1 Oktober 2011

Terkenang Masa Kecil karena Makan Mie Instant Mentah


Tidak dapat ditolak kenangan itu datang menyelinap ke dalam pikiranmu sekarang, seperti kedatangan kejadiannya pada masa lalu. Sesuatu yang datang berpasangan –baik dengan buruk, pahit dengan manis dan lainnya. Tidak ada kuasa untuk menampik agar yang datang selalu baik atau manis. Usaha untuk mengenang segala yang terjadi bagai mendirikan rumah dengan puing-puing runtuhannya. Selalu saja ada bagian yang hilang atau terlupakan walau niat untuk menghilang dan melupakannya telah kita buang dan kuburkan.
Mengenang masa kecil adalah kembali mendirikan rumah dengan coretan-coretan di dinding. Seperti melukis mural di pinggir jalan. Banyak yang melihat namun sedikit yang menikmati apalagi memahami. Kenangan telah terbenam dalam kepalamu hingga kadang susah untuk kembali menemukannya di tengah lautan pikiran. Pikiran seperti hari yang selalu berganti. Pikiran yang bertumbuh dan berkembang seiring usia. Dan waktulah yang setia mendampinginya dalam proses pematangan.
Kenangan tentang masa kecil ditemukan pada malam ini lewat sebungkus mie instant yang dimakan mentah. Suara dari mie yang diremukkan jemari jadi kode pintu rahasia kejadian puluhan atau belasan tahun lalu. Kali ini kenangan datang lewat suara, bukan karena gambar sudah tidak mampu lagi terbayangkan. Suara mie yang remuk tidak pernah berubah, hingga tidak butuh waktu lama bagi telinga menangkap isyaratnya.
Makan mie instant mentah memang sangat jarang saya lakukan semenjak dari SMP sampai sekarang, yang berarti pernah dilakukan beberapa kali. Pada kali terakhir ini suaranya membawa saya kembali pada kenangan. Ketika masih SD, beberapa tahun sebelum pergolakan mahasiswa tahun 1988, mie instant menjadi jajanan ekslusif di sekolah. Uang jajan harian saya hanya cukup untuk membeli sebungkus mie instant. Jika saya membeli mie instant maka saya tidak dapat menikmati jajanan lainnya sedangkan jadwal istirahat ada dua kali.
Seringkali saya dan teman bersepakat untuk membeli jajanan di sekolahan pada jam istirahat pertama dan mie instant pada jam istirahat ke dua. Untuk membeli jajanan menggunakan uang dia dan membeli mie instant menggunakan uang saya, begitupun sebaliknya. Pada waktu itu harga mie instans Rp 250,00 sedangkan harga sate tahu kuah kacang atau keripik singkong pedas atau jagung iris manis yang dijual di kantin sekolah Rp 50,00. Mungkin karena perbedaan harga yang mencolok  mie instant menjadi makanan ekslusif bagi saya dan teman-teman di sekolah.
Bagi teman yang orang tuanya pemilik warung yang menjual mie instant dan teman yang memiliki uang jajan lebih banyak, untuk menikmati mie instant mentah adalah perkara yang mudah. Jika mereka sedang makan mie instant mentah sudah pasti dikelilingi oleh teman-teman lainnya.  Teman-teman yang ingin ikut menikmatinya karena  diberi atau meminta. Minyak sayur dalam kemasan mie sering dimitoskan oleh orang tua di kampung dengan minyak orang mati, hal ini untuk mencegah keinginan kami meminta uang jajan tambahan.
Sebungkus mie yang dimakan dengan beberapa orang teman memang terasa lebih nikmat. Sebuah penghargaan yang absurd diberikan kepada seorang yang sering makan mie instant mentah di sekolah. Kadang dia menjadi pemimpin atau penentu sebuah permainan yang akan dimainkan, atau mendapat bantuan tanpa dimintanya. Seolah mie instans adalah jubah kebesaran seorang raja. Dengan mie instant mendapatkan perhatian dan penghormatan secara instant pula.
Sekarang mie instant tidak lagi menjadi jajanan ekslusif di tempat saya bersekolah dulu, mungkin juga di semua sekolah dasar di Indonesia. Sudah banyak variasi jajanan memenuhi meja di kantin sekolah dengan harga yang juga lebih mahal. Mie instant tidak lagi menjadi makanan yang dapat mendatangkan penghargaan. Bahkan hal sebaliknya bisa datang karena pengetahuan tentang resiko dari kebanyakan mengonsumsinya.
Terompah waktu yang menginjak kita setiap saat selalu menyisakan kenangan dengan segala benda dan kejadiannya. Setiap penilaian dan pemaknaan bertumbuh atau luruh karena kenyataan sekarang. Kenangan seringkali tidak seperti benda kuno yang semakin lama semakin berharga. Berubah bentuk serupa model pakaian atau gaya rambut pemiliknya. Harganya menjadi absurd dalam kantong-kantong pikiran, lalu menyerah kepada kelihaian kita dalam menawarkan dan menjualnya kepada hari ini.
Semarang, 02 Oktober 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar