23 Oktober 2014

Di Merbabu, Kamu Memahami Dirimu

Suatu keinginan yang beberapa kali tertunda sampai tidak jadi dilakukan selama kuliah di Semarang adalah naik gunung. Beberapa kali gagal melakukan pendakian walaupun sudah direncanakan sebelumnya, dan tidak siap ketika ada pendakian diselenggarakan. Beberapa waktu yang lalu, dengan mengambil cuti selama dua hari kerja keinginan itu jadi terwujud. Pilihannya adalah gunung Merbabu.

Sabtu siang tanggal 6 September 2014, Saya dan Irviene berangkat dari stasiun Senen dengan kereta api Kertajaya menuju Semarang. Kesibukan dan kepadatan lalu lintas mengawal kami sampai di stasiun. Bagi saya ini adalah perjalanan menggunakan kereta api kedua sejak PT Kereta Api Indonesia melakukan perubahan besar terhadap sistem dan pelayanan mereka. Perubahan yang sangat layak diapresiasi karena mampu menciptakan kenyamanan bagi pengguna kereta api. Melewati tangga naik dan turun di lorong stasiun untuk mencapai peron saat menunggu kereta datang.

Stasiun Pasar Senen

Pemandangan sepanjang perjalanan adalah hal yang tidak bisa membuat saya tertidur. Hamparan sawah, kebun, bukit, rumah-rumah penduduk, jalan-jalan yang lengang dan perubahan cuaca begitu menjerat mata saya. Semua itu dapat dinikmati dengan tenang dari balik jendela kaca. Menjelang magrib kereta sampai di Cirebon dan berhenti sejenak. Kesempatan ini memungkinkan saya untuk mengambil gambar matahari yang akan menghilang di balik rimbunnya pohon dan rumah-rumah penduduk.
Sunset di Cirebon

Sesuai dengan jadwal yang tertera pada tiket, 20.10 kereta sampai di stasiun Poncol Semarang. Karena teman yang akan menjemput kami datang  terlambat, akhirnya saya putuskan untuk jalan kaki menuju warung nasi goreng Padang di belakang stasiun. Suasana yang ramai hingga harus mengantri, serta nostalgia pada masa lalu mewarnai malam pertama di Semarang. Teman yang menjemput menyusul ke tempat ini. Sebelum meninggalkan warung ini, kami menyimpulkan kalau rasa nasi gorengnya sama untuk setiap menu yang dipesan, yang membedakan hanyalah pilihan topingnya seperti udang, petai, daging yang ditambahkan pada akhir penyajian.
Nasi Goreng Padang

Malamnya saya memutuskan menginap di basecamp Hysteria, yang katanya sekarang telah berubah menjadi organsisasi. Suasananya masih sama dengan waktu terakhir saya ke sini, penuh kesibukan, perlawanan, militansi, romantisme, kreatif, dan berantakan. Sebagai penutup dari malam ini saya menerima (baca; membeli) buku puisi Eskapis si Kelapir Arif Fitra Kurniawan teman bergiat di komunitas Lacikata. Teman yang paling tabah menerima cercaan atas segala yang dia tulis dan bahasa tubuhnya yang sering kontraaksi.
Eskapis: Sekumpulan Pusi Arif Fitra Kurniawan
Dari Hysteria perjalanan berlanjut ke Tembalang, nostalgia semakin kental dengan kenangan tinggal selama dua tahun di sini. Menikmati ulang sarapan dan jajanan yang dulunya sering dibeli dan menghampiri tempat-tempat yang pernah ditinggali sebelumnya. Di sini semua perlengkapan dan bekal selama pendakian disiapkan. Setelah menunaikan sholat zuhur dan makan siang, perjalanan ke Merbabu dimulai.
Basecamp Hysteria
Perjalanan dari Semarang sampai ke Kopeng, daerah di kaki gunung Merbabu ditempuh selama dua setengah jam. Pukul 16.30 kami sampai di posko pertama untuk melakukan pendakian. Posko ini menyediakan tempat parkir motor indoor dengan biaya Rp 4.000/motor, bak air dan toilet, tempat sholat, makanan dan minuman serta merchandise pendakian gunung Merbabu. Melepas penat berkendara sejenak lalu melakukan pendaftaran sebelum pendakian dimulai. Setiap pendaki harus mendaftar dengan menuliskan nama, alamat, asal, nomor kontak dan membayar Rp 5.000/orang. Pendakian kami dimulai tepat pukul 17.00.

Awal pendakian kami langsung disambut oleh tanjakan pertama dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Tanjakan yang langsung membuat jantung berdetak lebih cepat dan suara nafas terdengar memburu. Tanjakan ini seakan berkata kepada para pendaki untuk mempersiapkan fisik dan mental lebih kuat untuk melakukan pendakian. Pendakian ini adalah yang pertama dalam hidup si Irviene dan tanjakan ini menciptakan keraguan dalam dirinya untuk bisa sampai di puncak.

Pendakian terus dilakukan di sisa siang itu dengan perlahan. Selepas adzan magrib kami memutuskan untuk istirahat dan menikmati minuman hangat serta sedikit makanan. Sialnya alat terpenting untuk memasak tidak ada dalam tas yang kami pikul. Kompor yang seharusnya ada dalam nesting tidak ditemukan. Terpaksa Ijran dan Zulfi harus turun ke bawah untuk mencarinya. Dua pendaki yang sudah pernah mencapai puncak tertinggi Merbabu ini, hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk ke posko pertama dan sampai lagi di tempat kami berhenti.

Teh madu hangat dan kacang goreng adalah menu selepas magrib sebelum melanjutkan perjalan ke Posko Dua. Bulan yang hampir penuh setia menerangi perjalanan kami hingga mata telanjang bisa melihat jalanan yang berdebu tebal dengan jelas. Kemarau masih meninggalkan jejaknya di sepanjang jalan--debul tebal dan rumput mati.

Setelah berhenti untuk kesekian kalinya, akhirnya kami sampai di Posko Dua pada jam 21.00. Saat itu hanya ada tiga tenda pendaki yang sudah lebih dulu dipasang di sana. Kami masih leluasa memilih lokasi untuk mendirikan tenda di area yang lebih kurang seluas setengah lapangan bola kaki. Di area yang dikelilingi oleh semak belukar kami mendirikan tenda untuk berlindung dari tiupan angin yang tak henti-hentinya sepanjang malam itu.

Cahaya bulan adalah keindahan yang tak tertandingi malam itu. Angin masih terus berhembus, api kompor yang mematangkan nasi, mie dan air mesti disembunyikan ke balik dinding-dinding yang kami bentuk dari banner bekas pendaki sebelumnya. Mie rebus, sarden, bon cabe dan teh madu hangat adalah menu makan malam yang begitu nikmat ditengah suhu dingin yang menyelimuti.

