“Aku
menyayangimu jauh sebelum mengenalmu” kata lelaki pada perempuan yang mendengarkannya.
“Kamu memang
pintar menggombal, sudah berapa banyak perempuan yang takluk oleh gombalanmu?”
“Kata-kataku
tadi tidak dimaksudkan untuk menggombali kamu, apalagi untuk menaklukan
perempuan”
“Lalu apa
maksud dari kata-kata tadi?”
Kedua orang
itu lalu ditelan keheningan. Beberapa bayangan berjalan-jalan dalam kepala
masing-masing. Barangkali dugaan-dugaan baru akan lahir setelahnya. Siksaan selalu mengintai setiap keheningan
dengan gigi-gigi tajam prasangka. Waktu berjalan pada lintasan yang pasti,
namun merasakannya jadi sesuatu yang tidak dapat dipastikan. Paling tidak
begitulah yang dialami lelaki dan perempuan itu.
“Aku
menyayangimu sebagai kewajiban sesama manusia, karena kita harus menyayangi
bahkan terhadap semua makluk bernyawa di bumi ini. Ah, maafkan aku jika kata
‘sayang’ terlalu sensitif bagimu”
“Tidak. Aku
suka kamu berani mengatakannya”
“Terima
kasih. Aku suka atas penerimaanmu terhadap kata-kataku”
“Apakah kau
menyukaiku?”
Lelaki itu
dihantui keinginan untuk mengatakan bahwa detak jantungnya masih seperti biasa
ketika mengatakan telah menyayangi perempuan itu. Tapi ia tetap menyimpannya di
dalam dada. Baginya itulah adalah kesekian kalinya ia berkata yang sama kepada
perempuan. Walau kesekian kalinya juga ia dikatakan gombal oleh perempuan.
Pertayaan terakhir perempuan itu kembali mengundang keheningan untuk mereka.
“Aku mulai
menyukaimu semenjak mengenalmu”
“ Apa yang
membuatmu suka padaku?”
“Segala
kebaikan dan kelebihan yang kamu miliki”
“Kenapa kamu
bisa mengatakan aku baik dan memiliki
kelebihan? Aku merasa biasa saja”
“Kata-katamu
sebelum ini jadi salah satu sebab aku menyukaimu”
“Ah, kamu
bisa saja. Ayo katakan alasan kenapa kamu menyukaiku?”
Datang juga
masanya lelaki itu untuk mencari alasan atau mencari-cari alasan. Yang terakhir
ini selalu dihindarinya, karena ia telah memikirkan apa yang akan diucapkannya.
Baginya alasan menyukai seorang perempuan jadi rahasia sementara sebelum tiba
waktu yang tepat untuk mengatakannya. Alasan menyukai wanita itu telah ia
simpan dalam ingatannya menjadi kenangan yang ia pelihara dengan baik. Lelaki
itu mengambil nafas dalam-dalam seolah memasukkan alasan ia menyukai perempuan
itu ke dalam dadanya.
“Suatu saat
nanti akan kujelaskan padamu”
“Kapan? Kamu
bisa saja membuatku jadi penasaran”
“Pada waktu
yang kurasa tepat nantinya. Tidak masalah kamu jadi penasaran, asal tidak
diiringi prasangka-prasangka”
“Agar aku
tidak berprasangka, maukah kamu mengatakannya sedikit saja?”
“Sebenarnya
aku telah mengatakan lebih banyak padamu dalam kata-kataku sebelumnya”
“Kamu serius?
Kata-katamu yang mana?”
Lelaki itu berusaha
mengatur detak jantungnya.
Sekarang ia merasakan dirinya jadi sangat sensitif. Selama perbicangan semua
perasaan yang dirasakannya telah ia sampaikan dengan sepenuh hati. Ia mencoba
meyakinkan dirinya kalau pertanyaan perempuan itu sebagai keinginan untuk
meyakini sesuatu, yaitu dirinya.
“Aku serius
mengatakan semua kata-kata tadi padamu. Semoga tidak mengubah perasaanmu
padaku”
“Tidak jadi
masalah bagiku. Aku takut membayangkan jika perempuanmu tahu kamu mengatakan
sayang dan suka padaku”
“Hahaha,
percayalah tidak ada perempuan seperti dalam bayanganmu itu”
“Aku
meragukannya. Lelaki sepertimu pasti dengan mudah dapat memikat hati perempuan
mana saja”
“Kamu terlalu
berlebihan memujiku”
“Buktinya aku
sudah merasakannya”
Menikmati
detik-detik yang saling berganti sekarang seolah menikmati waktu yang hilang.
Perbincangan telah membuat mereka melupakan jarum jam sedang menunjukkan angka
apa. Semua yang dikatakan adalah semua yang dirasakan. Barangkali inilah
hakikat dari perbincangan. Tapi mengatakan
semua yang dirasakan hanya jadi sebatas usaha, karena tidak semua yang
dirasakan dapat dikatakan.
“Kita telah mengatakan saling menyayangi
dan menyukai, mungkinkah kita dapat saling mencintai? Tapi sebelumnya aku ingin
tahu cinta itu menurutmu apa?”
“Bagiku cinta itu adalah semua alasan kita
melakukan perbincangan ini, sebelum dan sesudahnya. Kita bisa saja saling mencintai selama
perbincangan demi perbincangan kita lakukan. Karena diam tidak mampu
mengungkapkan cinta itu sendiri.”
“Apakah perbincangan yang sudah sering
kita lakukan dapat menumbuhkan rasa cinta itu?”
“Tentu saja. Aku katakan sekarang kalau perasaan
cintaku mulai tumbuh kepadamu. Tapi aku berusaha untuk...”
Tuuut....tuuut...tuuut...
Keheningan terjadi lagi di antara mereka.
Bukan karena sebuah pertanyaan, tapi sebuah pernyataan yang belum tuntas
disampaikan. Lelaki itu berusaha menenangkan jantungnya yang tadi berdetak
lebih cepat dari biasanya. Di dalam pikirannya perempuan yang berada di kota
lain itu sedang menerka-nerka pernyataannya tadi. Sungguh ia tidak ingin
perempuan itu menciptakan terkaan-terkaan yang buruk terhadapnya. Jemarinya
bergetar saat menekan huruf-huruf di layar ponselnya.
Perasaan cinta memang telah
tumbuh dan akarnya menancap dengan kuat. Tapi aku berusaha lebih kuat untuk
tidak membiarkannya tumbuh lebih besar. Karena meyakini kalau perbincangan saja belum cukup untuk
membesarkan cinta yang mulai tumbuh itu. Kita juga butuh perjumpaan demi
perjumpaan untuk memeliharanya. Sekarang saatnya kita untuk memelihara perasaan
cinta masing-masing, barangkali ada tunas baru yang dapat ditumbuhkannya pada
waktu dan tempat lain di mana kita dapat berjumpa atau saling melupakan.
Setelah pesan singkat itu terkirim lelaki
itu kembali berdamai dengan detak jantungnya. Bunyi jarum jam yang mengabarkan
detik demi detik berlalu mengingatkan ia pada pagi yang menanti. Lelaki itu
mulai mengatupkan matanya sambil menikmati malam bersama detak jantung dan
bunyi jarum jam. Bunyi yang terasa sama saat mengabarkan kehidupan, namun
tersimpan dalam dua wujud yang tidak sama atau dapat disamakan. Barangkali dapat menjadi
pengandaian dirinya dengan perempuan di kota lain itu.
Semarang, Akhir 2011
#cumanaksirunite
Nb: Cerita ini adalah fiksi yang diinspirasi kisah dengan perempuan dalam foto di bawah ini