya
Dalam kepalanya ikan-ikan duyung berenang lelah

Ia juga menyimpan sebuah kursi dalam kepalanya
Goyangan kursi itu serupa bandul jam
yang memikat hati tubuh-tubuh yang resah
Pada tubuh-tubuh itu ia berkata
“Masuklah ke dalam kepalaku, lelahmu akan luruh”

Sembilan Puluh Sembilan Sembilu


Sembilan puluh sembilan sembilu di meja tamu
Dan segelas air jeruk dingin yang baru kau peras
Di kaca meja kulihat mata kita
Memisah dan berjalan meraba-raba

Pertemuan hanyalah es batu dalam gelas
Yang luruh tanpa kita sentuh
Sebelum utuh jadi air
Ia tumpah ke atas lidah

Aku mengeluarkan satu sembilu dari lambung
Ketika es batu belum sepenuhnya cair
Di dinding almanak ditiup angin sore
Di lembar belakangnya potret kucing
sedang menjilati bulu-bulunya yang basah

Batusangkar, 2010

Malaikat Bercambuk



Masihkah kau pelihara pusara atas jenazah yang dulu kutanam di kepalamu
Dan selalu kita ziarahi: mencabut duri-duri, menabur melati, menyiram air wangi dan merapal doa-doa suci.

Sekarang aku tak pernah lagi datang berziarah

Barangkali jenazah itu sudah habis daging disusup cacing dan tandas dimamah tanah sampai ke tulang-tulangnya
(Jenazah yang telah melewati ribuan purnama)
Mungkin juga kau telah mengganti pusara tua itu dengan pusara lain dengan nama lain
dan jenazah yang ditanam orang lain

Sekarang aku tak pernah lagi datang berziarah

Aku telah menggali lubang baru di kepala: merupa kuburan, tanpa pusara, tanpa jenazah
Dan selalu aku kunjungi: Mencabut duri-duri, menabur melati, menyiram air wangi dan merapal doa-doa suci.

Sekarang aku menjelma malaikat bercambuk
Berkarib cacing dan tanah
Bersemayam di lubang kosong yang merupa kuburan

Berjuang Mengingat


Ditanah yang mengandung janin tak serupa
Kutumpuk rindu dalam saku untuk digadai saat sansai
Manakala bekal tak cukup sebagai penggerak tungkai
Dan padangan gamang melihat jalan belakang telah purba

Teringat aku yang selalu menyusup kepangkalmu saat siang musim kemarau
Ya..aku selalu menyusup agar meraka tak dapat menapaki tapakku
Aku tak pernah menyiang belukar disekitar gaharu
Supaya mereka sukar mencium wangi tubuhmu

Kalaulah waktu itu tiba
Kau sandarkan kepala dibahuku
Bercerita tentang batang digirik kumbang dan semut beristana di dedaunan
(karena memang telah lama tak kusiangi)
Dan kau mohonkan “potonglah batang ini!”

Aku tak ingin bunga putik dan pucuk itu menyapa bumi
Aku relakan mereka jadi bagian dari tubuhmu yang wangi merangsang
Karena kumbang kembangkan benih juang saat diserang
Dan semut menyulut ingatan saat disengat
Bukankah dengan ini kita berjuang saling mengingat