27 Maret 2012

Cinta dan Cita-cita Menikah Pada Usia Muda


Cita-cita tidak seperti cinta yang dapat datang tiba-tiba atau berubah tanpa aba-aba. Begitu juga dalam masalah kuatitas cita-cita dan cinta banyak yang menginginkan untuk tidak disamakan. Cita-cita semacam keinginan yang tidak mutlak harus dapat dipenuhi, namun cinta adalah kebutuhan yang mutlak sebagai manusia. Ada yang bercita-cita ingin nikah muda, namun akhirnya mereka menikah dalam usia tua. Kapasitas kebahagiaanya memang tidak dapat diukur oleh orang lain, namun dapat diduga kalau kebahagiaanya relatif sama dengan menikah pada usia muda.

Menikah sebelum umur dua puluh tujuh tahun menjadi keinginan saya dulunya. Saat itu keinginan saya tidak terhalang oleh jumlah materi yang dimiliki, ataupun keinginan lain yang belum terwujud. Karena semuanya itu telah digariskan hingga tinggal menjalaninya saja. Jika diingat kembali, jodoh juga sudah digariskan, barangkali juga waktunya.

Beberapa hari terakhir, keinginan untuk menikah muda seperti lesap perlahan-lahan dari kepala. Kekagetan muncul bertubi-tubi melihat foto adik-adik kelas dan teman-teman semasa sekolah yang memajang foto-foto pernikahan dan bayi-bayi mereka di Facebook.  Tidak ada yang salah dari foto-foto yang mereka pajang. Namun secara sepihak foto-foto itu menebar teror ke dalam pikiran saya. Puncak dari kekagetan saya adalah ketika bertemu teman kelas di kampus dalam keadaan hamil besar. Teman yang sudah lima bulan tidak berjumpa.

Tulisan ini disulut oleh perjumpaan tadi siang itu. Bukan karena saya pernah memiliki hubungan emosional dengan dia. Tapi karena dia adalah seorang teman yang dengan lantang menyatakan ingin menikah muda dahulunya. Sekarang cita-citanya terwujud dan melahirkan teror bagi kehidupan saya.
Tidak ingin mengusut alasan dia menikah pada usia muda, teror itu muncul dari latar belakang keinginannya yang pernah disampaikan kepada saya. Latar belakang yang saya simpan sebagai rahasia, hingga tidak akan ditemui dalam tulisan ini.

Beberapa orang di sekitar saya yang memilih menikah muda sempat menjadi acuan saya dalam mengambil keputusan. Mereka terlihat bahagia dengan berkah dari pernikahan. Hal ini adalah kenyataan yang saya lihat, selain dari pemaparan mereka tentang kehidupan rumah tangganya. Mengapa keinginan menikah muda mulai lesap dari pikiran saya? Adalah karena praduga saya terhadap beberapa teman lain yang menikah muda, termasuk teman yang saya lihat tadi siang. Saya rasa ini memang tidak sehat karena mengambil keputusan berdasarkan praduga. Selain itu hal-hal lain yang lebih masuk akal seperti: karir, kestabilan emosi, gaya hidup mulai menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan akan menikah pada usia muda atau tidak.

Menikah pada usia muda telah dikubak-kuliti oleh para ahli sebelumnya. Namun bukan berarti mengindahkan hasil kajian mereka, saya memilih pendapat dari mereka yang telah menjalaninya dan pengamatan saya terhadap mereka.  Pada akhirnya saya merasa cita-cita seperti cinta juga. Dapat datang tiba-tiba atau berubah tanpa aba-aba. Segalanya dilatar belakangi oleh suatu peristiwa, baik disadari maupun tidak. Namun selayaknya cinta dan cita-cita diputuskan oleh pikiran yang dimasak sampai matang, walau tak dapat dicegah praduga turut menjadi api di dalam tungkunya.





17 Maret 2012

Stranger Than Fiction



Harold Crick hidup seperti robot yang diatur oleh bunyi jam tangannya mulai gelisah oleh suara gaib yang menceritakan semua kebiasaannya. Lebih dari kebiasaannya yang menyikat gigi dengan gerakan sama dan hitungan sama selama 12 tahun, menghitung jumlah ubin yang dilangkahinya, atau tidur tepat pada pukul 10.13 selama 12 tahun. Suara gaib itu bahkan juga menceritakan kematiannya yang akan datang serta perihal cintanya dengan Ana Pascal. Suara itu seperti mendikte setiap langkah yang diayunkannya dan setiap benda yang akan disentuhnya. Pekerjaan, jadwal-jadwal yang kaku, hingga bunyi jam tangan benar-benar mengubah Harold Crick menjadi seorang robot, kesepian selama 12 tahun, dan hanya memiliki seorang teman dalam hidupnya.

Seorang perempuan pengarang kisah tragadi mencari-cari cara dan bereksperimen untuk membunuh Harold Crick. Mulai dari melompat dari atas gedung sampai terjun ke sungai dengan mobil saat menghindari anak kecil yang tergelincir bersepeda. Sungguh Karen Eifel si pengarang itu, ingin membunuh Harold Crick dalam novel terakhirnya sebagai pelengkap dari kisah tragedinya. Dalam novelnya segala yang diceritakan tentang Harold--fisik, pakaian, dan kegiatannya—benar-benar seperti adanya dalam realita kehidupan Harold Crick. Suara yang menceritakan itulah yang selalu mengusik Harold hingga ia memutuskan cuti dan mencari keberadaan suara tersebut.

Sejak ia mulai mencari keberadaan suara itu, segala kebiasaannya mulai berganti. Harold mulai jatuh cinta kepada Ana Pascal, berbantah-bantahan dengan psikiater yang mengatakan ia menderita skizofrenia, bersitegang dengan developer yang salah mengeksekusi apartemennya, dan menangis ketika Prof. Hilbert tidak dapat membantu menyelematkan hidupnya yang akan segera berakhir seperti dalam novel Karen Eifel. Bunyi jam tangannya tidak lagi berkuasa kepada setiap langkah yang diambilnya karena ia telah mengabaikannya.

Karen Eifel sangat terkejut ketika Harold Crick menelpon dan menemuinya, ia sangat terkejut karena sosok Harold Crick sangat serupa dengan bayangannya—fisik dan pakaiannya. Harold Crick memaksanya untuk mengubah akhir cerita dalam novelnya. Karen Eifel mengalami tekanan karena delapan novel yang ia tulis sebelumnya berakhir tragis dengan kematian. Bayangan telah membunuh orang lain melesat begitu cepat dalam pikirannya. Dalam pertemuan itu Harold Crick diserahi draft novel yang tidak lain menceritakan tentang dirinya sendiri. Namun Harold Crick belum berani membacanya dan meminta Profesor Hilbert untuk membaca terlebih dahulu.

Menurut Profesor Hilbert novel itu memang harus berakhir dengan kisah tragis, yaitu kematian Harold Crick sebagai puncaknya. Profesor Hilbert juga meramalkan novel ini akan menjadi masterpiece-nya Karen Eifel. Harold Crick menjadi putus asa hingga memberanikan diri membaca novel tersebut di dalam bus selama seharian. Akhirnya Harold Crick menerima kisah hidupnya yang tragis--mati ketika novel itu selesai ditulis.

Hidup Harold Crick akan berakhir setelah dua huruf lagi ditambahkan Karen Eifel dalam novelnya, ketika ia sampai pada bagian “Harold Crick was de”. Klimaks dari film ini sampai pada puncaknya. Akhirnya film ini ditutup dengan pesan yang menarik sebagai akhir dari novelnya Karen Eifel.

As Harold took a bite of Bavarian sugar cookie, he finally felt as if everything was going to be ok. Sometimes, when we lose ourselves in fear and despair, in routine and constancy, in hopelessness and tragedy, we can thank God for Bavarian sugar cookies. And, fortunately, when there aren't any cookies, we can still find reassurance in a familiar hand on our skin, or a kind and loving gesture, or subtle encouragement, or a loving embrace, or an offer of comfort, not to mention hospital gurneys and nose plugs, an uneaten Danish, soft-spoken secrets, and Fender Stratocasters, and maybe the occasional piece of fiction. And we must remember that all these things, the nuances, the anomalies, the subtleties, which we assume only accessorize our days, are effective for a much larger and nobler cause. They are here to save our lives. I know the idea seems strange, but I also know that it just so happens to be true. And, so it was, a wristwatch saved Harold Crick.