24 Oktober 2011

Bintang di Atas Piring


: semacam puisi untuk kado pernikahan seorang sahabat

Tidak perlu menyamakan potongan melintang belimbing dengan bintang
Karena lima sudut lancipnya begitu akrab dengan jari yang mengembang
Tidak perlu membaca kerut kening orang yang memakan belimbing matang
Karena lidah paling paham tentang asam dan manis yang lebih atau kurang
Lidah yang tidak pernah berdusta tentang rasa yang tak dapat dilihat mata

Belimbing matang di batang dipetik lelaki pada terang siang
Lelaki yang menjadikan tangannya tampuk bagi segala yang dipetik
Tubuhnya adalah batang yang bertahan terhadap kumbang penggirik
Lelaki yang akan berjalan dengan kaki-kaki yang menghindari
Pintu mini market  yang di gagangnya ditulisi “dorong”
(walau ditarik masih dapat terbuka untuk datang dan pergi)
 Di mana belimbing menggigil dalam steoroform dan plastik


Piring menguning menghidangkan pisau dan belimbing
Pisau yang diasah orang Lintau dibasuh dingin air Ngalau
Semakin tajam semakin paham pada sayat yang tepat

Pada hari depan ia menyadari pisau akan lapuk dan belimbing akan busuk
Namun mereka telah menanam tajam dan asam pada pangkal  malam
Hingga pada suatu ketika kita perlu juga mengamini kesamaan
Potongan melintang belimbing dengan bintang di buku gambar

Semarang, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar