5 Oktober 2011

Rumah Sederhana di Taman Kanak-kanak


Ia paling setia menanti setiap kepulangan. Seakan tubuhnya dibentuk dari penantian-penantian yang berganti setiap hari. Tubuhnya tahan terhadap tamparan udara dingin. Tidak pernah ia mengeluhkan panasnya siang. Bentuk tubuh yang berubah adalah buah dari perjalanan waktu, namun ketenangannya tak pernah berubah, tak pernah goyah. Ia hidup karena penantian, akan selalu hidup karena menanti. Menanti suatu kepulangan juga menanti suatu kehilangan.
***
Ia paling setia melepas kepergian. Seakan tubuhnya dibentuk dari pelepasan-pelepasan yang berganti setiap hari. Tubuhnya tangguh pada setiap air mata yang jatuh. Tabah terhadap jabat tangan sebagai tanda berpisah. Ia tidak menyimpan laut luas dalam dada untuk berlayar kapal-kapal yang mengangkut kepedihan. Hanya sumur kecil dengan dua mata air yang dapat melepaskan dahagamu. Kehilangan tidak akan membuatnya nelangsa. Baginya tidak ada kesepian yang ditinggalkan oleh kepergian. Kepergian adalah hidupnya dan akan tetap hidup selama kepergian masih terjadi.
***
Selalu terasa ada yang kurang setiap kali ada yang ditambah. Ia membuka mulut lebar-lebar untuk lapar yang tak pernah terbayar. Pintu-pintu di tubuhnya adalah jalan lapang yang kerontang. Dilalui ketika pulang atau pergi sudah tidak ada yang peduli.  Semua yang berlalu terasa hampa. Anginpun segan untuk menyapa.
***
Seorang bocah menyusun tubuhnya dengan potongan kayu sederhana—warna dan potongannya. Sisi-sisi yang rumit tidak dipandang, mungkin juga telah hilang. Siang itu di taman kanak-kanak sebuah rumah telah dibangun. Keringat bening dari kening bocah menetes lemah ke atap rumah sederhana itu. Rumah itu hanya dibangun dengan balok, kubus, dan prisma. Bocah itu membayangkan tubuhnya masuk ke dalam rumah yang telah dibangunnya. Di dalamnya ia akan berlarian, pipis, tidur, bermimpi, bermain, dan membuat rumah baru lagi.
Kepala bocah itu ditengadahkan sambil telentang. Ia baru bangun dari tidurnya dan langsung melihat rumah baru yang tadi dibangun dan dimimpikannya. Masih tetap sederhana dan tenang. Sebentar lagi sopir pribadi menjemputnya ke sekolah. Ia akan menanam rindu untuk membangun rumah baru lagi pada esok harinya. Di rumahnya semua mainan memiliki sisi-sisi yang rumit. Ia merasakan mainan itu sama dengan rumahnya. Ia tidak pernah bermimpi ingin tidur di sana.
Semarang, 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar