20 Februari 2012

Tur Jepara: Dalam Hujan Tetap Bersuara


Kota lumpia Semarang dipilih menjadi titik pertemuan semua anggota Spartacks yang akan berangkat ke Jepara pada 19 Februari kemarin. Tidak adanya akses langsung ke Jepara dari beberapa kota besar tempat Spartacks banyak bermukim seperti: Bandung, Jabodetabek, dan Yogyakarta adalah alasannya. Rombongan dari Bandung dan Jabodetabek sampai di kota ini hampir bersamaan dengan kendaraan yang berbeda. Rombongan dari Bandung yang mengendarai mobil sedangkan Jabodetabek menumpangi kereta api kelas ekonomi sampai di Semarang saat matahari pagi mulai merekah.
Lelah dan kantuk setelah melewati perjalanan jauh raib dari wajah mereka dalam pertemuan yang hangat di stasiun Poncol, sebelum menuju kost salah seorang teman (Guri Ridola) di kawasan kampus Undip, Tembalang, yang menjadi tempat berkumpul terakhir sebelum ke Jepara. Pertandingan antara Semen Padang FC melawan Persijap Jepara yang akan dihelat pada pukul 19.00 memberikan kesempatan mereka untuk beristirahat sejenak. Rombongan Yogyakarta seperti sejalan dengan hujan ketika sampai di Semarang, tepat ketika dua rombongan sebelumnya lelap dalam tidur masing-masing.
Menuju kota ukir Jepara selama dua jam perjalanan, dengan mengendarai empat mobil rombongan berangkat pukul setengah tiga dari Semarang. Gerimis menyambut ketika sampai di tujuan. Beberapa orang perwakilan Banaspati juga turut menjemput untuk mendamping perjalanan ke stadion. Rombongan akhirnya dibagi menjadi dua, satu ke hotel Jepara Indah untuk menemui pemain dan memberi semangat langsung, dan rombongan lainnya langsung menuju stadion Gelora Bumi Kartini.
Gerimis hilang ketika kami semuanya berkumpul di sekretariat Banaspati untuk bersilaturrahmi dan pengurusan masalah tiket. Hangatnya sambutan seolah mengalahkan cuaca dingin akibat gerimis yang turun. Berbagi cerita, berbagi tawa adalah tradisi yang senantiasa dilakukan sebelum bersaing dalam memberikan dukungan kepada tim yang dibela.
Dengan diiringi perwakilan Banaspati rombongan menuju tribun Selatan, tribun khusus untuk tamu di stadion Gelora Bumi Kartini. Tirai air dari langit turun lebih besar hingga seluruh rombongan kuyup ketika pertandingan baru akan dimulai. Beberapa spanduk sebagai “supporter bisu” dibentangkan dipagar stadion. Setelah itu berbagai yel-yel, nyanyian, dan mars Spartacks bergema seperti hendak mengalahkan bunyi hujan dan suara supporter Persijap untuk mendukung Semen Padang FC.
Feri Ferdian, Theo, Fiki, Radith bergantian menjadi dirigen untuk mengomandoi rombongan meneriakan yel-yel, mars, dan nyanyian. Mulai dari “Spartacks datang, Semen Padang pasti menang…Alah lamo denai manantikan…Nasi padang, ikan randang…Taksi biru, taman melati..” sampai “Kampuang Den Jauah Di Mato” meliuk-liuk di udara, juga di antara gema suara supporter lawan. Bunyi senar dipukul yang dibawa oleh rombongan Jabodetabek menambah semangat dan menguatkan detak dalam dada untuk terus mendukung Semen Padang dalam keadaan hujan ataupun panas.
Hujan hanya berhenti turun ketika jeda babak pertama, hingga tidak ada pilihan lain untuk tetap hangat selain dengan bersorak dan bergerak. Hasil akhir yang pahit dan harus diterima tidak menyurutkan semangat rombongan untuk terus memberikan dukungan kepada Semen Padang FC. Dalam hujan kita tetap bersuara. Barangkali dapat diartikan secara harfiah dan pemaknaan. Secara harfiah telah dibuktikan. Secara pemaknaan hujan dapat berarti kekalahan yang mesti kita terima. Hujan yang membagi basah secara rata, kepada pemain, official, supporter, dan seluruh warga Sumatera Barat dan perantau Minangkabau di manapun berada.
Selama-lamanya hujan turun pasti akan reda jua, sebasah-basahnya tubuh pasti akan kering jua. Sebuah semangat masih tersimpan dalam dada rombongan tur Jepara kemarin. Kalah bukan alasan untuk berhenti memberikan dukungan kepada tim, mencari-cari kambing hitam, atau menghujat pemain dan official yang telah berusaha keras sebelum dan selama pertandingan. Kalah adalah perjalanan yang mesti ditempuh. Dan memberikan dukungan penuh adalah langkah-langkah yang terus akan digerakkan. Semoga dan senantiasa

Sasaka



17 Februari 2012

Hari Ini Belajar, Besok Mengajar, Lusa Belajar


Siang itu saya berdiri di hadapan dua puluh lima orang siswa-siswi kelas XI Madrasah Aliyah Hasyim  A’syari kecamatan Welahan, Jepara, dalam rangka memberikan lokakarya pembuatan zine. Saya mendapat bagian materi penyampaian konten dan laporan jurnalistik dalam zine. Mengenai sejarah dan praktek pembuatannya disampaikan oleh @Adin sebelum dan sesudahnya.

Pada awal saya memasuki kelas, terdengar bisk-bisik dari belakang tentang baju yang saya pakai. Waktu itu saya memakai baju Semen Padang FC, kebetulan Minggu nanti Semen Padang akan bertandang ke kandang Persijap Jepara. Kejadian ini saya jadikan langkah awal untuk memulai perbincangan dengan mereka. Setelah dipaparkan materi tentang konten dan laporan jurnalistik, para siswa mulai membuat zine sesuai selera dan kemampuan mereka. Adin dan saya menekankan kepada mereka untuk menikmati kebebasan dalam berkarya dan mengeskplorasi kreatifitas mereka seliar mungkin. Dikatakan Adin kepada mereka, “Saat umur kalian ‘segini’ adalah saat imajinasi kalian liar dan berapi-api”.

Selama satu jam bekerja, mereka yang dibagi menjadi enam kelompok telah menghasilkan media bagi diri mereka sendiri dan lingkungannya dalam bentuk zine. Kreatifitas mereka pantas untuk diapresiasi. Salah satu zine yang menarik adalah yang mengangkat tema “Teroris”. Cara mereka memandang teroris tidak hanya secara subjektif. Mereka menghujat keadaan negara yang dirasa secara tidak langsung melahirkan teroris-teroris baru, pemahaman agama yang salah, serta menghadirkan sisi lucu dari teroris lewat karikatur. Teknik kolase (potong-tempel) yang dilakukan juga bervariasi. Mereka menciptakan cerita-cerita baru dari gambar kartun yang diambil dari koran. Cara pemotongan yang memisahkan bagian-bagian dari sebuah objek juga  dapat menimbulkan kesan puitis. Pada akhir pertemuan saya bacakan sepenggal puisi Sutardji kepada mereka. Percuma bebas kalau tidak bertelur, Percuma bertelur kalau tidak menetas

***
Ingatan saya melesat ke pertengahan tahun 2011, saat itu saya dan teman-teman dalam grup Creative Writing pada acara Future Leader Summit 2011 menjadi peserta lokakarya pembuatan zine yang juga dimotori oleh Adin. Kami membuat zine juga dengan teknik kolase, tidak hanya itu, karena dipaparkan juga teknik lainnya dengan menggunakan media digital. Hari itu saya belajar membuat zine.

Ini bukanlah de javu tapi hayalan secara sadar yang jadi kenyataan. Ketika berdiri menyampaikan materi kepada para siswa, saya merasakan energi besar yang sudah lama tertahan keluar. Cara-cara mengajar yang selama ini masih melayang-layang dalam kepala saya dapat terkeluarkan. Bagaimana cara menarik perhatian, memberikan motivasi, menciptakan suasana yang santai dan nyaman agar materi dapat diterima dengan baik, membantu mereka dalam mengembangkan imajinasi, dan menciptakan kesan menarik pada akhir pertemuan. Secara sadar saya menghayal jadi seorang pengajar.

Dulu saya belajar membuat zine, sekarang saya mengajarkan cara membuat zine. Sebuah perputaran yang hakiki dan tidak akan pernah berhenti. Belajar lalu mengajar, mambaca lalu menulis. Setelah merasakan mengajar, tentu masih banyak koreksi yang menuntut saya untuk kembali belajar. Belajar cara mengajar, dan belajar tentang hal-hal yang akan diajarkan. Begitu juga setelah merampungkan tulisan ini, saya harus membaca tulisan lain, dan membuat tulisan lain. Perputaran  hakiki yang mesti terus dijalani.



15 Februari 2012

Pikiran Benak


Pikiranmu telah berkelana ke hari depan sedang kau hidup pada hari ini. Pikiranmu menakar sesuatu. Sebuah rahasia abadi. Menakar seolah memudah-mudahkan yang sukar. Rahasia itu hanya seakan kau pecahkan, kau ketahui. Serasa kau telah menjalani hari depanmu pada hari ini, merasakan segala kesenangan dan kesedihan. Padahal semua itu masih menjadi sesuatu praduga.
Engkau bayangkan pada hari depan itu hanya ada penerimaan atau penolakan, keberhasilan atau kegagalan. Ketika pikiranmu membayangkan penerimaan dan keberhasilan, meraih semua hal yang kau inginkan sebelumnya, yang telah kau rasakan akan memilikinya, semua itu tentu akan membuatmu tersenyum sepanjang malam. Kamu selalu menikmati keberadaan itu dan terus ingin memeliharanya. Euforia mengikat dirimu senantiasa. Engkau terlena dalam kecurigaan terhadap rahasia.
Namun mimpi buruk itu datang ketika pikiranmu membayangkan hari depan yang buruk, di mana terjadi penolakan dan kegagalan. Membuatmu begitu sentimental terhadap isyarat dari orang-orang di sekelilingmu. Sekecil atau setidak-jelasnya isyarat yang kau terima akan menjadi besar dan jelas karena sentimentalmu itu. Kau mulai menghujat dirimu yang terburu-buru, yang menempuh resiko, walau sebelumnya kau  meyakini telah mengambil langkah yang tepat pada waktu yang tepat dengan perhitungan yang cermat pula. Akhirnya kau merasakan kesia-siaan dan kehilangan sampai kau mulai menghujat Tuhan. Padahal Tuhan tidak bertanggung jawab atas kehilangan apapun pada dirimu.
                Pikiranmu tentang hari depan itu membuatmu menderita. Menderita  dalam prasangka. Hingga engkau luput dari pencarian makna dirimu. Engkau mungkin juga luput meyakini bahwa kesenangan hari ini dapat menjadi kesedihan pada hari depan dan kesedihan hari ini dapat menjadi kesenangan pada hari depan. Kehidupan ini adalah keajaiban yang tak bisa dijelaskan dan hidup di dalamnya adalah perwujudan sebuah keajaiban. Sedangkan yang membuat hidup ini menarik adalah kemungkinan-kemungkinan untuk mewujudkan impian menjadi kenyataan, bukanlah prasangka dalam diri yang sentimental.

13 Februari 2012

Ketika Saya Di Dalam Lingkaran


Referensi Di Luar Perpustakaan:

Dalam jarak lima ratus meter saya terpisah dari tempat dia memusikalisasikan puisinya. Saya mencoba membayangkan puisi itu dibacakan seperti Iwan Fals membawakan tembang-tembangnya atau seperti Ebiet G. Ade, atau seperti Gombloh yang berapi-api. Isi kepala saya mencoba menerka seperti apa pertunjukan itu berlangsung, namun dalam dada saya berharap pertunjukan itu tertunda sementara. Belum habis sebatang rokok dihisap setelah makan, tirai-tirai air dijatuhkan dari langit. Tirai-tirai itu semakin tebal dan semakin berisik juga bunyinya di terpal plastik warung penyet  Arto Moro.
Bukan hujan yang menjadikan kuyup, tapi tempiaslah yang menggigilkan
Sebaris sajak di atas meloncat dari pikiran saya ketika menunggu hujan reda. Karena tempiasnya hujan melembabkan baju dan calana saya. Begitu juga dengan tetes air yang turun dari lobang-lobang kecil di atap hingga saya dan Purna pindah duduk sampai tiga kali. Mungkin inilah tempias yang menggigilkan itu: batang-batang rokok meninggalkan kotaknya dengan cepat, teh hangat kembali terhidang untuk membasahi kerongkongan yang kering karena suara mesti ditinggikan untuk melawan bunyi hujan.
Hujan reda setelah kami melewatkan satu jam pertama penampilannya dan pemutaran video perjalanannya di Fakultas Sastra Undip di Pleburan. Lampu dari kendaraan yang melintas menghamparkan garis-garis kuning kemerahan di dasar jalan. Gelombang-gelombang kecil tercipta dari ban kendaraan yang tergenang. Tetes air masih jatuh dari pohon-pohon di pinggir jalan yang kami tempuh.
Saya dan Purna sampai di tempat acara ketika dia sedang memusikalisikan puisinya yang ternyata mirip Iwan Fals melantunkan tembang-tembangnya. Liris. Namun saya tidak dapat menikmati lebih lama karena harus mengantarkan kiriman antologi Beternak Penyair ke RRI dulu. Setelah sampai kembali di tempat acara ternyata sedang berlangsung sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Musyafak Timur Banua. Sepenggal video perjalanannya masih diputar namun tanpa suara, mengiringi tanya dan jawab yang memantul-mantul.
Wing Sentot Irawan (WSI) adalah seorang petualang dari Lombok yang bersepeda menempuh Nusantara dan negara-negara di ASEAN. Sekilas memandang wajahnya saya teringat pada Kaka Slank ketika dia masih ringkih dulunya. Gurat wajahnya yang keras, rambut gondrongnya, dan kumis sebagai pagar antara hidung dan bibir atasnya. Konon, katanya dia adalah orang yang memutuskan berhenti sebagai PNS untuk bertualang. Puisi-puisi selalu lahir di setiap daerah-daerah yang disinggahinya. Hidup bagai jalan yang mesti selalu ditempuh bukan perhentian yang dapat membuat lengah.
Wing Sentot Irawan

Dalam video itu nampak pantai dengan pasir putih dan pucuk-pucuk pohon kelapa seakan membentuk garis ke horizon, menghadap ke birunya lautan, ada juga puncak pegunungan yang seperti terapung di atas awan, angklung-angklung yang digerakkan hingga pinggirannya menjadi seperti lengkungan akordion, seorang pria tua menyandang dua bakul keranjang di pundaknya dengan sebilah bambu di bawah deretan pohon-pohon, turis perempuan mengamati relief ukiran di sebuah candi, sepasang kura-kura seperti tertidur dengan damainya di atas pasir, kepala komodo yang mendongak dengan latar belakang langit kemerahan, bocah-bocah berlari di dinding air terjun sambil mengibarkan bendera merah putih, serta penyanyi jalanan yang memainkan gitar di samping tukang becak yang menunggu penumpang. Video yang menghadirkan keindahan, kedamaian, dan semangat itu membuat keinginan saya untuk bertualang semakin tinggi.
Dalam sesi tanya jawab Wing Sentot Irawan mengatakan kalau perjalanan adalah referensi yang tidak terdapat di buku-buku atau perpustakaan bagi dirinya ketika menjawab pertanyaan dari Vivi Andriani tentang makna dari perjalanan yang dilakukannya. Berbagai pengalaman telah dialaminya seperti yang paling tragis ketika salto di jalanan beraspal karena ban sepedanya masuk lobang hingga membentuk angka delapan, atau yang paling unik ketika melihat kingkong yang bulu-bulu di dadanya berwarna putih walau dia sempat meragukan kejadian itu hanya ilusi karena kecapekan atau memang kenyataan yang benar adanya.
Sesi tanya jawab itu diakhiri oleh penampilannya sendiri dengan memusikalisasikan puisi diiringi bunyi harmonika. Duetnya dengan mbak @elmanohara adalah penampilan berikutnya ketika membawakan puisinya yang berjudul Borneo, puisi yang menceritakan keindahan alam di Kalimantan, dengan hutannya yang lebat, namun juga menyimpan kritikan terselubung mengenai pembalakan brutal yang terjadi di sana. Penampilan solonya mbak Latree selanjutnya membuat suasana di bekas ruang kuliah itu menjadi hening lalu mendadak riuh tepuk tangan. Suaranya yang bening lalu melengking pada reff Bapakmu di surga mencari uang, jika sudah banyak dia ‘kan pulang…” sampai tulisan ini ditulis masih terngiang-ngiang di telinga saya. Berturut-turut penampilan dari mas Kurniawan Yunianto membawakan puisinya diiringi petikan gitar, Wika Setiawan membacakan puisi dengan gaya khasnya mengangkat tangan kanan dan menggetarkan jemarinya, kemudian Galih Pandu Adi sebagai ketua panitia acara ini.
Beberapa penampilan tadi mengantarkan acara pada bagian lelang CD musikalisai WSI, juga kotak sumbangan untuk membantu perjalanan bertualang di antara hadirin malam itu. Barangkali inilah wujud persaudaraan yang tampil saat itu. Membantu seorang manusia yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Dan merasa begitu akrab ketika berada di dekatnya. Acara malam itu dilanjutkan dengan penampilan dari Komunitas Penyanyi Jalanan lalau ditutup oleh penampilan WSI sendiri yang diiringi melodi gitar, alunan biola, serta dentuman jimbe. Sebagai seorang petualang yang entah kapan akan singgah dan bertemu lagi, para panitia dan penonton tidak melewatkan sesi untuk mengabadikan momen tersebut dalam bentuk foto. Tidak hanya ingin berfoto dengan WSI saja tapi juga dengan sepeda yang mengantarkannya menjelajah sebagian dunia ini. Dan inilah sepeda tersebut.
Tidak tahu kenapa fotonya gak bisa potrait