Menikmati detik-detik munculnya matahari dari ketinggian akan menjadi suatu kebahagiaan saat mendaki gunung, begitulah keinginan kami malam itu yang dibawa ke dalam mimpi. Setelah makan kami berusaha tidur agar bisa bangun sebelum subuh dan melanjutkan pendakian ke Posko Tiga. Salah satu di antara kami, Irviene tidak bisa tidur, kepalanya terasa sakit dan sekujur tubuhnya juga ikut merasakan. Sakit yang dideritanya tidak kunjung hilang walau telah dipijat beberapa kali. Dia masih mengeluhkan sakitanya beberapa lama. Kami merasa sakitnya hilang setelah dia diam sejenak. Namun tiba-tiba tubuhnya menggigil hebat. Dia mengalami hipotermia ringan. Sleeping bag ditambahkan untuk menghangatkan tubuhnya dan dipeluk supaya suhu tubuhnya cepat naik. Setelah getaran tubuhnya akibat menggigil hilang dan kesadarannya pulih, kami menyiapkan teh madu hangat sebagai obat yang ampuh untuk menenangkan kondisinya. Ditemani biskuit kering teh madu hangat menjadi menu penutup malam itu sebelum kami larut dalam tidur masing-masing.

Ketika berada di alam bebas dimana setiap rencana bisa berjalan mulus dan berubah kita mesti mengamininya. Rencana kami untuk menikmati matahari pagi muncul di ufuk Timur harus dilupakan. Pagi itu kami memilih menikmati cahaya matahari di sekitar Posko Dua dan mengambil foto dengan latar gunung Sindoro dan Sumbing. Mencuci muka dengan air dingin yang dialirkan langsung dari sumbernya menimbulkan sensasi kesegaran luar biasa. Di bawah siraman cahaya matahari dan udara segar pagi itu kami sarapan dan berkemas untuk melanjutkan perjalanan.

Mandi Cahaya Matahari Pagi

Struktur jalan yang dilalui memiliki kemiringan rata-rata 50 derajat menuju Posko Tiga. Debu tebal dan rumput-rumput mati masih dijumpai sepanjang perjalanan. Mengingat perjalanan menuju puncak tertinggi masih jauh, kami memutuskan untuk meninggalkan beberapa barang di tengah perjalanan. Barang tersebut disembunyikan di semak-semak di samping jalan dengan mengikatkan tali plastik pada pohon terdekat sebagai pengingat. Hanya dengan membawa logistik dan perelengkapan memasak beban kami jauh lebih ringan untuk melanjutkan pendakian.

Bunga Edelweis yang disebut sebagai bunga keabadian adalah suatu keindahan yang dapat dinikmati selama perjalanan menuju Posko Tiga atau Puncak Mercusuar. Suatu keindahan yang akan terus bertahan jika dibiarkan tumbuh bebas di alam. kami sampai di Posko tiga setelah menempuh dua jam perjalanan. Gunung Sindoro dan Sumbing makin jelas kelihatan, begitu juga hijaunya savana di arah yang berlawanan. Dari sini kami berdiri lebih tinggi dari awan putih yang mengambang di kejauahan. Barangkali inilah "dunia lantai dua" yang hanya bisa dinikmati saat mendaki gunung.
Melepas Lelah dan Menikmati Pemandangan


Sindoro dan Sumbing Dari Puncak Mercusuar

Struktur jalan yang kami tempuh setelah dari Posko Tiga berganti menjadi batu kapur dan kerikil. Bau belerang merasuk ke indera penciuman. Keindahan savana memanjakan mata kami selama perjalanan. Kami sampai di Posko Heli Pad sekitar lima belas menit dari Posko Tiga. Bau belerang masih tercium di sini dan kami hanya berhenti sejenak. Jalan di depan tampak begitu menarik untuk ditempuh, yaitu jalan menyisir di pinggang lereng savana. Keindahan yang dapat membuat terlena dan harus selalu berhati-hati agar tidak sampai jatuh dan terpeleset.

Jalanan Di Lereng Savana

 Di ujung jalan yang melewati savana kami disambut oleh jalan menanjak yang lebih terjal. Batu-batu gunung, akar pohon dan pohon-pohon menjadi tempat berpegang dan berpijak untuk terus melangkah. Di beberapa tempat kemiringan medan yang kami tempuh sekitar 70-80 derajat membuat tangan dan kaki harus seirama dalam bergerak. Fokus dan menjaga konsentrasi adalah cara terbaik untuk terus melangkah diiringi doa-doa yang muncul dari dalam hati.

Medan Yang Cukup Berat

Menjelang tengah hari kami sampai di Puncak Kentheng Songo, Sujud syukur atas perjalanan yang berhasil ditempuh sampai di sini. Selebihnya kekaguman dengan pemandangan yang terhampar di depan kami. Kami berada di dunia lantai dua. Awan putih bersih menjadi lantai ruang ini, warna biru yang indah menyambutnya dari ujung hingga ke atas, serta tebing-tebing hijau savana yang memikat. Gunung Merapi berdiri anggun dikelilingi awan putih yang perlahan bergerak menyelimutinya. Bendera Merah Putih berkibar ditiup angin segar dan senyum kepuasan menghiasi bibir kami masing-masing.
Dunia Lantai Dua

Merah Purih di Puncak Kentheng Songo
Lembah Hijau Peralahan Diselimuti Kabut

Puncak Kentheng Songo adalah tempat tertinggi saya makan siang, yaitu 3.142 M di atas permukaan laut. Nasi, mie rebus, sarden, bon cabe dan teh madu hangat kembali jadi menu telezat siang itu. Mengabadikan keindahan alam ke dalam foto adalah kegiatan favorit di sini. Pandangan lepas ke sekeliling. Merapi, Sindoro, Sumbing, lembah, savana adalah objek menarik untuk dinikmati dibawah hangatnya cahaya matahari yang malu-malu menyentuh kulit.

Sebelum Turun Dari Puncak Kentheng Songo

Bathin kami dipenuhi kepuasan menikmati keindahan ciptaan sang Maha Pencipta. Jam satu siang kami memulai perjalanan turun. Perjalanan yang terasa begitu riang setelah berhasil mencapai puncak tertinggi selama lebih kurang delapan jam. Di beberapa bagian jalan yang berkerikil halus kami bisa berseluncur dan debu berterbangan dengan cepat. Dengan kondisi psikologis yang senang dan perasaan capek yang jauh berkurang, kami bisa mematok waktu untuk terus berjalan dan beristirahat.

