25 September 2011

Api dari Mulut Naga


Kayu-kayu tertumpuk di antara tegak tungku, tidak tertata. Api dari pemantik mulai memakan kayu hingga gemerisik mulai terdengar dari kayu yang terbakar. Api menyala menjulang sampai melewati pucuk tutup periuk. Makin menjulang. Kayu menjadi abu dengan terburu-buru begitu juga dengan gulai yang dimasak.

Penggambaran di atas saya alamatkan pada puisi-puisinya Naga Sukma terhadap banyaknya ide yang ingin disampaikan. Hingga meledak-ledak lalu redup tersendak-sendak. Ada panas yang menjadi sia-sia dan dapat membuat santan gulai menggelelegak tak layak.

Ide yang banyak memang  jadi berkah bagi seorang penulis namun jadi lanyah jika dituangkan secara terburu-buru. Butuh ketabahan dan kejelian dalam menuangkannya ke dalam sebuah tulisan khususnya puisi.  Agar puisi yang ditulis dapat dinikmati pembaca sebelum dijadikan bahan kontemplasi jika memungkinkan, agar tidak seperti yang terjadi dalam puisinya “Pengemis”
Banyak yang lewat, tak banyak yang memberi

Puisi seringkali tidak hanya kata-kata kosong--tanpa makna tanpa isi. Selalu ada yang ingin disampaikan baik secara berterang-terang maupun bergelap-gelap. Disampaikan dengan diksi-diksi terpilih agar menarik dibaca dan tepat dalam berkata. Puisi juga mengandung emosi di tubuhnya serta dapat melahirkan cerita dari cerita. Jika kita menceritakan hal biasa dengan emosi yang biasa mungkin setiap orang telah melakukannya—walau tidak menuliskannya.

Kadang puisi juga dibangun oleh kata-kata yang filosofis. Menciptakan makna yang universal dan menyerahkan sepenuhnya pada pembaca. Naga Sukma dalam pengelanaannya sempat menuliskan, manusia lupa bagaimana menjadi manusia. Kata-kata tersebut begitu menohok pembacanya yang tentu saja manusia. Bagaimana manusia yang sebenarnya manusia? Naga Sukma menggiring kita pada pertanyaan itu dan menyerahkan jawaban sepenuhnya kepada kita sendiri.

Karena terlalu banyaknya ide yang ingin disampaikan maka izinkan saya mencurigai Naga Suka memberi judul puisinya “Catatan, Puisi, dan Celoteh”. Tiga hal yang kadang bisa dijadikan satu atau dipisah satu dengan lainnya. Setiap hal itu bisa saja dilebur menjadi satu, yaitu puisi dengan penataan ide yang runut dan terjaga. Karena Naga Sukma telah memberi batasan pada judulnya maka saya dapat mengamini di antara banyak jeda terdapat celoteh-celoteh yang penuh emosi, catatan tentang diri sendiri, dan puisi yang berdiri sendiri.

Dengan catatanya Naga Sukma menampilkan dirinya dalam, bukuku membaca aku/sedang aku tak terbaca olehmu/angin yang cerai akan mendung. Penulisnya mungkin ingin atau mungkin saja yakin kalau dirinya memang tidak terbaca. Naga Sukma menjadi penulis yang misteri dengan tulisannya hingga pembaca sulit melacak jejak dari tulisannya, namun jejak tersebut masih nampak sedikit walau agak rumit.

Emosi yang menggebu sangat nampak dalam celotehannya, seperti tentang fakultas-fakultas di universitas. Sangat terasa Naga Sukma melihat fakultas itu dengan mata merah lalu mengeluarkan api dari mulutnya. Emosi yang tinggi membawanya ke celoteh-celoteh sekolah rendahan. Emosi yang tinggi membuat Naga Sukma juga lupa menuliskan judul untuk beberapa celotehanya atau mungkin puisinya. Akan lebih baik jika emosi yang menggebu dan ide yang banyak itu diolah secara cerdas dan terpelihara agar dapat melahirkan tulisan yang apik dan enak dibaca.


Tikungan Terakhir yang Getir

Tidak bisa dipungkiri perjalanan yang ditempuh ini akan mengalami titik akhir. Sebelumnya bisa saja ada tanjakan, turunan, jalan lurus, dan tikungan. Zulfa Fahmi memilih tikungan di bait terakhir puisinya. Tikungan yang tidak mudah ditebak akan mengarah ke mana. Tikungan terakhir yang getir. Tikungan terakhir yang mematahkan segala persepsi pembacanya lalu mengarahkan ke sebuah jalan yang perawan dengan pemandangan yang menawan.

Zulfa Fahmi dalam puisinya melahirkan cerita dari cerita. Seperti dalam puisinya “Ikan dalam Sumur”, pada dua baris terakhir puisinya tikungan itu mengantarkan pembaca pada inti dari cerita yang dipuisikan. Sangat tidak dapat diduga jika ikan berenang ke arah kegetiran kehidupan dalam keluarga. Cerita yang lahir dari cerita juga dapat ditemukan pada puisi “Kredit” penulisnya melunasi kredit-nya dengan kegetiran yang membuat kita tertarik untuk balik membacanya.

Dalam menulis puisi yang bercerita memang layak jika kita melahirkan sebuah cerita baru. Dalam berimajinasi kita juga dituntut untuk berempati agar imajinasi terasa lebih berisi. Ketika berimajinasi tentang rasa sakit kita dapat merasakan sakit itu seperti apa hanya dengan jalan berempati. Meresapi lebih dalam. Memahami hal-hal apa saja yang terjadi dan terlihat dari suatu peristiwa yang diceritakan atau dipuisikan.

Mencoba atau menciptakan gaya baru dalam berpuisi memang sebuah godaan atau dapat disebut sebuah tantangan bagi seorang penyair. Dalam puisi “Pak Pres” penulisnya nampak mau mencoba gaya baru. Puisi diisi dengan percakapan. Namun Zulfa Fahmy tidak memberi tanda kutip (“) pada setiap percakapan yang berlangsung hingga pembaca dipaksa memahami percakapan yang dituliskan. Percakapan yang terjadi juga terasa melompat-lompat.

Keberanian dan ketepatan dalam memilih diksi dapat menimbulkan decak kagum pada pembaca. Metafora yang menarik terasa apik ketika dituliskan Zulfa Fahmy seperti: Kutaruh motorku di remukan bulan, Ibunya menangis ditampar debu dan beberapa penggalan kalimat lain yang terasa sangat memikat. Jika penulisnya dapat mempertahankan kekuatan pada kata-katanya tidak bisa disangkal kalau puisi-puisi yang lahir langsung menjadi dewasa.

Untuk mendapatkan diksi yang tepat penulis tidak mesti mengambil dari benda-benda yang jauh dari tubuhnya. Benda-benda yang akrab dengan diri dapat dimasukkan ke dalam puisi karena kita lebih memahami benda tersebut seperti baju, buku, pensil, sepeda motor dan lainnya. Benda-benda yang selalu menemani kita setiap hari dapat diberi nyawa ketika masuk ke dalam puisi.

Puisi-puisi yang lahir dari dua orang penyair di atas membawa kita pada aliran emosi dan kepekaan terhadap keadaan dan peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Hal ini menunjukkan masih ada kepedulian dari generasi muda yang diwujudkan dalam tulisan berupa puisi. Puisi-puisi mereka bergelora dalam semangatnya. Menohok. Menaiki bukit-bukit tragedi lalu terjun dengan payung puisi. Di mana mereka akan berlabuh? Semua tergantung kelihaian mereka menarik tali payungnya. Di jurang batu, padang rumput yang lembut, atau pantai yang damai. Selamat terjun dengan kata-kata dan pilih tempat berlabuhmu penyair.
Semarang, 16 September 2011