10 Februari 2012

Metafora Dengan Rasa


Dalam meyampaikan sesuatu kadang tidak cukup rasanya hanya dengan menggunakan kalimat-kalimat biasa.  Metafora sering melengkapi rasa ketidak-cukupan itu. Menurut KBBI metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Ada sensasi lain ketika kita melukiskan atau menyamakan sesuatu hal dengan hal lain. Ada imajinasi yang mengalir dari setiap kata-kata yang digunakan. Metafora digunakan untuk menyampaikan maksud tentang bentuk, rasa, bunyi, sifat dan lainnya.
Metafora masuk tiba-tiba ke dalam tulisan untuk memperjelas atau menyamarkan tanpa disadari. Metafora dapat membuat tulisan terasa lebih padat dan menarik namun tidak berarti hanya karena metafora tulisan itu jadi menarik. Banyak juga tulisan menarik dengan penyampaian yang sederhana.
Ketika ingin memetaforakan bibir ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan, seperti bentuk, rasa, dan sifat. Sebagai bentuk dapat saja kita menuliskan Bibirmu seperti dua ulas jeruk yang menggodaku mencicipinya. Dua ulas jeruk seperti yang sering kita temui. Basah, padat di bagian depan, dan melancip ke ujungnya. Barangkali hanya itu yang dapat kita bayangkan dari bentuk dua ulas jeruk.
Ketika dituliskan Bibirmu seperti angkot yang kutemui di setiap kota. Dalam bagian ini tentu masalah bentuk akan kita lupakan karena keduanya sungguh tidak saling menyerupai. Kita mencoba menyama-nyamakan dengan hal lain seperti rasa, sifat, dan bunyi. Angkot yang tepat mengantar dan menyasarkan penumpang dari tujuannya, angkot yang berisik dengan klakson yang sering memekik-mekik, angkot yang kencang melaju lalu berhenti mendadak. Dengan rasa, sifat, dan bunyi itu imajinasi dituntut lebih bertualang.
Berjelas-jelas atau bergelap-gelap dengan metafora dapat saja membuat tulisan terasa hambar atau bombastis. Karena itu dituntut juga lebih cerdas dalam memetaforakan sesuatu. Tidaklah diwajibkan juga menggunakan metafora dalam sebuah tulisan karena ini menyangkut masalah selera. Maka jalani saja jalan yang dapat membuat nyaman dalam menulis.

2012

Dunia Baru


Perjalanan ke manapun dan kapanpun tentunya selalu melahirkan cerita baru, inspirasi baru, teman baru, pemikiran baru dan hal lainnya yang baru. Barangkali karena itu saya suka menyebut perjalanan  dengan cerita langkah. Langkah yang mengantarkan pada cerita dan cerita yang terus melangkah.
Langkah kali ini ke kota Bandung yang termasuk dalam 10 kota terkreatif di dunia dan menjadi kota tujuan ke dua anak muda Malaysia setelah New York. Ke kota ini kami dari komunitas Lacikata dan Hysteria Semarang berkunjung dalam rangka studi banding komunitas ke beberapa komunitas di sini. Iklim berkomunitas yang baik di kota ini menghasilkan komunitas-komunitas yang mapan dan eksis sampai sekarang. Geliat anak mudanya yang selalu ingin menciptakan kebaruan dan tetap mempertahankan tradisi menjadi pemikatnya. Keadaan yang sulit ditemukan dari kota tempat kami berkegiatan, yaitu Semarang.
Diskusi yang berasap-asap dengan beberapa orang teman sangat membuka pikiran. Mulai dari sastra hingga fashion dan tentunya perempuan. Di belakang terminal Ledeng tepatnya di kost seorang teman yang memiliki pemandangan indah dari lantai tiganya, yaitu dapat melihat kota Bandung hampir keseluruhannya cerita-cerita baru seperti angin yang berhembus. Kopi dan rokok jadi pelengkap dan beberapa buku yang belum tuntas dibaca.
Hari itu saya mendapat dunia baru lewat dua buku yang diberikan oleh seorang teman. Hikayat Pemanen Kentang yang merupakan antologi tunggal puisinya dan Cinta Adalah Kesunyian kumpulan cerpen peraih nobel. Dua buku itu adalah oleh-oleh dalam cerita langkah kali ini. Oleh-oleh yang belum sempat saya nikmati sepenuhnya sampai tulisan ini selesai. Namun saya merasa bahagia ketika menatapnya dan yakin dua buku itu dapat melahirkan beberapa cerita baru. Karena cerita demi cerita itu bagai lingkaran setan yang tak pernah putus-putus. Jadi cerita apalagi yang tidak bisa kau tuliskan kepada kami. 

2012

Ibu Tanpa Anak


Di Setia Budi dingin mencapai puncaknya pada dini hari, akibatnya telapak tangan dan telapak kaki serta bagian leher sampai wajah tidak sanggup menahannya. Terbangun pada dini hari dan buru-buru mencari kaos kaki, selimut dan kain apapun yang dapat menutupi bagian tubuh yang masih terbuka. Hanya kaos kaki dan syal sebuah klub papan atas liga Spanyol yang ditemui malam itu. Dingin masih terasa menyiksa hingga masih perlu mencari selimut agar lebih hangat. Karena berisik ketika mencari selimut, perempuan ini terbangun dari tidurnya. Ia menyerahkan selimut yang tadinya menutupi tubuhnya. Setelah itu barulah saya bisa tidur nyenyak hingga pagi.
Seminggu sebelumnya pada acara Workshop Menulis Cerpen dan Puisi di Tawangmangu yang dingin, saya jatuh sakit karena kelelahan. Badan masih saja menggigil walau telah berjaket dan berselimut tebal. Akibatnya banyak menghabiskan waktu di ranjang penginapan. Ketika sedang memejamkan mata berusaha untuk tidur, perempuan ini masuk ke kamar. Punggung tangannya terasa dingin menyentuh kening saya. Setelah itu leher  terasa hangat karena diolesi minyak kayu putih oleh jemarinya.
Sakit yang diderita masih berlanjut sampai di Semarang. Waktu banyak dihabiskan dalam kamar. Kasur dan komputer menjadi teman setia. Semua koleksi film dalam hardisk telah ditonton, dan perempuan ini datang membesuk dengan membawa beberapa film baru. Dua kali ia datang menyuplai film-film baru, sampai saya sehat  film-film itu masih ada yang belum ditonton.
Perempuan ini adalah Vivi Andriani, sahabat saya di Semarang. Kita sama-sama berkegiatan di beberapa komunitas, diantaranya: Hysteria, Open Mind dan Lacikata. Perempuan yang memakai topi pet dan kaos oblong yang bertulisakan “CREW” di punggungnya ketika pertama kali kami bertemu di kota Lumpia ini. Hingga saya yakin kalau dia adalah perempuan yang aktif. Ia sering mengatakan tidak ingin memiliki anak (serius atau bercanda hanya Tuhan dan ia yang tahu) karena itu saya menyebutnya ibu tanpa anak. Walaupun ia tidak ingin memiliki anak tapi ia telah memilki sikap seorang ibu. Dasar kelapiiiiiiiirrrr.


2012

9 Februari 2012

Orang Rumah



Kukenali kau sebagai patung batu
Pada akhir bunyi pahat baja
Menjelang petang bagi petualang
Dengan mata kaki selalu nyalang
Dan mata hati selalu betanggang

Sebutlah dirimu orang rumah
Agar aku bermukim seperti lebah

Di tubuhmu jalan diujungkan
Jemarimu jemari penenun
Kain dihampar tengah malam
Sebagai layar agar tak karam
Penjaga suluh agar tak padam

Setabah langkah sebutlah dirimu orang rumah

2012

1 Februari 2012

Bahagia Itu Buta

Bahagia itu buta. Bahagia bisa datang pada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dalam keadaan apa saja. Tidak peduli pengemis, orang kaya, malam hari, siang hari, dalam toilet, dalam mall, saat sakit ataupun sehat. Bahagia suatu kata yang dicari dan diinginkan setiap orang walaupun tidak setiap orang menyadari telah menemukan atau ditemui oleh kebahagiaan itu.

Selembar uang seribu rupiah dapat saja menjadi kebahagiaan bagi seorang pengemis walau bagi orang lain itu belum apa-apa. Malam hari dapat menciptakan kebahagiaan bagi seseorang setelah capek bekerja pada siang hari. Toilet adalah tempat yang paling membahagiakan bagi seorang yang telah menahan kencing selama dua jam. Sakit?