Kami sampai di Posko Dua jam sekitar jam setengah tiga. Setelah membersihkan tubuh dari debu, gosok gigi, sholat dan berkemas kami menikmati siang itu dengan minum teh madu hangat dan cemilan. Entah apa nama yang cocok untuk cemilan yang kami masak ini. Roti tawar dimasukan ke dalam susu panas, ditambah madu, meses, dan biskuit kering. Rasanya sungguh nikmat hingga semuanya ludes tak bersisa.
Cemilan Ajaib

Perjalanan turun kembali dilanjutkan. tiga puluh menit adalah waktu yang ditentukan untuk berjalan yang diselingi istirahat lima sampai sepuluh menit. Kami bisa menikmati pemandangan hutan pinus yang sebelumnya kami lewati saat malam. Menjelang magrib kami sudah melewati di Posko Satu. Cahaya keemasan dari matahari yang akan meninggalkan siang itu memanjakan mata kami. Adzan Magrib mengalun merdu dari perkampung di kaki Merbabu. Kerlap-kerlip dari lampu rumah pendudukan  bermuculan.
Sunset Diperjalanan Turun

Cahaya senter yang telah disiapkan menemani perjalanan turun selanjutnya. Cahaya-cahaya senter dari para pendaki tampak berjalan ke arah kami. Sepertinya Merbabu ini tak pernah sepi didaki oleh orang-orang. Saat sebagian turun, sebagian lagi naik begitu terus seperti kehidupan ini. Mereka mencari sesuatu di dalam diri mereka dengan melakukan perjalanan. Perjalanan terjauh yang bisa ditempuh bukanlah perjalanan ke ujung bumi, tapi perjalanan ke dalam diri yang paling murni. Segala tindakan yang dilakukan adalah gambaran dirimu seadanya. Tidak dilebihkan, tidak dikurangi, dan tidak dibuat-buat untuk menciptakan suatu kesan. Di sini kamu bisa memahami dirimu seutuhnya. Seperti apakah dirimu saat semua citra yang biasa kamu sematkan kini lepas tanpa disadari. Di sini kamu akan memahami dam mengetahui dirimu. Dari mulutmu akan keluar kata "Inilah aku". Perjalanan telah membuka pemahaman atas dirimu. Di sini, di Merbabu kamu memahami dirimu, seutuhnya.

24 Oktober 2014








1 Agustus 2014

7. Rahasia Kesedihan


“Maafkan aku kalau kemarin membuat percakapan kita jadi tidak menarik”
“Iya. Nggak apa-apa. Santai saja. Emang kemarin kenapa?”
“Aku tetap gak tahu kenapa, tiba-tiba saja sedih dan merasa kesepian. Biasanya juga seperti itu, ntar sedihnya hilang dengan sendirinya.”
“Bukankah setiap kesedihan ada penyebabnya?”
“Tidak. Bagiku kesedihan bisa terjadi tanpa ada penyebabnya”
“Ada apa denganmu? Silahkan cerita kalau kamu mau menceritakannya”
“Belum saatnya. Udahlah, aku nggak mau cerita tentang diriku lagi. Maaf ya, kalau ngomong denganku jadi tidak menarik”
“Percakapan yang tidak menarik sesekali hadir untuk menyempurnakan percakapan lain menjadi sangat menarik”
“Ah. Dasar”

            Pertama kalinya aku mengetahui kamu menyembunyikan sesuatu. Mungkin sebuah cerita atau keadaan. Sialnya kamu tidak mau menyampaikannya. Praduga-praduga menyelusup ke dalam pikiranku. Ada yang mengatakan aku belum cukup dipercaya untuk mendengarkan cerita-cerita krusial dalam kehidupanmu. Ada yang merasa kamu sedang mendramatisir keadaan, mungkin saja karena datang bulan. Ada yang mengatakan usia pertemuan kita belum cukup untuk sebuah kisah penting dalam hidupmu. Satu praduga yang lebih menguasai pikiranku adalah kamu sedih karena laki-laki yang kamu kirim email kemarin. Barangkali dia memang tidak membalas emailmu, sedangkan kamu sangat mengharapkan dia membalasnya, atau dia membalas dengan kalimat-kalimat yang tidak kamu harapakan.
            “Apakah laki-laki yang kamu ceritakan kemarin telah membalas emailmu?”
            “Tidak. Dia belum membalas emailku”
            Aku menatap wajahmu dengan tatapan orang kebingungan. Sepertinya kamu mengetahui kebingunganku lalu menimpali.
            “Aku sedih bukan karena itu kok”
            “Oke. Kalau kamu masih belum mau menceritakannya, tapi jika kamu mau menceritakannya suatu saat nanti, silahkan. Rasa penasaran ini bisa mengendap lama dalam pikiranku”.
            “Iya. Lihat nanti saja”
            “Oh iya. Jangan-jangan kamu sedih dan merasa sendiri karena jomblo?”
            “Siaaaaaal...” Lalu kita sama-sama tertawa melepaskan ketegangan karena tebakanku yang selalu salah tentang alasan kesedihanmu.
            Sebuah kelegaan menyelinap di antara praduga-praduga tentang kesedihanmu. Lebih melegakan lagi karena bukan laki-laki yang kamu ceritakan itu penyebabnya. Sebelumnya, aku membayangkan betapa hebatnya  laki-laki itu meninggalkan goresan kesedihan pada dirimu. Hingga dibutuhkan suatu kebahagiaan yang lebih hebat untuk dapat menghilangkannya. Kebahagian yang harus diciptakan oleh seorang laki-laki yang sedang mendekatimu. Namun itu bukanlah keadaan yang sebenarnya. Sedikit mampu menenangkanku.
            Keadaan yang paling membingungkan bagi seorang laki-laki adalah saat menghadapi kesedihan perempuan. Lebih membingungkan lagi jika kesedihan itu tanpa diketahui penyebabnya. Setelah belum mampu menyelami keluasan perasaanmu, sekarang kamu memerangkapku dalam gua rahasia kesedihanmu. Maukah kau memberikan suatu petunjuk untukku keluar dari sini?

Bersambung...
250714

20 Juli 2014

6. Cerita Demi Cerita

            Selain dari usia kita yang terus bertambah, cerita demi cerita di antara kita juga semakin bertambah. Aku berbagi cerita kepadamu, kamu berbagi cerita kepadaku hingga suatu saat nanti aku bisa ceritakan kembali. Sebelum cerita-cerita itu terlupakan oleh cerita lainnya hingga kita hanya bisa menyebutnya sebagai kenangan.
            Cerita-cerita yang kita bagi tidak melulu tentang kebaikan, kekerenan, atau keadaan yang dapat menggambarkan kita begitu indah di depan orang lain. Kekonyolan dan kebodohan yang pernah dilakukan menjadi bagian pula dalam cerita. Cerita-cerita yang tidak keren itu malahan membuat kita merasa bebas dalam bercerita. Kita merdeka dari rahasia-rahasia pada masa lalu. Tiada yang direkayasa dan tiada yang disembunyikan di antara kita.
            Kamu ceritakan kekonyolanmu saat mengira biji buah naga adalah semut dalam sup buah yang sedang kamu makan. Hingga kamu ambil satu per satu dengan ujung sendok dan membuangnya. Aku balas dengan cerita menanyakan “gerobak” kepada pegawai super market karena lupa dengan istilah trolley. Kita saling menertawakan diri sendiri. Menjadikan kekonyolan masa lalu sebagai komedi hari ini.
            Kekesalan kita pada padatnya arus lalu lintas di kota ini hingga melakukan berbagai kegiatan di tempat berbeda jadi lebih menantang. Atau kemurkaan kita pada listrik yang mati pada saat-saat genting hingga harus ke mini market hanya untuk dapat colokan, guna men-charge laptop yang hampir mati saat diburu deadline. Adakalanya kita berbagi peran menjadi penenang atas segala kekesalan dan pemberi solusi bagi setiap kebuntuan.
            “Aku lagi sedih” begitulah jawabmu suatu ketika aku tanyakan kabarmu.
            “Kenapa?”
            “Gak tahu. Sedih aja pokoknya”
            “Kamu habis ngapain?”
            “Gak ngapa-ngapain”
            “Kamu mau cerita tentang sesuatu yang mungkin jadi penyebab kesedihanmu?”
            “Aku gak tahu. Aku gak mau cerita. Aku juga gak tahu kenapa aku sedih”.
            “Apa kamu sedih karena aku? Salahku maksudnya?”
            “Gak tahuuuuuuu...”
            Untuk pertama kalinya kebingungan menghampiriku saat berbicara denganmu. Entah dari siapa awalnya kebingungan ini menular. Kamu hanya merasa sedih tanpa tahu penyebabnya. Tidak mampu berbagi dalam cerita seperti kekonyolan yang pernah dilakukan. Aku menjadi bingung karena tidak mengetahui penyebab keedihanmu. Aku bisa saja memberimu solusi yang normatif. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Jika sedikit merayumu, akan kusampaikan bahwa aku akan selalu ada di sampingmu ketika senang maupun sedih. Tapi kamu tahu semua itu tidak aku sampaikan.
            Aku belum bisa memahami kebingungan yang kamu hadirkan. Karena itu aku menjaga diri untuk bertindak sebagai pahlawan dalam masalahmu. Selain masih merasa kebingungan, satu hal yang masih dapat aku lakukan dengan baik adalah mendengarkanmu. Jika sedikit sekali cerita yang keluar dari mulutmu, biarlah aku hanya mendengar suara nafasmu.

Bersambung...
200714





17 Juli 2014

5. Pesan Tentang Perasaan

Dear Mas Anom

            Maaf mengganggu kamu dengan mengirim pesan ini pada tengah malam. Tadi sore aku habis nonton film Cinta Dalam Kardus dengan seorang teman. Setelah itu kami mengobrol cukup lama tentang film itu dan hubungannya dengan keadaan kita masing-masing. Film dan obrolan kami tadi menginspirasiku untuk menulis email ini. Kamu tidak perlu balas apapun karena aku hanya ingin mengungkapkan perasaan yang aku rasakan selama ini.
            Aku masih ingat waktu kita bersama dulu, suatu siang kamu mengajakku ke pantai. Di sana aku tidak berhenti tertawa dan bercanda denganmu, dan aku merasa bahagia sekali bersamamu. Hingga hal-hal seperti itulah yang selalu aku tunggu. Kita berbicara apa saja dan menertawakan apapun yang membuat perasaanku jadi senang dan lepas tanpa beban sedikitpun.
            Tiba-tiba kamu menghilang begitu saja. Aku merasa sangat sedih ketika menyadari kamu sudah jauh dariku. Pesan-pesanku yang tidak dibalas, panggilan-panggilan telpon yang tidak dijawab dan tidak ada lagi pertemuan demi pertemuan.
            Lalu aku merasa mungkin kamu hanyalah orang yang mampir secara kebetulan dalam kehidupanku. Kita bertemu di persimpangan sebelum memilih arah jalan yang berbeda. Suatu saat kita akan pergi menuju jalan masing-masing namun aku terlambat menyadarinya. Aku masih terjerat oleh rasa sayangku terhadapmu hingga masih tetap menunggumu di persimpangan ini, sedangkan kamu sudah jauh menempuh jalan yang kamu pilih, yaitu meninggalkanku.
            Sekarang aku menyampaikan terima kasih untukmu karena sudah menjadi orang yang aku sayangi. Kamu adalah laki-laki yang benar-benar aku sayangi untuk pertama kalinya. Aku berharap kamu baik-baik saja dan bahagia di manapun saat ini dan kamu tidak perlu membalas email ini.

            Suatu perasaan lega yang begitu besar menghampiri dirimu setelah mengklik icon “send” di email yang baru selesai kamu tulis. Pesan di email itu telah berkali-kali kamu baca dan ubah untuk memastikan semua yang tertulis di sana benar, semua makna yang dikandungnya tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang ingin kamu sampaikan, semua yang diungkapkan jujur, kecuali untuk satu hal.
            Malam itu, setelah email terkirim kamu mulai menyusun rencana-rencana untuk mengantisipasi jika email kamu dibalas atau tidak oleh laki-laki itu. Kamu menyiapkan pernyataan-pernyataan yang mempertegas rasa kehilanganmu setelah kepergiannya. Namun tetap berhati-hati agar tidak kelihatan terlalu mengharapkannya kembali. Kamu akan menyampaikan rasa sedihmu ketika tidak bisa lagi tertawa lepas dan bercanda dengannya. Namun tetap memilih dan memilah kata-kata yang tepat agar tidak kelihatan betapa tersiksanya kamu saat itu. Kamu juga merencanakan tindakan-tindakan yang akan dilakukan jika email kamu tidak dibalasnya. Kamu akan menghapus email tersebut dan mencoba melupakannya, kamu akan menghapus nomor kontaknya dan semua pesan yang pernah saling kalian kirimkan dari telpon genggammu, dan kamu akan menghilangkan akun miliknya dari semua jejaring sosial yang kamu ikuti agar tidak ada hal apapun yang dapat membuatmu mengingatnya.
            Kebisingan jalanan di dekat rumahmu mulai berkurang hingga kamu bisa jelas mendengar bunyi jarum jam yang berdetak di meja belajarmu. Jarum jam seakan tersenyum ketika kamu melihatnya. Jam dua kurang sepuluh menit. Sebelum tidur kamu mengingat lagi email yang tadi kamu kirimkan. Sedikit mengusikmu. Satu hal yang tidak mampu diungkapkan secara jujur yaitu kamu sangat berharap dia membalas emailmu. Kamu berharap dia akan meminta maaf karena telah meninggalkanmu atau paling tidak dia memberikan penjelasan tentang tindakannya selama ini, untuk mengurasi semua persangkaanmu terhadap dirinya.
            Kamu berusaha sekuatnya untuk melupakan email tersebut dan melupakan laki-laki yang menerimanya. Namun usahamu sebelum tidur menjadi sia-sia, semakin kamu berusaha melupakannya semakin kuat ingatan tentang laki-laki itu melekat dalam pikiranmu, hingga akhirnya kantuk berat dapat membuatmu tertidur sebelum suara adzan subuh berkumandang dari masjid di dekat rumahmu.

