29 Desember 2011

DETAK JANTUNG DAN BUNYI JARUM JAM



“Aku menyayangimu jauh sebelum mengenalmu” kata lelaki pada perempuan yang mendengarkannya.
“Kamu memang pintar menggombal, sudah berapa banyak perempuan yang takluk oleh gombalanmu?”
“Kata-kataku tadi tidak dimaksudkan untuk menggombali kamu, apalagi untuk menaklukan perempuan”
“Lalu apa maksud dari kata-kata tadi?”

Kedua orang itu lalu ditelan keheningan. Beberapa bayangan berjalan-jalan dalam kepala masing-masing. Barangkali dugaan-dugaan baru akan lahir setelahnya. Siksaan selalu mengintai setiap keheningan dengan gigi-gigi tajam prasangka. Waktu berjalan pada lintasan yang pasti, namun merasakannya jadi sesuatu yang tidak dapat dipastikan. Paling tidak begitulah yang dialami lelaki dan perempuan itu.

“Aku menyayangimu sebagai kewajiban sesama manusia, karena kita harus menyayangi bahkan terhadap semua makluk bernyawa di bumi ini. Ah, maafkan aku jika kata ‘sayang’ terlalu sensitif bagimu”
“Tidak. Aku suka kamu berani mengatakannya”
“Terima kasih. Aku suka atas penerimaanmu terhadap kata-kataku”
“Apakah kau menyukaiku?”

Lelaki itu dihantui keinginan untuk mengatakan bahwa detak jantungnya masih seperti biasa ketika mengatakan telah menyayangi perempuan itu. Tapi ia tetap menyimpannya di dalam dada. Baginya itulah adalah kesekian kalinya ia berkata yang sama kepada perempuan. Walau kesekian kalinya juga ia dikatakan gombal oleh perempuan. Pertayaan terakhir perempuan itu kembali mengundang keheningan untuk mereka.

“Aku mulai menyukaimu semenjak mengenalmu”
“ Apa yang membuatmu suka padaku?”
“Segala kebaikan dan kelebihan yang kamu miliki”
“Kenapa kamu bisa mengatakan aku baik dan memiliki kelebihan? Aku merasa biasa saja”
“Kata-katamu sebelum ini jadi salah satu sebab aku menyukaimu”
“Ah, kamu bisa saja. Ayo katakan alasan kenapa kamu menyukaiku?”

Datang juga masanya lelaki itu untuk mencari alasan atau mencari-cari alasan. Yang terakhir ini selalu dihindarinya, karena ia telah memikirkan apa yang akan diucapkannya. Baginya alasan menyukai seorang perempuan jadi rahasia sementara sebelum tiba waktu yang tepat untuk mengatakannya. Alasan menyukai wanita itu telah ia simpan dalam ingatannya menjadi kenangan yang ia pelihara dengan baik. Lelaki itu mengambil nafas dalam-dalam seolah memasukkan alasan ia menyukai perempuan itu ke dalam dadanya.

“Suatu saat nanti akan kujelaskan padamu”
“Kapan? Kamu bisa saja membuatku jadi penasaran”
“Pada waktu yang kurasa tepat nantinya. Tidak masalah kamu jadi penasaran, asal tidak diiringi prasangka-prasangka”
“Agar aku tidak berprasangka, maukah kamu mengatakannya sedikit saja?”
“Sebenarnya aku telah mengatakan lebih banyak padamu dalam kata-kataku sebelumnya”
“Kamu serius? Kata-katamu yang mana?”

Lelaki itu berusaha mengatur detak jantungnya. Sekarang ia merasakan dirinya jadi sangat sensitif. Selama perbicangan semua perasaan yang dirasakannya telah ia sampaikan dengan sepenuh hati. Ia mencoba meyakinkan dirinya kalau pertanyaan perempuan itu sebagai keinginan untuk meyakini sesuatu, yaitu dirinya.

“Aku serius mengatakan semua kata-kata tadi padamu. Semoga tidak mengubah perasaanmu padaku”
“Tidak jadi masalah bagiku. Aku takut membayangkan jika perempuanmu tahu kamu     mengatakan sayang dan suka padaku”
“Hahaha, percayalah tidak ada perempuan seperti dalam bayanganmu itu”
“Aku meragukannya. Lelaki sepertimu pasti dengan mudah dapat memikat hati perempuan mana saja”
“Kamu terlalu berlebihan memujiku”
“Buktinya aku sudah merasakannya”

Menikmati detik-detik yang saling berganti sekarang seolah menikmati waktu yang hilang. Perbincangan telah membuat mereka melupakan jarum jam sedang menunjukkan angka apa. Semua yang dikatakan adalah semua yang dirasakan. Barangkali inilah hakikat dari perbincangan. Tapi mengatakan semua yang dirasakan hanya jadi sebatas usaha, karena tidak semua yang dirasakan dapat dikatakan.

“Kita telah mengatakan saling menyayangi dan menyukai, mungkinkah kita dapat saling mencintai? Tapi sebelumnya aku ingin tahu cinta itu menurutmu apa?”
“Bagiku cinta itu adalah semua alasan kita melakukan perbincangan ini, sebelum dan sesudahnya. Kita  bisa saja saling mencintai selama perbincangan demi perbincangan kita lakukan. Karena diam tidak mampu mengungkapkan cinta itu sendiri.”
“Apakah perbincangan yang sudah sering kita lakukan dapat menumbuhkan rasa cinta itu?”
“Tentu saja. Aku katakan sekarang kalau perasaan cintaku mulai tumbuh kepadamu. Tapi aku berusaha untuk...”

Tuuut....tuuut...tuuut...

Keheningan terjadi lagi di antara mereka. Bukan karena sebuah pertanyaan, tapi sebuah pernyataan yang belum tuntas disampaikan. Lelaki itu berusaha menenangkan jantungnya yang tadi berdetak lebih cepat dari biasanya. Di dalam pikirannya perempuan yang berada di kota lain itu sedang menerka-nerka pernyataannya tadi. Sungguh ia tidak ingin perempuan itu menciptakan terkaan-terkaan yang buruk terhadapnya. Jemarinya bergetar saat menekan huruf-huruf di layar ponselnya.

Perasaan cinta memang telah tumbuh dan akarnya menancap dengan kuat. Tapi aku berusaha lebih kuat untuk tidak membiarkannya tumbuh lebih besar. Karena meyakini  kalau perbincangan saja belum cukup untuk membesarkan cinta yang mulai tumbuh itu. Kita juga butuh perjumpaan demi perjumpaan untuk memeliharanya. Sekarang saatnya kita untuk memelihara perasaan cinta masing-masing, barangkali ada tunas baru yang dapat ditumbuhkannya pada waktu dan tempat lain di mana kita dapat berjumpa atau saling melupakan.

Setelah pesan singkat itu terkirim lelaki itu kembali berdamai dengan detak jantungnya. Bunyi jarum jam yang mengabarkan detik demi detik berlalu mengingatkan ia pada pagi yang menanti. Lelaki itu mulai mengatupkan matanya sambil menikmati malam bersama detak jantung dan bunyi jarum jam. Bunyi yang terasa sama saat mengabarkan kehidupan, namun tersimpan dalam dua wujud yang tidak sama atau dapat  disamakan. Barangkali dapat menjadi pengandaian dirinya dengan perempuan di kota lain itu.

 Semarang, Akhir 2011

#cumanaksirunite
 Nb: Cerita ini adalah fiksi yang diinspirasi kisah dengan perempuan dalam foto di bawah ini