23 Oktober 2014

Di Merbabu, Kamu Memahami Dirimu

Suatu keinginan yang beberapa kali tertunda sampai tidak jadi dilakukan selama kuliah di Semarang adalah naik gunung. Beberapa kali gagal melakukan pendakian walaupun sudah direncanakan sebelumnya, dan tidak siap ketika ada pendakian diselenggarakan. Beberapa waktu yang lalu, dengan mengambil cuti selama dua hari kerja keinginan itu jadi terwujud. Pilihannya adalah gunung Merbabu.

Sabtu siang tanggal 6 September 2014, Saya dan Irviene berangkat dari stasiun Senen dengan kereta api Kertajaya menuju Semarang. Kesibukan dan kepadatan lalu lintas mengawal kami sampai di stasiun. Bagi saya ini adalah perjalanan menggunakan kereta api kedua sejak PT Kereta Api Indonesia melakukan perubahan besar terhadap sistem dan pelayanan mereka. Perubahan yang sangat layak diapresiasi karena mampu menciptakan kenyamanan bagi pengguna kereta api. Melewati tangga naik dan turun di lorong stasiun untuk mencapai peron saat menunggu kereta datang.

Stasiun Pasar Senen

Pemandangan sepanjang perjalanan adalah hal yang tidak bisa membuat saya tertidur. Hamparan sawah, kebun, bukit, rumah-rumah penduduk, jalan-jalan yang lengang dan perubahan cuaca begitu menjerat mata saya. Semua itu dapat dinikmati dengan tenang dari balik jendela kaca. Menjelang magrib kereta sampai di Cirebon dan berhenti sejenak. Kesempatan ini memungkinkan saya untuk mengambil gambar matahari yang akan menghilang di balik rimbunnya pohon dan rumah-rumah penduduk.
Sunset di Cirebon

Sesuai dengan jadwal yang tertera pada tiket, 20.10 kereta sampai di stasiun Poncol Semarang. Karena teman yang akan menjemput kami datang  terlambat, akhirnya saya putuskan untuk jalan kaki menuju warung nasi goreng Padang di belakang stasiun. Suasana yang ramai hingga harus mengantri, serta nostalgia pada masa lalu mewarnai malam pertama di Semarang. Teman yang menjemput menyusul ke tempat ini. Sebelum meninggalkan warung ini, kami menyimpulkan kalau rasa nasi gorengnya sama untuk setiap menu yang dipesan, yang membedakan hanyalah pilihan topingnya seperti udang, petai, daging yang ditambahkan pada akhir penyajian.
Nasi Goreng Padang

Malamnya saya memutuskan menginap di basecamp Hysteria, yang katanya sekarang telah berubah menjadi organsisasi. Suasananya masih sama dengan waktu terakhir saya ke sini, penuh kesibukan, perlawanan, militansi, romantisme, kreatif, dan berantakan. Sebagai penutup dari malam ini saya menerima (baca; membeli) buku puisi Eskapis si Kelapir Arif Fitra Kurniawan teman bergiat di komunitas Lacikata. Teman yang paling tabah menerima cercaan atas segala yang dia tulis dan bahasa tubuhnya yang sering kontraaksi.
Eskapis: Sekumpulan Pusi Arif Fitra Kurniawan
Dari Hysteria perjalanan berlanjut ke Tembalang, nostalgia semakin kental dengan kenangan tinggal selama dua tahun di sini. Menikmati ulang sarapan dan jajanan yang dulunya sering dibeli dan menghampiri tempat-tempat yang pernah ditinggali sebelumnya. Di sini semua perlengkapan dan bekal selama pendakian disiapkan. Setelah menunaikan sholat zuhur dan makan siang, perjalanan ke Merbabu dimulai.
Basecamp Hysteria
Perjalanan dari Semarang sampai ke Kopeng, daerah di kaki gunung Merbabu ditempuh selama dua setengah jam. Pukul 16.30 kami sampai di posko pertama untuk melakukan pendakian. Posko ini menyediakan tempat parkir motor indoor dengan biaya Rp 4.000/motor, bak air dan toilet, tempat sholat, makanan dan minuman serta merchandise pendakian gunung Merbabu. Melepas penat berkendara sejenak lalu melakukan pendaftaran sebelum pendakian dimulai. Setiap pendaki harus mendaftar dengan menuliskan nama, alamat, asal, nomor kontak dan membayar Rp 5.000/orang. Pendakian kami dimulai tepat pukul 17.00.

Awal pendakian kami langsung disambut oleh tanjakan pertama dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Tanjakan yang langsung membuat jantung berdetak lebih cepat dan suara nafas terdengar memburu. Tanjakan ini seakan berkata kepada para pendaki untuk mempersiapkan fisik dan mental lebih kuat untuk melakukan pendakian. Pendakian ini adalah yang pertama dalam hidup si Irviene dan tanjakan ini menciptakan keraguan dalam dirinya untuk bisa sampai di puncak.

Pendakian terus dilakukan di sisa siang itu dengan perlahan. Selepas adzan magrib kami memutuskan untuk istirahat dan menikmati minuman hangat serta sedikit makanan. Sialnya alat terpenting untuk memasak tidak ada dalam tas yang kami pikul. Kompor yang seharusnya ada dalam nesting tidak ditemukan. Terpaksa Ijran dan Zulfi harus turun ke bawah untuk mencarinya. Dua pendaki yang sudah pernah mencapai puncak tertinggi Merbabu ini, hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk ke posko pertama dan sampai lagi di tempat kami berhenti.

Teh madu hangat dan kacang goreng adalah menu selepas magrib sebelum melanjutkan perjalan ke Posko Dua. Bulan yang hampir penuh setia menerangi perjalanan kami hingga mata telanjang bisa melihat jalanan yang berdebu tebal dengan jelas. Kemarau masih meninggalkan jejaknya di sepanjang jalan--debul tebal dan rumput mati.

Setelah berhenti untuk kesekian kalinya, akhirnya kami sampai di Posko Dua pada jam 21.00. Saat itu hanya ada tiga tenda pendaki yang sudah lebih dulu dipasang di sana. Kami masih leluasa memilih lokasi untuk mendirikan tenda di area yang lebih kurang seluas setengah lapangan bola kaki. Di area yang dikelilingi oleh semak belukar kami mendirikan tenda untuk berlindung dari tiupan angin yang tak henti-hentinya sepanjang malam itu.

Cahaya bulan adalah keindahan yang tak tertandingi malam itu. Angin masih terus berhembus, api kompor yang mematangkan nasi, mie dan air mesti disembunyikan ke balik dinding-dinding yang kami bentuk dari banner bekas pendaki sebelumnya. Mie rebus, sarden, bon cabe dan teh madu hangat adalah menu makan malam yang begitu nikmat ditengah suhu dingin yang menyelimuti.

Menikmati detik-detik munculnya matahari dari ketinggian akan menjadi suatu kebahagiaan saat mendaki gunung, begitulah keinginan kami malam itu yang dibawa ke dalam mimpi. Setelah makan kami berusaha tidur agar bisa bangun sebelum subuh dan melanjutkan pendakian ke Posko Tiga. Salah satu di antara kami, Irviene tidak bisa tidur, kepalanya terasa sakit dan sekujur tubuhnya juga ikut merasakan. Sakit yang dideritanya tidak kunjung hilang walau telah dipijat beberapa kali. Dia masih mengeluhkan sakitanya beberapa lama. Kami merasa sakitnya hilang setelah dia diam sejenak. Namun tiba-tiba tubuhnya menggigil hebat. Dia mengalami hipotermia ringan. Sleeping bag ditambahkan untuk menghangatkan tubuhnya dan dipeluk supaya suhu tubuhnya cepat naik. Setelah getaran tubuhnya akibat menggigil hilang dan kesadarannya pulih, kami menyiapkan teh madu hangat sebagai obat yang ampuh untuk menenangkan kondisinya. Ditemani biskuit kering teh madu hangat menjadi menu penutup malam itu sebelum kami larut dalam tidur masing-masing.

Ketika berada di alam bebas dimana setiap rencana bisa berjalan mulus dan berubah kita mesti mengamininya. Rencana kami untuk menikmati matahari pagi muncul di ufuk Timur harus dilupakan. Pagi itu kami memilih menikmati cahaya matahari di sekitar Posko Dua dan mengambil foto dengan latar gunung Sindoro dan Sumbing. Mencuci muka dengan air dingin yang dialirkan langsung dari sumbernya menimbulkan sensasi kesegaran luar biasa. Di bawah siraman cahaya matahari dan udara segar pagi itu kami sarapan dan berkemas untuk melanjutkan perjalanan.

Mandi Cahaya Matahari Pagi

Struktur jalan yang dilalui memiliki kemiringan rata-rata 50 derajat menuju Posko Tiga. Debu tebal dan rumput-rumput mati masih dijumpai sepanjang perjalanan. Mengingat perjalanan menuju puncak tertinggi masih jauh, kami memutuskan untuk meninggalkan beberapa barang di tengah perjalanan. Barang tersebut disembunyikan di semak-semak di samping jalan dengan mengikatkan tali plastik pada pohon terdekat sebagai pengingat. Hanya dengan membawa logistik dan perelengkapan memasak beban kami jauh lebih ringan untuk melanjutkan pendakian.

Bunga Edelweis yang disebut sebagai bunga keabadian adalah suatu keindahan yang dapat dinikmati selama perjalanan menuju Posko Tiga atau Puncak Mercusuar. Suatu keindahan yang akan terus bertahan jika dibiarkan tumbuh bebas di alam. kami sampai di Posko tiga setelah menempuh dua jam perjalanan. Gunung Sindoro dan Sumbing makin jelas kelihatan, begitu juga hijaunya savana di arah yang berlawanan. Dari sini kami berdiri lebih tinggi dari awan putih yang mengambang di kejauahan. Barangkali inilah "dunia lantai dua" yang hanya bisa dinikmati saat mendaki gunung.
Melepas Lelah dan Menikmati Pemandangan


Sindoro dan Sumbing Dari Puncak Mercusuar

Struktur jalan yang kami tempuh setelah dari Posko Tiga berganti menjadi batu kapur dan kerikil. Bau belerang merasuk ke indera penciuman. Keindahan savana memanjakan mata kami selama perjalanan. Kami sampai di Posko Heli Pad sekitar lima belas menit dari Posko Tiga. Bau belerang masih tercium di sini dan kami hanya berhenti sejenak. Jalan di depan tampak begitu menarik untuk ditempuh, yaitu jalan menyisir di pinggang lereng savana. Keindahan yang dapat membuat terlena dan harus selalu berhati-hati agar tidak sampai jatuh dan terpeleset.

Jalanan Di Lereng Savana

 Di ujung jalan yang melewati savana kami disambut oleh jalan menanjak yang lebih terjal. Batu-batu gunung, akar pohon dan pohon-pohon menjadi tempat berpegang dan berpijak untuk terus melangkah. Di beberapa tempat kemiringan medan yang kami tempuh sekitar 70-80 derajat membuat tangan dan kaki harus seirama dalam bergerak. Fokus dan menjaga konsentrasi adalah cara terbaik untuk terus melangkah diiringi doa-doa yang muncul dari dalam hati.

Medan Yang Cukup Berat

Menjelang tengah hari kami sampai di Puncak Kentheng Songo, Sujud syukur atas perjalanan yang berhasil ditempuh sampai di sini. Selebihnya kekaguman dengan pemandangan yang terhampar di depan kami. Kami berada di dunia lantai dua. Awan putih bersih menjadi lantai ruang ini, warna biru yang indah menyambutnya dari ujung hingga ke atas, serta tebing-tebing hijau savana yang memikat. Gunung Merapi berdiri anggun dikelilingi awan putih yang perlahan bergerak menyelimutinya. Bendera Merah Putih berkibar ditiup angin segar dan senyum kepuasan menghiasi bibir kami masing-masing.
Dunia Lantai Dua

Merah Purih di Puncak Kentheng Songo
Lembah Hijau Peralahan Diselimuti Kabut

Puncak Kentheng Songo adalah tempat tertinggi saya makan siang, yaitu 3.142 M di atas permukaan laut. Nasi, mie rebus, sarden, bon cabe dan teh madu hangat kembali jadi menu telezat siang itu. Mengabadikan keindahan alam ke dalam foto adalah kegiatan favorit di sini. Pandangan lepas ke sekeliling. Merapi, Sindoro, Sumbing, lembah, savana adalah objek menarik untuk dinikmati dibawah hangatnya cahaya matahari yang malu-malu menyentuh kulit.

Sebelum Turun Dari Puncak Kentheng Songo

Bathin kami dipenuhi kepuasan menikmati keindahan ciptaan sang Maha Pencipta. Jam satu siang kami memulai perjalanan turun. Perjalanan yang terasa begitu riang setelah berhasil mencapai puncak tertinggi selama lebih kurang delapan jam. Di beberapa bagian jalan yang berkerikil halus kami bisa berseluncur dan debu berterbangan dengan cepat. Dengan kondisi psikologis yang senang dan perasaan capek yang jauh berkurang, kami bisa mematok waktu untuk terus berjalan dan beristirahat.

Kami sampai di Posko Dua jam sekitar jam setengah tiga. Setelah membersihkan tubuh dari debu, gosok gigi, sholat dan berkemas kami menikmati siang itu dengan minum teh madu hangat dan cemilan. Entah apa nama yang cocok untuk cemilan yang kami masak ini. Roti tawar dimasukan ke dalam susu panas, ditambah madu, meses, dan biskuit kering. Rasanya sungguh nikmat hingga semuanya ludes tak bersisa.
Cemilan Ajaib

Perjalanan turun kembali dilanjutkan. tiga puluh menit adalah waktu yang ditentukan untuk berjalan yang diselingi istirahat lima sampai sepuluh menit. Kami bisa menikmati pemandangan hutan pinus yang sebelumnya kami lewati saat malam. Menjelang magrib kami sudah melewati di Posko Satu. Cahaya keemasan dari matahari yang akan meninggalkan siang itu memanjakan mata kami. Adzan Magrib mengalun merdu dari perkampung di kaki Merbabu. Kerlap-kerlip dari lampu rumah pendudukan  bermuculan.
Sunset Diperjalanan Turun

Cahaya senter yang telah disiapkan menemani perjalanan turun selanjutnya. Cahaya-cahaya senter dari para pendaki tampak berjalan ke arah kami. Sepertinya Merbabu ini tak pernah sepi didaki oleh orang-orang. Saat sebagian turun, sebagian lagi naik begitu terus seperti kehidupan ini. Mereka mencari sesuatu di dalam diri mereka dengan melakukan perjalanan. Perjalanan terjauh yang bisa ditempuh bukanlah perjalanan ke ujung bumi, tapi perjalanan ke dalam diri yang paling murni. Segala tindakan yang dilakukan adalah gambaran dirimu seadanya. Tidak dilebihkan, tidak dikurangi, dan tidak dibuat-buat untuk menciptakan suatu kesan. Di sini kamu bisa memahami dirimu seutuhnya. Seperti apakah dirimu saat semua citra yang biasa kamu sematkan kini lepas tanpa disadari. Di sini kamu akan memahami dam mengetahui dirimu. Dari mulutmu akan keluar kata "Inilah aku". Perjalanan telah membuka pemahaman atas dirimu. Di sini, di Merbabu kamu memahami dirimu, seutuhnya.

24 Oktober 2014








1 Agustus 2014

7. Rahasia Kesedihan


“Maafkan aku kalau kemarin membuat percakapan kita jadi tidak menarik”
“Iya. Nggak apa-apa. Santai saja. Emang kemarin kenapa?”
“Aku tetap gak tahu kenapa, tiba-tiba saja sedih dan merasa kesepian. Biasanya juga seperti itu, ntar sedihnya hilang dengan sendirinya.”
“Bukankah setiap kesedihan ada penyebabnya?”
“Tidak. Bagiku kesedihan bisa terjadi tanpa ada penyebabnya”
“Ada apa denganmu? Silahkan cerita kalau kamu mau menceritakannya”
“Belum saatnya. Udahlah, aku nggak mau cerita tentang diriku lagi. Maaf ya, kalau ngomong denganku jadi tidak menarik”
“Percakapan yang tidak menarik sesekali hadir untuk menyempurnakan percakapan lain menjadi sangat menarik”
“Ah. Dasar”

            Pertama kalinya aku mengetahui kamu menyembunyikan sesuatu. Mungkin sebuah cerita atau keadaan. Sialnya kamu tidak mau menyampaikannya. Praduga-praduga menyelusup ke dalam pikiranku. Ada yang mengatakan aku belum cukup dipercaya untuk mendengarkan cerita-cerita krusial dalam kehidupanmu. Ada yang merasa kamu sedang mendramatisir keadaan, mungkin saja karena datang bulan. Ada yang mengatakan usia pertemuan kita belum cukup untuk sebuah kisah penting dalam hidupmu. Satu praduga yang lebih menguasai pikiranku adalah kamu sedih karena laki-laki yang kamu kirim email kemarin. Barangkali dia memang tidak membalas emailmu, sedangkan kamu sangat mengharapkan dia membalasnya, atau dia membalas dengan kalimat-kalimat yang tidak kamu harapakan.
            “Apakah laki-laki yang kamu ceritakan kemarin telah membalas emailmu?”
            “Tidak. Dia belum membalas emailku”
            Aku menatap wajahmu dengan tatapan orang kebingungan. Sepertinya kamu mengetahui kebingunganku lalu menimpali.
            “Aku sedih bukan karena itu kok”
            “Oke. Kalau kamu masih belum mau menceritakannya, tapi jika kamu mau menceritakannya suatu saat nanti, silahkan. Rasa penasaran ini bisa mengendap lama dalam pikiranku”.
            “Iya. Lihat nanti saja”
            “Oh iya. Jangan-jangan kamu sedih dan merasa sendiri karena jomblo?”
            “Siaaaaaal...” Lalu kita sama-sama tertawa melepaskan ketegangan karena tebakanku yang selalu salah tentang alasan kesedihanmu.
            Sebuah kelegaan menyelinap di antara praduga-praduga tentang kesedihanmu. Lebih melegakan lagi karena bukan laki-laki yang kamu ceritakan itu penyebabnya. Sebelumnya, aku membayangkan betapa hebatnya  laki-laki itu meninggalkan goresan kesedihan pada dirimu. Hingga dibutuhkan suatu kebahagiaan yang lebih hebat untuk dapat menghilangkannya. Kebahagian yang harus diciptakan oleh seorang laki-laki yang sedang mendekatimu. Namun itu bukanlah keadaan yang sebenarnya. Sedikit mampu menenangkanku.
            Keadaan yang paling membingungkan bagi seorang laki-laki adalah saat menghadapi kesedihan perempuan. Lebih membingungkan lagi jika kesedihan itu tanpa diketahui penyebabnya. Setelah belum mampu menyelami keluasan perasaanmu, sekarang kamu memerangkapku dalam gua rahasia kesedihanmu. Maukah kau memberikan suatu petunjuk untukku keluar dari sini?

Bersambung...
250714

20 Juli 2014

6. Cerita Demi Cerita

            Selain dari usia kita yang terus bertambah, cerita demi cerita di antara kita juga semakin bertambah. Aku berbagi cerita kepadamu, kamu berbagi cerita kepadaku hingga suatu saat nanti aku bisa ceritakan kembali. Sebelum cerita-cerita itu terlupakan oleh cerita lainnya hingga kita hanya bisa menyebutnya sebagai kenangan.
            Cerita-cerita yang kita bagi tidak melulu tentang kebaikan, kekerenan, atau keadaan yang dapat menggambarkan kita begitu indah di depan orang lain. Kekonyolan dan kebodohan yang pernah dilakukan menjadi bagian pula dalam cerita. Cerita-cerita yang tidak keren itu malahan membuat kita merasa bebas dalam bercerita. Kita merdeka dari rahasia-rahasia pada masa lalu. Tiada yang direkayasa dan tiada yang disembunyikan di antara kita.
            Kamu ceritakan kekonyolanmu saat mengira biji buah naga adalah semut dalam sup buah yang sedang kamu makan. Hingga kamu ambil satu per satu dengan ujung sendok dan membuangnya. Aku balas dengan cerita menanyakan “gerobak” kepada pegawai super market karena lupa dengan istilah trolley. Kita saling menertawakan diri sendiri. Menjadikan kekonyolan masa lalu sebagai komedi hari ini.
            Kekesalan kita pada padatnya arus lalu lintas di kota ini hingga melakukan berbagai kegiatan di tempat berbeda jadi lebih menantang. Atau kemurkaan kita pada listrik yang mati pada saat-saat genting hingga harus ke mini market hanya untuk dapat colokan, guna men-charge laptop yang hampir mati saat diburu deadline. Adakalanya kita berbagi peran menjadi penenang atas segala kekesalan dan pemberi solusi bagi setiap kebuntuan.
            “Aku lagi sedih” begitulah jawabmu suatu ketika aku tanyakan kabarmu.
            “Kenapa?”
            “Gak tahu. Sedih aja pokoknya”
            “Kamu habis ngapain?”
            “Gak ngapa-ngapain”
            “Kamu mau cerita tentang sesuatu yang mungkin jadi penyebab kesedihanmu?”
            “Aku gak tahu. Aku gak mau cerita. Aku juga gak tahu kenapa aku sedih”.
            “Apa kamu sedih karena aku? Salahku maksudnya?”
            “Gak tahuuuuuuu...”
            Untuk pertama kalinya kebingungan menghampiriku saat berbicara denganmu. Entah dari siapa awalnya kebingungan ini menular. Kamu hanya merasa sedih tanpa tahu penyebabnya. Tidak mampu berbagi dalam cerita seperti kekonyolan yang pernah dilakukan. Aku menjadi bingung karena tidak mengetahui penyebab keedihanmu. Aku bisa saja memberimu solusi yang normatif. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Jika sedikit merayumu, akan kusampaikan bahwa aku akan selalu ada di sampingmu ketika senang maupun sedih. Tapi kamu tahu semua itu tidak aku sampaikan.
            Aku belum bisa memahami kebingungan yang kamu hadirkan. Karena itu aku menjaga diri untuk bertindak sebagai pahlawan dalam masalahmu. Selain masih merasa kebingungan, satu hal yang masih dapat aku lakukan dengan baik adalah mendengarkanmu. Jika sedikit sekali cerita yang keluar dari mulutmu, biarlah aku hanya mendengar suara nafasmu.

Bersambung...
200714