Sengaja saya memberi tanda tanya (?) setalah kata “sakit”. Apakah sakit itu sebuah kebahagian? Saya rasa kita sepakat menjawab tidak. Barangkali sekali lagi kita bisa sepakat kalau kebahagiaan itu bisa datang ketika sakit. Karena sakit tidak melulu berhubungan dengan penderitaan.

Ketika sakit kemarin saya merasakan kebahagiaan—beberapa saat melupakan penderitaan. Kebahagiaan itu datang melalui teman-teman yang membesuk saya. Mereka tidak membawa buah-buahan, berbagai jenis minuman atau makanan kesukaan saya, seperti layaknya melihat seorang yang sakit. Mereka hanya membawa tawa dan menciptakan kebahagiaan.

Saya mengurung diri dalam kamar karena di luar angin kencang dan hujan tak henti-hentinya turun dari pagi. Film yang tersimpan dalam komputer tidak ada yang belum ditonton. Niat ingin menulis tidak dilakukan karena kepala masih sakit juga karena ide belum muncul. Ketika itu masuk pesan singkat dari teman ingin datang ke tempat kost saya. Tidak lupa saya minta dibawakan beberapa film baru, karena teman saya itu bekerja di tempat penyewaan film.

Mereka sampai di kost ketika hujan tinggal rintik-rintiknya dan angin masih saja bertiup kencang hingga tempias air sampai juga ke dalam kamar. Pertanyaan formal ketika melihat orang sakit tidak satupun terlontar dari mulut mereka selain “Kelapir, aku kira sudah mampus kau” lalu kami tertawa. Secara harfiah memang kalimat itu terasa kasar. Namun semuanya akan hilang karena diucapkan dengan tertawa lalu membiarkan hilang seperti matahari siang itu.

Semua hal menjadi bahan tertawaan siang itu; dari karya teman sampai hubungan asmara mereka. Kita menciptakan kebahagiaan dengan tertawa. Menertawakan kesedihan, hal-hal bodoh yang pernah dilakukan, atau ekspresi-ekspresi dalam berfoto. Semuanya dilakukan tanpa ada tendensi untuk melecehkan seseorang teman ataupun orang lain. Semuanya dilakukan hanya untuk menciptakan kebahagiaan dan mungkin untuk membahagiakan saya sebagai si sakit agar cepat sembuh. Karena memang saya merasa bahagia siang itu.
Jaket dan selimut yang membaluti tubuh saya dilepas, karena tubuh merasa hangat dan berkeringat karena tertawa. Rintik hujan dan angin kencang seperti tidak mampu menembus kamar ini. Semuanya terasa hangat, terasa dekat, dan bersahabat. Sehat seperti akan datang dalam waktu dekat.

Selepas mereka pulang saya memutar film yang ditinggalkan.The Burbs dengan Tom Hanks sebagai pemeran utama. Selama film berlangsung selain selalu penasaran pada adegan demi adegan selanjutnya saya juga selalu tersenyum. Menghilangnya seorang tetangga membuat mereka bersatu untuk menemukannya. Hingga pencarian mereka berakhir dengan kekacauan dan terungkapnya kasus pembunuhan. Kebahagian akan terasa berkurang jika tidak dinikmati bersama-sama orang terekat. Untuk resensi filmnya nanti akan saya tulis pada postingan selanjutnya.

Kebahagiaan tidaklah mahal dan tidaklah sulit di dapatkan. Seperti cinta bahagia juga buta. Mungkin bahagia itu adalah cinta atau cinta adalah kebahagiaan.

Sakit

@Tawangmangu

Tentu tidak menyenangkan, jika sakit datang ketika sedang berlibur. Keinginan untuk bersenang-senang jadi terbatasi oleh penyakit yang diderita.  Bagitulah keadaan saya pada akhir pekan ke tiga Januari. Jalan-jalan gratis untuk mengikuti Workshop Menulis Puisi dan Cerita Pendek di Tawangmangu, Karang Anyar, Solo saya bayangkan akan begitu menarik. Tawangmangu adalah daerah di kaki gunung Lawu yang terkenal dengan pesona alamnya.

