: semacam puisi untuk kado pernikahan seorang sahabat
Tidak perlu menyamakan potongan melintang belimbing dengan
bintang
Karena lima sudut lancipnya begitu akrab dengan jari yang
mengembang
Tidak perlu membaca kerut kening orang yang memakan
belimbing matang
Karena lidah paling paham tentang asam dan manis yang
lebih atau kurang
Lidah yang tidak pernah berdusta tentang rasa yang tak
dapat dilihat mata
Belimbing matang di batang dipetik lelaki pada terang
siang
Lelaki yang menjadikan tangannya tampuk bagi segala yang
dipetik
Tubuhnya adalah batang yang bertahan terhadap kumbang
penggirik
Lelaki yang akan berjalan dengan kaki-kaki yang menghindari
Pintu mini market
yang di gagangnya ditulisi “dorong”
(walau ditarik masih dapat terbuka untuk datang dan
pergi)
Di mana belimbing
menggigil dalam steoroform dan
plastik
Piring menguning menghidangkan pisau dan belimbing
Pisau yang diasah orang Lintau dibasuh dingin air Ngalau
Semakin tajam semakin paham pada sayat yang tepat
Pada hari depan ia menyadari pisau akan lapuk dan
belimbing akan busuk
Namun mereka telah menanam tajam dan asam pada pangkal malam
Hingga pada suatu ketika kita perlu juga mengamini
kesamaan
Potongan melintang belimbing dengan bintang di buku
gambar
Semarang, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar