24 Oktober 2011

Bagai Anak-anak Pantau



Bagai anak-anak pantau ia tumbuh di tubuh
Datangnya gaib: entah turun dari langit entah bangkit dari bumi
Ia berenang dalam mimpimu melompat dari dalam mimpiku

Esok pagi saat engkau membasuh tubuh
Kau temui ia bermain di pemandian
Berenang cepat menghindar gayung
Lalu lambat mengarung tengah riak

Di pemandian ia tak akan jadi mas, mujair, atau gabus
Seperti gayungmu tak akan jadi tangguk berjaring rapat

Jika busa sabun membuatnya mabuk
hingga melepas ruh  di sela batu-batu kecil
Nanti malam ia berenang lagi dalam mimpimu
Karena datangnya gaib: turun dari langit entah bangkit dari bumi

Semarang , 2010

Melempar Gerbong Kereta Api



Kereta api ini engkau yang pilihkan.
Mimpiku terburai di jendela, untung tidak pecah.
Tadi kau mencintaiku. Punggung orang jadi kekasihku.
Kereta api tidak berhenti seperti mimpi.
Tidak ada mimpi di balik kelopak mata.
Gerbong-gerbong dalam tubuh sesak
Tidak ada stasiun di tanganku

Siang ini orangan sawah kesepian: ditinggal petani dan padi
Terlalu susah mencari katak juga buah jambu
Seorang bocah  ingin naik kereta api.
Tadi ia mendengar cerita kereta api dari kakeknya
Ia memungut bongkah tanah kering.
Sebentar kereta api menghibur orangan sawah.

Aku lemparkan bongkah tanah ke jendela kereta api.
Terburai tapi tidak memecah.
Kereta itu terlalu panjang.
Pagar ladang tebu di seberang
Di luar gerah. Tidak ada irigasi di tubuhku.
Kereta api membawa pergi ladang tebu
Lalu melempar ritihan bunyi peluit

Semarang, 2011

Bintang di Atas Piring


: semacam puisi untuk kado pernikahan seorang sahabat

Tidak perlu menyamakan potongan melintang belimbing dengan bintang
Karena lima sudut lancipnya begitu akrab dengan jari yang mengembang
Tidak perlu membaca kerut kening orang yang memakan belimbing matang
Karena lidah paling paham tentang asam dan manis yang lebih atau kurang
Lidah yang tidak pernah berdusta tentang rasa yang tak dapat dilihat mata

Belimbing matang di batang dipetik lelaki pada terang siang
Lelaki yang menjadikan tangannya tampuk bagi segala yang dipetik
Tubuhnya adalah batang yang bertahan terhadap kumbang penggirik
Lelaki yang akan berjalan dengan kaki-kaki yang menghindari
Pintu mini market  yang di gagangnya ditulisi “dorong”
(walau ditarik masih dapat terbuka untuk datang dan pergi)
 Di mana belimbing menggigil dalam steoroform dan plastik


Piring menguning menghidangkan pisau dan belimbing
Pisau yang diasah orang Lintau dibasuh dingin air Ngalau
Semakin tajam semakin paham pada sayat yang tepat

Pada hari depan ia menyadari pisau akan lapuk dan belimbing akan busuk
Namun mereka telah menanam tajam dan asam pada pangkal  malam
Hingga pada suatu ketika kita perlu juga mengamini kesamaan
Potongan melintang belimbing dengan bintang di buku gambar

Semarang, 2011

5 Oktober 2011

Rumah Sederhana di Taman Kanak-kanak


Ia paling setia menanti setiap kepulangan. Seakan tubuhnya dibentuk dari penantian-penantian yang berganti setiap hari. Tubuhnya tahan terhadap tamparan udara dingin. Tidak pernah ia mengeluhkan panasnya siang. Bentuk tubuh yang berubah adalah buah dari perjalanan waktu, namun ketenangannya tak pernah berubah, tak pernah goyah. Ia hidup karena penantian, akan selalu hidup karena menanti. Menanti suatu kepulangan juga menanti suatu kehilangan.
***
Ia paling setia melepas kepergian. Seakan tubuhnya dibentuk dari pelepasan-pelepasan yang berganti setiap hari. Tubuhnya tangguh pada setiap air mata yang jatuh. Tabah terhadap jabat tangan sebagai tanda berpisah. Ia tidak menyimpan laut luas dalam dada untuk berlayar kapal-kapal yang mengangkut kepedihan. Hanya sumur kecil dengan dua mata air yang dapat melepaskan dahagamu. Kehilangan tidak akan membuatnya nelangsa. Baginya tidak ada kesepian yang ditinggalkan oleh kepergian. Kepergian adalah hidupnya dan akan tetap hidup selama kepergian masih terjadi.
***
Selalu terasa ada yang kurang setiap kali ada yang ditambah. Ia membuka mulut lebar-lebar untuk lapar yang tak pernah terbayar. Pintu-pintu di tubuhnya adalah jalan lapang yang kerontang. Dilalui ketika pulang atau pergi sudah tidak ada yang peduli.  Semua yang berlalu terasa hampa. Anginpun segan untuk menyapa.
***
Seorang bocah menyusun tubuhnya dengan potongan kayu sederhana—warna dan potongannya. Sisi-sisi yang rumit tidak dipandang, mungkin juga telah hilang. Siang itu di taman kanak-kanak sebuah rumah telah dibangun. Keringat bening dari kening bocah menetes lemah ke atap rumah sederhana itu. Rumah itu hanya dibangun dengan balok, kubus, dan prisma. Bocah itu membayangkan tubuhnya masuk ke dalam rumah yang telah dibangunnya. Di dalamnya ia akan berlarian, pipis, tidur, bermimpi, bermain, dan membuat rumah baru lagi.
Kepala bocah itu ditengadahkan sambil telentang. Ia baru bangun dari tidurnya dan langsung melihat rumah baru yang tadi dibangun dan dimimpikannya. Masih tetap sederhana dan tenang. Sebentar lagi sopir pribadi menjemputnya ke sekolah. Ia akan menanam rindu untuk membangun rumah baru lagi pada esok harinya. Di rumahnya semua mainan memiliki sisi-sisi yang rumit. Ia merasakan mainan itu sama dengan rumahnya. Ia tidak pernah bermimpi ingin tidur di sana.
Semarang, 2011


4 Oktober 2011

Yang Hilang Yang Tak Sempat Dipandang



Kutemukan kau pada gelap siang dan terang malam
Di tempat yang tidak diketahui mata kita berjumpa
Percakapan tentang derita dan cerita cinta
Adalah api yang tak mengenal kata padam

Udara di sekitar menjelma tubuh yang ditunggu
Kutukan ibarat peluru yang ditembakkan waktu
Dari retakkan bulan darah mengalir ke mata
Bermuara di dada yang setia menampung segala

Kata telah menemukan jalan ke dalam kalimat
Bagai tukang pos yang setia merapal alamat
Karena hilang hanyalah yang datang tak sempat dipandang
Seperti cinta bisu di lidah namun mengerang dalam dada

Semarang, 2011

2 Oktober 2011

Keripik Balado dan Susu Coklat


Kembali saya berusaha mengingat kenangan dengan makanan. Saya berusaha memahami benda-benda di sekitar saat mulai menulis. Karena benda-benda itu sangat dekat dan mudah diamati. Benda yang setia menemani, paling tidak untuk sementara sebelum bermuara di lambung. Seperti kenangan yang sungguh dekat dengan tubuh, karena tubuh adalah media dari kenangan itu sendiri.
Keripik balado adalah makanan yang terbuat dari irisan singkong yang digoreng dengan lada goreng. Makanan sederhana yang bertahan sampai sekarang. Keripik balado yang berwarnah merah dan kadang terlihat sisi-sisinya yang menghitam karena penggorengan dan minyak yang tergenang dalam kemasan plastiknya.
Tidak susah untuk membuat sendiri makanan ini, namun tidak semua orang ahli dalam membuatnya. Keripik balado yang bagus adalah keripik yang renyah—tidak keras atau lembek. Kalau untuk dijual di warung biasanya keripik balado dikemas dalam bungkusan-bungkusan kecil. Harganya juga sangat memasyarakat, berkisar Rp 500,00 sampai Rp 1.000,00 saat ini.
Saat masih sekolah dasar keripik balado adalah jajanan yang setia mengisi salah satu sudut di meja kantin. Makanan yang tidak akan basi jika tidak habis satu hari. Pada kenyataannya memang sangat jarang keripik balado habis satu hari. Mungkin karena bentuknya yang kurang menarik atau karena setiap hari selalu tersedia. Keripik balado kadang jadi jajanan yang paling sering tersisa ketika jam pelajaran sudah selesai. Namun ada sebuah kejadian yang membuat semua itu berbalik dengan cepat. Keripik balado menjadi jajanan paling laris, bahkan pada istirahat pertama sudah habis.
Sebelumnya saya jelaskan dulu perbedaan antara keripik dan kerupuk di tempat kami. Keripik untuk jenis yang lebih kecil ukurannya dan tidak dijual secara satuan. Sedangkan kerupuk adalah yang bentuknya lebih besar dan dijual secara satuan.
Awalnya mungkin karena ketidak sengajaan, seorang teman yang ingin membeli kerupuk kuah kecewa karena kerupuknya habis. Karena kerupuk yang khusus untuk dikuahi habis maka dia membeli keripik balado yang diberinya kuah. Kuah yang dimaksud adalah kuah sate untuk kerupuk kuah. Perpaduan rasa kuah sate dengan pedas keripik balado ternyata memberikan sensasi rasa yang menarik. Rasa nikmat yang baru itu langsung tersebar ke telinga teman-teman yang lainnya. Hingga keripik balado hari itu habis dengan kuah kerupuk kuah.
Besok harinya keripik balado habis sedangkan kerupuk kuah  masih tersisa. Kuah yang sedianya untuk kerupuk telah menjadi padanan baru untuk makan keripik balado. Guru yang menjaga kantin sampai kewalahan mengatur murid-murid yang membeli keripik, karena pemilik kerupuk kuah dan keripik balado berbeda. Pada akhirnya pemiliki keripik balado menyediakan sendiri kuah untuk keripiknya.
Begitulah sebuah makanan dapat menjadi lebih nikmat dengan dikombinasikan jenis makanan lain. Walaupun berawal dari ketidak sengajaan, sampai sekarang jajanan keripik balado pakai kuah tetap bertahan di sekolah saya dulu. Bagaimana dengan kita agar tetap bertahan dalam kemajuan zaman dan perubahan gaya hidup sekarang. Karena itu perlunya kita juga berkombinasi dengan manusia lain untuk tetap bertahan mengikuti kemajuan zaman ini. Saling melengkapi dan saling memberi rasa. Lalu apa hubungan tulisan saya ini dengan susu coklat seperti judul di atas? Susu coklat adalah teman saya dalam menulis tulisan ini. Mungkin saya ibaratkan susu coklat adalah kamu yang sempat membaca tulisan ini. Maafkanlah pengibaratan saya ini jika terlalu…...
Semarang, 03 Oktober 2011

1 Oktober 2011

Terkenang Masa Kecil karena Makan Mie Instant Mentah


Tidak dapat ditolak kenangan itu datang menyelinap ke dalam pikiranmu sekarang, seperti kedatangan kejadiannya pada masa lalu. Sesuatu yang datang berpasangan –baik dengan buruk, pahit dengan manis dan lainnya. Tidak ada kuasa untuk menampik agar yang datang selalu baik atau manis. Usaha untuk mengenang segala yang terjadi bagai mendirikan rumah dengan puing-puing runtuhannya. Selalu saja ada bagian yang hilang atau terlupakan walau niat untuk menghilang dan melupakannya telah kita buang dan kuburkan.
Mengenang masa kecil adalah kembali mendirikan rumah dengan coretan-coretan di dinding. Seperti melukis mural di pinggir jalan. Banyak yang melihat namun sedikit yang menikmati apalagi memahami. Kenangan telah terbenam dalam kepalamu hingga kadang susah untuk kembali menemukannya di tengah lautan pikiran. Pikiran seperti hari yang selalu berganti. Pikiran yang bertumbuh dan berkembang seiring usia. Dan waktulah yang setia mendampinginya dalam proses pematangan.
Kenangan tentang masa kecil ditemukan pada malam ini lewat sebungkus mie instant yang dimakan mentah. Suara dari mie yang diremukkan jemari jadi kode pintu rahasia kejadian puluhan atau belasan tahun lalu. Kali ini kenangan datang lewat suara, bukan karena gambar sudah tidak mampu lagi terbayangkan. Suara mie yang remuk tidak pernah berubah, hingga tidak butuh waktu lama bagi telinga menangkap isyaratnya.
Makan mie instant mentah memang sangat jarang saya lakukan semenjak dari SMP sampai sekarang, yang berarti pernah dilakukan beberapa kali. Pada kali terakhir ini suaranya membawa saya kembali pada kenangan. Ketika masih SD, beberapa tahun sebelum pergolakan mahasiswa tahun 1988, mie instant menjadi jajanan ekslusif di sekolah. Uang jajan harian saya hanya cukup untuk membeli sebungkus mie instant. Jika saya membeli mie instant maka saya tidak dapat menikmati jajanan lainnya sedangkan jadwal istirahat ada dua kali.
Seringkali saya dan teman bersepakat untuk membeli jajanan di sekolahan pada jam istirahat pertama dan mie instant pada jam istirahat ke dua. Untuk membeli jajanan menggunakan uang dia dan membeli mie instant menggunakan uang saya, begitupun sebaliknya. Pada waktu itu harga mie instans Rp 250,00 sedangkan harga sate tahu kuah kacang atau keripik singkong pedas atau jagung iris manis yang dijual di kantin sekolah Rp 50,00. Mungkin karena perbedaan harga yang mencolok  mie instant menjadi makanan ekslusif bagi saya dan teman-teman di sekolah.
Bagi teman yang orang tuanya pemilik warung yang menjual mie instant dan teman yang memiliki uang jajan lebih banyak, untuk menikmati mie instant mentah adalah perkara yang mudah. Jika mereka sedang makan mie instant mentah sudah pasti dikelilingi oleh teman-teman lainnya.  Teman-teman yang ingin ikut menikmatinya karena  diberi atau meminta. Minyak sayur dalam kemasan mie sering dimitoskan oleh orang tua di kampung dengan minyak orang mati, hal ini untuk mencegah keinginan kami meminta uang jajan tambahan.
Sebungkus mie yang dimakan dengan beberapa orang teman memang terasa lebih nikmat. Sebuah penghargaan yang absurd diberikan kepada seorang yang sering makan mie instant mentah di sekolah. Kadang dia menjadi pemimpin atau penentu sebuah permainan yang akan dimainkan, atau mendapat bantuan tanpa dimintanya. Seolah mie instans adalah jubah kebesaran seorang raja. Dengan mie instant mendapatkan perhatian dan penghormatan secara instant pula.
Sekarang mie instant tidak lagi menjadi jajanan ekslusif di tempat saya bersekolah dulu, mungkin juga di semua sekolah dasar di Indonesia. Sudah banyak variasi jajanan memenuhi meja di kantin sekolah dengan harga yang juga lebih mahal. Mie instant tidak lagi menjadi makanan yang dapat mendatangkan penghargaan. Bahkan hal sebaliknya bisa datang karena pengetahuan tentang resiko dari kebanyakan mengonsumsinya.
Terompah waktu yang menginjak kita setiap saat selalu menyisakan kenangan dengan segala benda dan kejadiannya. Setiap penilaian dan pemaknaan bertumbuh atau luruh karena kenyataan sekarang. Kenangan seringkali tidak seperti benda kuno yang semakin lama semakin berharga. Berubah bentuk serupa model pakaian atau gaya rambut pemiliknya. Harganya menjadi absurd dalam kantong-kantong pikiran, lalu menyerah kepada kelihaian kita dalam menawarkan dan menjualnya kepada hari ini.
Semarang, 02 Oktober 2011