    Sakit yang saya alami datang begitu saja setelah makan siang. Kulit tangan terasa pedih dan kedinginan. Entah karena cuaca semakin dingin karena hujan atau kekenyangan, kantuk datang dengan cepat. Bangun dari tidur kepala menjadi sakit dan dingin terasa semakin menyiksa. Perubahan posisi tubuh, misalnya dari duduk ke berdiri sakit kepala akan terasa hingga butuh beberapa saat untuk menenangkannya dengan cara dipijit.

Selama di pemondokan saya banyak menghabiskan waktu di atas ranjang, di bawah selimut tebal. Berbeda dengan teman-teman yang dapat berkeliling menikmati alam Tawangmangu. Mengunjungi lokasi agrowisata, melihat puncak gunung Lawu yang timbul-tenggelam dalam kabut serta pesona hutan pinus yang begitu damai. Jurus sehat tanpa obat yang ada dalam postingan sebelumnya ternyata tidak mempan sat itu. Air panas yang tersedia di pemondokan yang hilang-muncul membuat mandi air panas jadi kurang afdol. Ketika sedang nikmatnya merasakan air panas membasahi tubuh, air yang keluar dari shower menjadi dingin. Dingin yang menggigilkan. Perlu beberapa saat menunggu air panas kembali.

Sebelum pulang kami mengunjungi air terjun Grobongan Sewu. Air terjun yang terletak dalam hutan pinus ditempuh melalui pintu masuk Satu dengan cara menuruni anak tangga dari batu sebanyak seribu dua ratus (kata teman yang menghitungnya). Monyet-monyet ekor panjang mengiringi perjalanan dengan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Keindahan alamnya mampu menciptaan perasaan damai. Sudah lama tidak memasuki alam yang begitu alami dengan pohon-pohon besar, suara ricik air, dan cuaca yang sejuk. Sejenak rasa sakit itu dapat dilupakan.

Pulangnya kami memilih lewat pintu masuk Dua karena jalurnya relatif ringan. Turunan dan tanjakan yang tidak begitu curam. Setelah itu dari pintu dua menyewa ojek motor seharga Rp 10.000,00 menuju pintu masuk satu tempat mobil kami diparkir. Setelah itu sakit kepala kembali datang hingga saya tertidur selama perjalanan pulang.


@Semarang

    Awal sampai di Semarang saya merasakan saya akan pulih dengan cepat. Karena cuaca sudah kembali normal. Tidak begitu dingin karena kota ini terkenal dengan udaranya yang panas. Namun, semua yang terjadi tidak sesuai dengan asumsi saya. Angin kencang serta hujan membuat cuaca menjadi dingin. Kejadian yang berlangsung sampai minggu pertama di Semarang.

    Selama itu juga jendela dan pintu kamar saya jarang sekali dibuka. Selimut tebal dan baju lima lapis menjadi teman dekat berhari-hari. Sakit kepala sudah mulai hilang, namun demam masih setia. Bibir menjadi kering dan pecah-pecah. Kerongkongan pahit hingga air putihpun terasa pahit ketika diminum. Ketika saya ceritakan kepada seorang teman, dia mengatakan kalau saya terserang gejala demam berdarah. Oh, semoga saja tidak, dan saya mempercayai ini bukanlah gejala demam berdarah. Sakit ini hanyalah demam biasa.
Sakit kali ini saya rasa tidak begitu berat, namun terasa begitu menyiksa. Karena cuaca yang tidak bersahabat hingga hari-hari dilalui hanya di dalam kamar. Jurus baju lima lapis telah dilakukan beberepa kali hingga selama seminggu itu saya antar-jemput laundry sampai tiga kali. Pakaian kotor diantar dan pakaian bersih dijemput.

Air dalam bak mandi terasa menakutkan. Hingga selama dua hari airnya tidak membasahi tubuh ini. The Book of Eli film yang sempat saya tonton ketika sakit menunjukkan cara membersihkan tubuh tanpa air. Akhirnya saya mandi dengan tisu gallon air. Sepuluh bungkus tisu habis untuk mandi siang pada hari ke tiga di Semarang.

Memasuki hari ke lima di Semarang demam yang hinggap di tubuh mulai menghilang dengan meninggalkan jejak di bibir. Bibir masih saja kering sampai tulisan ini ditulis. Ketika sakit, keadaan sehat sungguh terasa begitu berharga. Keinginan untuk berkegiatan seperti biasa menjadi terhambat.
Sehat menjadi satu-satunya keinginan ketika sakit. Dengan keadaan tubuh yang sehat dapat melakukan segala kegiatan yang diinginkan, menciptakan perubahan dalam hidup. Karena perubahan tidak akan terjadi jika hanya berdiam diri dalam kamar.