Bersambung..

170714


16 Juli 2014

4. Bahasa Tubuh

Ditengah perkapan yang hangat kita butuh rehat untuk sesaat. Saat inilah tubuh kita menjadi induk bahasa dari semua kata-kata yang tidak sempat diucapkan. Setiap detil gerakannya dapat menjadi kalimat yang mampu menyisipi percakapan sebelumnya. Di sini kau dapat sepuasnya mengusap-ngusap hidungmu tanpa dicurigai kau berbohong dengan kata-kata yang diucapkan. Kau dapat memutar-mutar bola matamu yang bulat sempurna tanpa disimpulkan kau sedang bingung akan apa yang akan kau sampaikan, atau apapun gerakan lain yang menurut ilmunya memiliki arti tersendiri.

            Beberapa kali tatapan mata kita beradu saat membisu, aku tersenyum, kau tersenyum namun belum pada satu waktu. Lalu tatapan mata kita tertuju pada orang-orang di sekitar, sekelompok karyawan yang merokok dan minum bir sambil tertawa sepuasnya, mereka seperti menunjukkan kebebasan di ruangan ini. Ketegangan diperlihatkan oleh sepasang kekasih yang lebih banyak diam dan menunduk dari pada saling menatap dan berbicara. Atau keseriusan yang ditunjukkan seorang bapak yang menatap layar laptopnya tanpa mengindahkan suara dan gerakan apapun yang terjadi di ruangan ini. Mereka semua seakan hadir ke dalam diri kita masing-masing. Mereka hadir saat kita berbicara dengan bahasa tubuh masing-masing tanpa kata-kata.

“Menurutmu apa yang harus aku lakukan kepada laki-laki yang tadi aku ceritakan?” Selepas rehat sejenak, kau mulai menanyakan hal yang tadinya tidak ingin kau bahas.
“Jika kamu masih menyukainya, sampaikan saja kepadanya. Tidak salah kok. Karena perasaan diciptkan bukan untuk diperlombakan siapa yang lebih dulu atau lebih akhir menyampaikannya.”
“Oke. Tapi aku tetap berharap dia yang akan menghubungiku lagi, karena dia laki-laki.”
“Kenapa kamu beraharap dia yang menghubungi duluan?”
“Iya karena dia laki-laki. Aneh banget rasanya kalau perempuan yang duluan”

            Kebisuan kembali hadir ditengah kita. Sebagai laki-laki aku menerka-nerka jawaban untuk pertanyaanku sendiri berdasarkan logikaku. Aku ragu apakah karena sifat maskulinnya laki-laki harus lebih dulu menghubungi perempuan, atau karena kepentingan akan suatu hubungan, atau karena alasan lain yang belum masuk ke dalam pikiranku saat ini. Entah. Aku berbalik mempertimbangkan kamu dan pikiranmu. Barangkali kamu menyembunyikan jauh-jauh isi pikiranmu dan menghadirkan keluasan perasaanmu kepadaku. Kau memaksaku berenang dalam keluasan perasaanmu untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri.

 “Mungkin dia belum menghubungimu karena ada rasa takut kamu kembali tidak bisa menerimanya.” Aku mencoba memahami pikiran laki-laki itu berdasarkan apa yang pernah terjadi padaku sebelumnya.
“Kenapa dia mesti takut?”
“Laki-laki dewasa sangat berhati-hati agar tidak gagal dua kali dengan perempuan yang sama. Apalagi dengan umurnya yang sudah 30 tahun, dia menginginkan suatu hubungan yang pasti yang akan berakhir pada pernikahan”. Aku terpaksa mempertajam perkiraanku tentang laki-laki itu.
“Kalau laki-laki terlalu hati-hati bagaimana mau dapat hati perempuan”

Aku tidak memiliki kata-kata lagi untuk membalas pernyataanmu. Aku memilih diam dan tak lepas menatap wajahmu. Aku tersenyum saat kau balas menatapku dan berharap kita sama-sama tersenyum.

Bersambung...
***
160714



4 Juli 2014

3. Sisa-Sisa Ingatan


Bagaimanakah cara menciptakan percakapan yang hangat? Ceritakan saja dengan tulus apa yang kau rasakan, kau pikirkan, dan kejadian-kejadian yang pernah kau alami dan dengarkan teman bicaramu sepenuhnya. Semuanya akan mengalir begitu saja tidak hanya dalam tawa bisa jadi kerutan kening atau senyuman kecil. Semua cerita yang menarik tidak harus menimbulkan tawa bukan? Jika kau takut hal-hal tertentu akan merusak percakapan dan kau memilih untuk menyembunyikannya,  maka  takutlah jika hal itu akan menghantui pikiranmu suatu saat nanti. Percakapan yang hangat bisa datang dari kejadian-kejadian pada masa lalu, pandangan dan pikiranmu tentang suatu hal dan keadaan saat ini serta mimpi-mimpi yang ingin dicapai pada masa depan adalah bagian menarik lainnya.

Kejadian-kejadian pada masa lalu adalah satu hal yang menghangatkan percakapan kita saat ini. Jarak yang diciptakan waktu serta sisa-sisa ingatan yang tidak sepenuhnya utuh adalah bagian terbaiknya. Kau bisa melengkapi ingatanku dan aku melengkapi ingatanmu, atau kita sama-sama lupa tentang kejadian sebelum dan sesudah pertemuan kita yang terakhir kalinya. Beberapa kali muncul kata “seandainya” dalam percakapan kita tentang kejadian maupun hal yang tidak pernah terjadi pada pertemuan sebelumnya. Pada akhirnya kita sepakat kalau pertemuan itu adalah sebuah keajaiban yang tidak terkira hebatnya.

Di lantai satu mini market di perempatan Mampang kita saling berbagi setelah kontemplasi datang lewat film Cinta Dalam Kardus yang menggugah perasaan dan pikiran kita. Dari waktu yang telah dilalui serta kejadian yang menghiasinya, kita menciptakan kontemplasi sendiri tentang hubungan masing-masing. Di sini perjalanan masa lalu kita letakkan di atas meja yang memisahkan kau dan aku. Kita menertawakannnya, mengerutkan kening pada beberapa bagian, dan sedikit bertentangan pada bagian lainnya. Begitulah masa lalu yang dihadirkan pada saat ini, aku tidak bisa melihatmu seutuhnya dari sisi yang telah terjadi dan kau juga tidak bisa menilaiku dengan sisi yang sama. Bukankah seiring waktu yang berputar kita juga bertumbuh dan berkembang.

“Aku tidak memiliki hubungan khusus dengan seseorang, namun aku sedang menyukai seseorang yang mencintaiku pada waktu yang tidak tepat. Dia menyampaikan perasaannya pada saat aku dengan lelaki lain”.
“Apakah dia tahu kau juga menyukainya?”
“Entahlah, dia pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan perasaan sulit untuk menyukai laki-laki lain. Kami sudah jarang berkomunikasi, mungkin dia sibuk sekali dengan pekerjaannya”.
“Pernahkah kau berniat untuk mengatakan perasaanmu yang sebenarnya terhadap dia? Menurutku dalam hal perasaan, jenis kelamin tidak seharusnya menjadi hambatan untuk mengungkapkan duluan”.
“Aku belum memikirkan hal itu. Aku tidak ingin membahas dia lagi. Kalau kamu bagaimana?”

Ribuan kendaraan masih merayap di jalanan pada malam itu dan bunyi klakson meningkah satu sama lain seperti ingin menyampaikan emosi para pengendara. Jalanan itu bagai pikiran kita pada malam ini, dirayapi ribuan hal-hal yang ingin disampaikan namun ada yang harus berhenti, berputar arah, berbelok, atau disalip oleh hal lain yang ingin disampaikan lebih dulu. Pada akhirnya aku menyadari bahwa tidak semua dari masa lalu yang dapat kita sampaikan pada pertemuan ini. Beberapa bagian tidak ingin diceritakan lebih jauh dan beberapa bagian ingin dilupakan sama sekali. Sama seperti beberapa bagian dari jawabanku atas pertanyaanmu yang terakhir. Mungkin aku akan sampaikan semuanya jika kau mau mengulangi pertanyaan yang sama pada suatu saat nanti. Maukah kau menyimpannya dalam sisa-sisa ingatanmu?

Bersambung...

04072014

23 April 2014

2. Kota Pesulap


            Semua yang ada dihadapanmu belum tentu dapat kau lihat semuanya. Selalu saja ada yang terlewatkan, terlupakan, serta terabaikan. Bahkan sekali kedipan bisa membuatmu melewatkan suatu kejadian yang berharga. Barangkali tidak hanya kedipan yang membuatmu tidak bisa melihat suatu kejadian, kecepatan dari suatu kejadian itui bisa luput dari penglihatanmu walaupun kau pada saat itu tidak berkedip. Seperti kejadian-kejadian yang dihadirkan oleh pesulap di depan mata kita.

            Melalui pandangan mata kita pesulap menciptakan ketegangan yang mengerikan, ketegangan yang membuat kita seakan ingin menolong seorang perempuan yang terjebak dalam kolam yang penuh berisi ikan Piranha. Lalu entah dari mana datangnya, pesulap yang kita kira telah mati hadir begitu saja di depan mata. Dalam pandangan mata kita tubuh seseorang hilang di atas panggung lebih cepat dari kedipan mata, lalu tiba-tiba berdiri dalam ruangan penyimpanan uang di kota yang jaraknya puluhan ribu kilometer dari tempat ia berdiri sebelumnya. Pesulap yang kita lihat itu kurang lebih sama dengan kota yang kita huni ini. Secara tiba-tiba menghadirkanmu ke depanku sebagai seorang perempuan sendiri yang telah lepas dari segala ikatan dengan seorang laki-laki. Sekarang kau berdiri di depanku, datang dari sebuah mimpi lama dua tahun yang lalu.

            Ketakjuban terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di depan mata menciptakan keajaiban-keajaiban dalam pikiranmu. Menyusuri jalanan sepi pada tengah malam dapat membebaskan pikiran dan hayalan yang ada dalam kepalamu. Kau ingin menjadi pesulap yang dapat menghadirkan kejutan, ketegangan, dan kegembiran bagi orang lain. Namun di kepalaku dipenuhi oleh pikiran tentang sikap dan pernyataanmu yang seperti trik para pesulap, sukar ditebak. Seorang pesulap yang menembus malam bersamaku saat ini adalah kau.

 “Besok aku ingin bangun lebih awal dan tidak mengulangi tidur lagi”
Aku hanya tertawa mendengarkan keinginanmu yang sederhana dan kau menyakinkanku bahwa itu adalah keinginan terbesarmu selama beberapa waktu terakhir.
“Aku ingin produktif seharian” sambungmu saat kita sudah hampir sampai di parkiran.
“Mau aku bangunin besok pagi?”
“Aku gak jamin bisa bangun saat kamu hubungi”.

            Tidak bisa ditolak jika suatu hal menarik terlewatkan kita ingin mengulangi hal itu terjadi lagi. Engkau pesulap yang menghadirkan pertunjukan menarik di depanku yang disebut pertemuan. Aku adalah seorang penonton yang dipenuhi kekaguman dan menyimpan rasa penasaran di ujung pertemuan. Aku ingin menikmati pertemuan-pertemuan berikutnya denganmu, namun aku tahu kita tinggal di kota pesulap. Kota yang dapat mengejutkan penghuninya dengan kejadian-kejadian di tubuhnya. Kota yang dapat menyembunyikan segala rahasia dari para penghuninya.

            Kecepatan suatu kejadian yang dapat meluputkan dari pandangan mata bukanlah sebuah kehilangan yang tidak dapat telusuri. Ingatkan kamu ketika pesulap menghilangkan tubuh seseorang dari atas panggung, di barisan kursi penonton seseorang merekamnya dengan kamera. Tidak ada satu hal kecilpun yang terlewatkan ketika pertunjukan seseorang hilang dari atas panggung diputar secara slow motion. Aku dapat mengibaratkan diri menjadi seseorang yang merekam pertunjukan dari bangku penonton dan memutar ulang kejadian secara slow motion  ke dalam kata-kata. Aku akan selalu merekam setiap pertunjukkanmu. Seberapa lama kau akan menjadi seorang pesulap di depanku?

24042014

Bersambung...



30 Januari 2014

1. Malaikat Pertemuan

Ketika kau bisa melihat dirimu dalam mata seseorang yang berada di depanmu itulah pertemuan. Kau bisa melihat dengan jelas rapinya bulu-bulu halus tumbuh di tangannya, seperti kenangan yang mungkin akan tercipta selanjutnya. Kau bisa mengukur besar pergelangan tangannya dan merasakan mulusnya kulit dia saat bersalaman, itulah kemungkinan lain yang bisa kau rasakan dari pertemuan. Jika lebih beruntung kau dapat merasakan jerawat yang tumbuh di pipinya dengan pipimu. Namun pertemuan tidak sekadar tentang semua itu, pertemuan adalah awal kehidupan. Seperti pertemuan Adam dan Hawa yang menciptakan kehidupan tiada putus sampai saat ini. Seperti hidupku dan hidupmu.

Pertemuan kadangkala tercipta dari kemungkinan-kemungkinan yang berada di luar kendali, tidak hanya wujud dari rencana-rencana yang kamu buat dengan dia. Satu langkah yang tersesat, satu menit yang terlambat, dan satu pilihan yang tidak tepat bisa menciptakan pertemuan hangat dan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Barangkali pertemuan adalah sebuah teka-teki yang dimainkan bumi dengan penghuninya.

Pada malam yang riuh di kota tempat orang banyak bertanya nama daerah dan arah jalan, aku mencari suatu alamat. Berbekal peta sederhana dari teman kantor, dan sedikit ingatan tentang nama jalan. Tadi siang aku menerima tawaran pertemuan dari seorang teman lama yang menjanjikan pertemuan dengan seorang teman lama lainnya. Pertemuan seperti perniagaan, saat sah dibeli seseorang harus melunasinya. Aku melunasi pertemuan itu setelah merasakan sempitnya jalanan oleh kendaraan dan kegerahan dari panas mesin yang terus menyala.

Di suatu tempat makan yang menyediakan berbagai pilihan makanan dengan berbagai pilihan rasa, meja di depan kita berisi nasi bakar, sate kambing dan lontong, serta jus buah yang dingin hingga embun menetes dari dinding gelas. Pada suatu kemungkinan, beras untuk nasi bakar dan beras untuk lontong itu berasal dari sawah yang sama, dari rumpun yang sama, atau dari batang yang sama, sekarang mereka bertemu di meja yang menjadi jarak buat kita sebagai suatu kenyataan. Kemungkinan yang kecil bahkan sangat kecil seperti kemungkinan pertemuan kita di kota yang mampu menghilangkan jutaan kemungkinan lain. Pertemuan itu tidak akan terjadi jika aku tersesat hingga terlambat menemuimu yang sudah buru-buru pulang, atau pertemuan itu tidak pernah terjadi jika teman yang mempertemukan kita tidak berkunjung ke kota ini, atau jutaan kemungkinan lain yang menyebabkan tidak terjadinya pertemuan itu. Maka saat ini, seorang teman yang mempertemukan kita dan membantu memecahkan teka-teki dari bumi yang kita huni ini, ingin aku sebut dia sebagai “malaikat pertemuan”. Setujukah kau denganku?
31012014
***
Bersambung...

26 Januari 2014

Catatan Tentang 2013 Yang Tidak Ingin Dilupakan


Selama tahun 2013 yang telah berakhir beberapa hari yang lalu saya hanya memposting dua tulisan saja di blog ini. Aduh, karena memang hanya dua tulisan itu yang selesai saya tulis. Selebihnya tulisan-tulisan setengah matang yang mengendap di laptop dan hal-hal yang tidak sempat dituliskan hinga terlupakan begitu saja. Sekarang saya akan tuntaskan tulisan ini dengan hal-hal yang masih melekat di ingatan dan hal-hal yang tidak ingin saya lupakan.

Awal 2013 saya menulis tentang kejadian-kejadian pada tahun sebelumnya dan ingin juga saya menuliskan kejadian-kejadian pada 2013 pada awal tahun ini. Sekadar mengingat, sekadar mengabadikan kejadian, seperti kata Pram “menulis adalah pekerjaan untuk keabadian”.  Masih lekat di ingatan saya masa pengangguran saya berakhir setelah menempuh perjalanan Semarang-Yogyakarta-Semarang-Yogyakarta-Semarang-Yogyakarta dalam satu minggu dengan sepeda motor untuk menjalani tes pekerjaan di suatu perusahaan konsultan pendidikan. Manisnya mendapat pekerjaan baru sedikit terusik ketika batuk saya mengeluarkan darah pada awal bulan Februari.

Februari saya hijrah ke Jakarta dengan menaiki travel dari Semarang-Jakarta. Selama perjalanan, saya muntah setelah satu jam pertama di dalam mobil sampai tiba di Jakarta. Saya mengingat malam sebelumnya saya makan mie yg sangat pedas dan minum kopi manis yang dibuat oleh koki si kelapir Arif Fitra dalam pelepasan dengan teman-teman Lacikata. Adakalanya hidup lebih pedas dari yang kita kira seperti pedasnya paprika melebihi cabe merah. Mengira keracunan atau mabuk perjalanan biasa, ternyata usus buntu saya sudah kronis dan harus operasi secepat mungkin.  Dan sayapun dioperasi di RS Fatmawati Jakarta Selatan dengan harus melunasi total semua biaya operasi sebelum operasi dilakukan.

Jakarta adalah kota yang paling saya hindari untuk bekerja. Kemacetan, panas, tingginya tingkat kriminal, dan lebih mahalnya harga makanan terasa sangat berat untuk dijalani. Beruntunglah proses adaptasi saya tidak terlalu lama untuk menikmati tinggal di kota peringkat ke 4 dunia dalam hal kepadatan penduduk. Dua bulan pertama di Jakarta diisi dengan perjalanan mengelilingi bagian selatan Jakarta dari satu SMA ke SMA lain dengan kondisi baru selesai operasi dan harus menjalani masa penyembuhan minimal satu bulan.  Saya menyadari, ketika lingkungan tidak memberikan banyak keringanan, maka kau telah dibaptis untuk menjadi seorang yang tangguh.

Setelah dua bulan di Jakarta, saya kembali ke Yogyakarta untuk menjalani training di kantor pusat perusahaan. Menikmati satu setengah bulan dengan mendapatkan bermacam ilmu tentang kehidupan dan pekerjaan serta mengunjungi candi Brobudur dan Prambanan yang selama ini belum sempat dikunjungi walaupun dua tahun telah tinggal di Semarang. Jalan-jalan ke pantai Indrayati sambil melepas kecemburuan kepada adik saya yang sudah duluan ke sana. Selain itu juga mampir sejenak ke Solo dan Semarang.

Pertengahan Mei kembali ke Jakarta dengan semangat baru dan tanggung jawab baru dari perusahaan. Ketika Mei hampir berakhir saya bertemu dengan teman lama setelah dua tahun tidak pernah bertemu. Pertemuan yang tidak terencana dan berhasil menciptakan pertemuan-pertemuan terencana selanjutnya. Juni mengalir dengan kesibukan dan perasaan suka yang baru tumbuh terhadap Jakarta.

Juli adalah bulan kelahiran saya yang tidak dirayakan seperti biasanya. Tanggal 7 Juli dada saya  berdetak lebih kencang di Warung Pasta, Kemang, Jakarta Selatan. Seminggu telah lewat dari hari ulang tahun dan masih tanpa kado istimewa. Video ini berkali-kali saya lihat pada bulan Juli dan menciptakan kesan yang ispiratif pada awalnya lalu menjadi semacam de javu. Mungkin video itu kurang anda pahami mengapa ada di tulisan ini, tapi paling tidak ada satu orang selain saya yang tahu alasannya.

Agustus menjalani hari-hari dengan keceriaan baru dan praduga-praduga yang telah dijinakkan. Menghabiskan malam takbiran dengan keliling Jakarta dan terjebak kepadatan arus lalu lintas mulai di Bundaran HI sampai Kota Tua. Lebaran menciptakan kesempatan untuk pulang kampung walau sholat Ied masih tetap di Jakarta. Menikmati suasana kampung selama satu minggu, dan ternyata tidak banyak yang berubah. Kehabisan tiket pesawat Padang-Jakarta pada waktu yang direncanakan untuk balik, hingga ke Jakarta dari Pekanbaru. Perjalanan selalu menyimpan rahasia, sehari di Pekanbaru ternyata mendapatkan kesempatan untuk bertemu semua teman lama dari As-Shofa ketika halal bil halal di rumah salah seorang teman.

Kesibukan mengalir selama September, menghujat sedikitnya kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman dan keluarga, atau menghubungi teman-teman lama yang tinggal beda kota. Kesempatan yang sebenarnya selalu tersedia, kurang gigih dalam menciptakannya maka kesempatan itu terasa hilang. Beruntunglah mereka yang lebih awal mengetahuinya. Kesibukan akhirnya menumbuhkan semangat untuk membuka usaha sendiri. Berusaha sendiri seperti direncanakan akan mulai tahun ini. Akhir September tepatnya malam tanggal 29 saya membaca pesan dari seseorang yang membuat saya terdiam sejenak dan bingung untuk membalasnya. Isi pesannya cukuplah saya dan pengirimnya yang tahu.

Awal Oktober, tengah malam tanggal 4 saya buru-buru ke RS Persahabatan, darah yang cukup banyak keluar dari mulut dan hidung. Untuk pertama kalinya menginap di rumah sakit sejak tahun 2008. Dua malam merasakan dinginnya kamar isolasi di pojok bangunan. Merasa beruntung pada malam kedua ditemani seseorang yang membuat perasaan jadi hangat dan kecemasan jadi hilang. Terima kasih, kamu pasti membaca tulisan ini. Pertengahan Oktober sempat mengunjungi Lampung beberapa hari, dan menikmati udara segar pagi hari di selat Sunda.

Menghabiskan banyak waktu dengan menyelinap antara selimut dan kasur begitulah awal November dilalui. Hello Fest terabaikan begitu saja, walaupun dari awal sudah direncanakan untuk datang. Air putih yang awalnya terasa pahit perlahan mulai terasa tawar. Pertama kalinya selama menonton film di bioskop saya menonton film komedi horor yang bisa dikatakan jelek. Menonton Taman Lawang karena tidak ada pilihan lain yang lebih menarik sesampainya di bioskop. Sebuah kesimpulan yang saya ambil adalah, keinginan hantu dalam film horor Indonesia tidak jelas. Mereka menampakan diri tiba-tiba tanpa jelas latar belakangnya. Pada November saya juga melakukan tes mesin kecerdasan ala STIFIn, hasilnya Intuiting Introvert. Penjelasan sederhananya adalah jenis kepribadian yang berbasiskan kecerdasan indera keenam (intuisi) yang proses kerjanya dikemudikan dari dalam dirinya menuju ke luar dirinya.

Semalaman terjebak di dalam mini market bersama si Irviene karena hujan di awal Desember. Masih lekat diingatan hangatnya percakapan mengalahkan dingin karena rintik hujan di luar sambil menyaksikan pertandingan Real Madrid. Percakapan itu bagai sebuah kemenangan dalam sebuah pertandingan panjang selama enam bulan sebelumnya, seperti skor 4-0 untuk Real Madrid pada akhir pertandingan. Sukacita menyambut Natal dan hari liburnya bertukar menjadi dukacita. Dinihari tanggal 24 kakak sepupu saya meninggal dunia. Setengah hari menunggu keberangkatan pesawat sambil mengerjakan laporan tahunan. Libur Natal habis dengan perjumpaan dan pelepasan.

Saya tidak begitu  antusias dalam merayakan penyambutan tahun baru yang masih itu-itu saja—kembang api, terompet, kerumunan orang, dan bakar-bakaran—seperti sebelumnya. Hanya merencanakan untuk naik ke lantai dua dan menyaksikan percikan kembang api dari sana, sama seperti tahun sebelumnya. Menikmati orange juice di sebuah cafe dengan landskap ketimpangan pembangunan di Jakarta menutup sore terakhir tahun 2013. Malam terakhirnya dimulai dengan menikmati pameran fotografi di Mall Kota Kasablanka lalu menonton 47 Ronin, film action yang dibintangi Keanu Reeves seakan telah menjadi pelepasan yang manis untuk tahun 2013.

Satu setengah jam sebelum tahun berganti, rencana untuk merayakan penyambutan tahun baru masih belum muncul. Hanya karena iseng kami menyempatkan diri mampir ke Comic Cafe di Tebet dan memilih duduk di roof top. Tahun 2014 semakin mendekat, langit berkilatan oleh percikan kembang api, gelegar bersahutan dan asap mulai mengungkung. Seolah menjadi sebuah perayaan atas keadaan, saya menikmati pergantian tahun di tempat, pada waktu, dan dengan orang tepat. Selamat datang tahun 2014.

Tulisan ini lebih panjang daripada tulisan saya tentang kejadian pada tahun sebelumnya. Kejadian setiap bulan tersimpan dengan baik oleh penyimpan pesan WhatsApp, media komunikasi saya dengan seorang teman bercerita setiap hari. Tulisan ini seperti media penyimpanan kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup saya selama satu tahun. Memang masih ada hal lain yang belum saya tuliskan seperti, kegemaran saya makan lele beberapa bulan terakhir, padahal lele termasuk salah satu makanan yang tidak begitu saya sukai dulunya. Pada 2013 saya lebih sering masuk mall dan nonton bioskop, lebih jarang nonton bola, dan benar-benar hampir bersih dari rokok dan alkohol. Saya mengubah kebiasaan dan kebiasaan mengubah diri saya. Selain itu salah satu resolusi awal tahun dulunya sudah tercapai, yaitu bisa nyetir mobil.

Pertukaran tahun dari satu sisi adalah bertambahnya umur, semakin berkurang sisa hidup dan semakin dekat dengan kematian. Dari sisi lain adalah semakin dekat dengan jodoh dan pernikahan. Saya akan menikah, seperti yang telah dilakukan oleh sebagian besar teman-teman seangkatan saya. Tulisan ini tidak akan membahas tentang masa depan. Jika kalian ingin membaca tentang pernikahan, saya akan tulisan pada awal tahun-tahun berikutnya. Untuk lebih afdol menyambut tahun 2014 dengan membuat resolusi yang akan dijalani, maka resolusi saya untuk tahun ini adalah menambah berat badan dan mengurasi rasa malas. Tabik.