30 Januari 2014

1. Malaikat Pertemuan

Ketika kau bisa melihat dirimu dalam mata seseorang yang berada di depanmu itulah pertemuan. Kau bisa melihat dengan jelas rapinya bulu-bulu halus tumbuh di tangannya, seperti kenangan yang mungkin akan tercipta selanjutnya. Kau bisa mengukur besar pergelangan tangannya dan merasakan mulusnya kulit dia saat bersalaman, itulah kemungkinan lain yang bisa kau rasakan dari pertemuan. Jika lebih beruntung kau dapat merasakan jerawat yang tumbuh di pipinya dengan pipimu. Namun pertemuan tidak sekadar tentang semua itu, pertemuan adalah awal kehidupan. Seperti pertemuan Adam dan Hawa yang menciptakan kehidupan tiada putus sampai saat ini. Seperti hidupku dan hidupmu.

Pertemuan kadangkala tercipta dari kemungkinan-kemungkinan yang berada di luar kendali, tidak hanya wujud dari rencana-rencana yang kamu buat dengan dia. Satu langkah yang tersesat, satu menit yang terlambat, dan satu pilihan yang tidak tepat bisa menciptakan pertemuan hangat dan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Barangkali pertemuan adalah sebuah teka-teki yang dimainkan bumi dengan penghuninya.

Pada malam yang riuh di kota tempat orang banyak bertanya nama daerah dan arah jalan, aku mencari suatu alamat. Berbekal peta sederhana dari teman kantor, dan sedikit ingatan tentang nama jalan. Tadi siang aku menerima tawaran pertemuan dari seorang teman lama yang menjanjikan pertemuan dengan seorang teman lama lainnya. Pertemuan seperti perniagaan, saat sah dibeli seseorang harus melunasinya. Aku melunasi pertemuan itu setelah merasakan sempitnya jalanan oleh kendaraan dan kegerahan dari panas mesin yang terus menyala.

Di suatu tempat makan yang menyediakan berbagai pilihan makanan dengan berbagai pilihan rasa, meja di depan kita berisi nasi bakar, sate kambing dan lontong, serta jus buah yang dingin hingga embun menetes dari dinding gelas. Pada suatu kemungkinan, beras untuk nasi bakar dan beras untuk lontong itu berasal dari sawah yang sama, dari rumpun yang sama, atau dari batang yang sama, sekarang mereka bertemu di meja yang menjadi jarak buat kita sebagai suatu kenyataan. Kemungkinan yang kecil bahkan sangat kecil seperti kemungkinan pertemuan kita di kota yang mampu menghilangkan jutaan kemungkinan lain. Pertemuan itu tidak akan terjadi jika aku tersesat hingga terlambat menemuimu yang sudah buru-buru pulang, atau pertemuan itu tidak pernah terjadi jika teman yang mempertemukan kita tidak berkunjung ke kota ini, atau jutaan kemungkinan lain yang menyebabkan tidak terjadinya pertemuan itu. Maka saat ini, seorang teman yang mempertemukan kita dan membantu memecahkan teka-teki dari bumi yang kita huni ini, ingin aku sebut dia sebagai “malaikat pertemuan”. Setujukah kau denganku?
31012014
***
Bersambung...

26 Januari 2014

Catatan Tentang 2013 Yang Tidak Ingin Dilupakan


Selama tahun 2013 yang telah berakhir beberapa hari yang lalu saya hanya memposting dua tulisan saja di blog ini. Aduh, karena memang hanya dua tulisan itu yang selesai saya tulis. Selebihnya tulisan-tulisan setengah matang yang mengendap di laptop dan hal-hal yang tidak sempat dituliskan hinga terlupakan begitu saja. Sekarang saya akan tuntaskan tulisan ini dengan hal-hal yang masih melekat di ingatan dan hal-hal yang tidak ingin saya lupakan.

Awal 2013 saya menulis tentang kejadian-kejadian pada tahun sebelumnya dan ingin juga saya menuliskan kejadian-kejadian pada 2013 pada awal tahun ini. Sekadar mengingat, sekadar mengabadikan kejadian, seperti kata Pram “menulis adalah pekerjaan untuk keabadian”.  Masih lekat di ingatan saya masa pengangguran saya berakhir setelah menempuh perjalanan Semarang-Yogyakarta-Semarang-Yogyakarta-Semarang-Yogyakarta dalam satu minggu dengan sepeda motor untuk menjalani tes pekerjaan di suatu perusahaan konsultan pendidikan. Manisnya mendapat pekerjaan baru sedikit terusik ketika batuk saya mengeluarkan darah pada awal bulan Februari.

Februari saya hijrah ke Jakarta dengan menaiki travel dari Semarang-Jakarta. Selama perjalanan, saya muntah setelah satu jam pertama di dalam mobil sampai tiba di Jakarta. Saya mengingat malam sebelumnya saya makan mie yg sangat pedas dan minum kopi manis yang dibuat oleh koki si kelapir Arif Fitra dalam pelepasan dengan teman-teman Lacikata. Adakalanya hidup lebih pedas dari yang kita kira seperti pedasnya paprika melebihi cabe merah. Mengira keracunan atau mabuk perjalanan biasa, ternyata usus buntu saya sudah kronis dan harus operasi secepat mungkin.  Dan sayapun dioperasi di RS Fatmawati Jakarta Selatan dengan harus melunasi total semua biaya operasi sebelum operasi dilakukan.

Jakarta adalah kota yang paling saya hindari untuk bekerja. Kemacetan, panas, tingginya tingkat kriminal, dan lebih mahalnya harga makanan terasa sangat berat untuk dijalani. Beruntunglah proses adaptasi saya tidak terlalu lama untuk menikmati tinggal di kota peringkat ke 4 dunia dalam hal kepadatan penduduk. Dua bulan pertama di Jakarta diisi dengan perjalanan mengelilingi bagian selatan Jakarta dari satu SMA ke SMA lain dengan kondisi baru selesai operasi dan harus menjalani masa penyembuhan minimal satu bulan.  Saya menyadari, ketika lingkungan tidak memberikan banyak keringanan, maka kau telah dibaptis untuk menjadi seorang yang tangguh.

Setelah dua bulan di Jakarta, saya kembali ke Yogyakarta untuk menjalani training di kantor pusat perusahaan. Menikmati satu setengah bulan dengan mendapatkan bermacam ilmu tentang kehidupan dan pekerjaan serta mengunjungi candi Brobudur dan Prambanan yang selama ini belum sempat dikunjungi walaupun dua tahun telah tinggal di Semarang. Jalan-jalan ke pantai Indrayati sambil melepas kecemburuan kepada adik saya yang sudah duluan ke sana. Selain itu juga mampir sejenak ke Solo dan Semarang.

Pertengahan Mei kembali ke Jakarta dengan semangat baru dan tanggung jawab baru dari perusahaan. Ketika Mei hampir berakhir saya bertemu dengan teman lama setelah dua tahun tidak pernah bertemu. Pertemuan yang tidak terencana dan berhasil menciptakan pertemuan-pertemuan terencana selanjutnya. Juni mengalir dengan kesibukan dan perasaan suka yang baru tumbuh terhadap Jakarta.

Juli adalah bulan kelahiran saya yang tidak dirayakan seperti biasanya. Tanggal 7 Juli dada saya  berdetak lebih kencang di Warung Pasta, Kemang, Jakarta Selatan. Seminggu telah lewat dari hari ulang tahun dan masih tanpa kado istimewa. Video ini berkali-kali saya lihat pada bulan Juli dan menciptakan kesan yang ispiratif pada awalnya lalu menjadi semacam de javu. Mungkin video itu kurang anda pahami mengapa ada di tulisan ini, tapi paling tidak ada satu orang selain saya yang tahu alasannya.

Agustus menjalani hari-hari dengan keceriaan baru dan praduga-praduga yang telah dijinakkan. Menghabiskan malam takbiran dengan keliling Jakarta dan terjebak kepadatan arus lalu lintas mulai di Bundaran HI sampai Kota Tua. Lebaran menciptakan kesempatan untuk pulang kampung walau sholat Ied masih tetap di Jakarta. Menikmati suasana kampung selama satu minggu, dan ternyata tidak banyak yang berubah. Kehabisan tiket pesawat Padang-Jakarta pada waktu yang direncanakan untuk balik, hingga ke Jakarta dari Pekanbaru. Perjalanan selalu menyimpan rahasia, sehari di Pekanbaru ternyata mendapatkan kesempatan untuk bertemu semua teman lama dari As-Shofa ketika halal bil halal di rumah salah seorang teman.

Kesibukan mengalir selama September, menghujat sedikitnya kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman dan keluarga, atau menghubungi teman-teman lama yang tinggal beda kota. Kesempatan yang sebenarnya selalu tersedia, kurang gigih dalam menciptakannya maka kesempatan itu terasa hilang. Beruntunglah mereka yang lebih awal mengetahuinya. Kesibukan akhirnya menumbuhkan semangat untuk membuka usaha sendiri. Berusaha sendiri seperti direncanakan akan mulai tahun ini. Akhir September tepatnya malam tanggal 29 saya membaca pesan dari seseorang yang membuat saya terdiam sejenak dan bingung untuk membalasnya. Isi pesannya cukuplah saya dan pengirimnya yang tahu.

Awal Oktober, tengah malam tanggal 4 saya buru-buru ke RS Persahabatan, darah yang cukup banyak keluar dari mulut dan hidung. Untuk pertama kalinya menginap di rumah sakit sejak tahun 2008. Dua malam merasakan dinginnya kamar isolasi di pojok bangunan. Merasa beruntung pada malam kedua ditemani seseorang yang membuat perasaan jadi hangat dan kecemasan jadi hilang. Terima kasih, kamu pasti membaca tulisan ini. Pertengahan Oktober sempat mengunjungi Lampung beberapa hari, dan menikmati udara segar pagi hari di selat Sunda.

Menghabiskan banyak waktu dengan menyelinap antara selimut dan kasur begitulah awal November dilalui. Hello Fest terabaikan begitu saja, walaupun dari awal sudah direncanakan untuk datang. Air putih yang awalnya terasa pahit perlahan mulai terasa tawar. Pertama kalinya selama menonton film di bioskop saya menonton film komedi horor yang bisa dikatakan jelek. Menonton Taman Lawang karena tidak ada pilihan lain yang lebih menarik sesampainya di bioskop. Sebuah kesimpulan yang saya ambil adalah, keinginan hantu dalam film horor Indonesia tidak jelas. Mereka menampakan diri tiba-tiba tanpa jelas latar belakangnya. Pada November saya juga melakukan tes mesin kecerdasan ala STIFIn, hasilnya Intuiting Introvert. Penjelasan sederhananya adalah jenis kepribadian yang berbasiskan kecerdasan indera keenam (intuisi) yang proses kerjanya dikemudikan dari dalam dirinya menuju ke luar dirinya.

Semalaman terjebak di dalam mini market bersama si Irviene karena hujan di awal Desember. Masih lekat diingatan hangatnya percakapan mengalahkan dingin karena rintik hujan di luar sambil menyaksikan pertandingan Real Madrid. Percakapan itu bagai sebuah kemenangan dalam sebuah pertandingan panjang selama enam bulan sebelumnya, seperti skor 4-0 untuk Real Madrid pada akhir pertandingan. Sukacita menyambut Natal dan hari liburnya bertukar menjadi dukacita. Dinihari tanggal 24 kakak sepupu saya meninggal dunia. Setengah hari menunggu keberangkatan pesawat sambil mengerjakan laporan tahunan. Libur Natal habis dengan perjumpaan dan pelepasan.

Saya tidak begitu  antusias dalam merayakan penyambutan tahun baru yang masih itu-itu saja—kembang api, terompet, kerumunan orang, dan bakar-bakaran—seperti sebelumnya. Hanya merencanakan untuk naik ke lantai dua dan menyaksikan percikan kembang api dari sana, sama seperti tahun sebelumnya. Menikmati orange juice di sebuah cafe dengan landskap ketimpangan pembangunan di Jakarta menutup sore terakhir tahun 2013. Malam terakhirnya dimulai dengan menikmati pameran fotografi di Mall Kota Kasablanka lalu menonton 47 Ronin, film action yang dibintangi Keanu Reeves seakan telah menjadi pelepasan yang manis untuk tahun 2013.

Satu setengah jam sebelum tahun berganti, rencana untuk merayakan penyambutan tahun baru masih belum muncul. Hanya karena iseng kami menyempatkan diri mampir ke Comic Cafe di Tebet dan memilih duduk di roof top. Tahun 2014 semakin mendekat, langit berkilatan oleh percikan kembang api, gelegar bersahutan dan asap mulai mengungkung. Seolah menjadi sebuah perayaan atas keadaan, saya menikmati pergantian tahun di tempat, pada waktu, dan dengan orang tepat. Selamat datang tahun 2014.

Tulisan ini lebih panjang daripada tulisan saya tentang kejadian pada tahun sebelumnya. Kejadian setiap bulan tersimpan dengan baik oleh penyimpan pesan WhatsApp, media komunikasi saya dengan seorang teman bercerita setiap hari. Tulisan ini seperti media penyimpanan kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup saya selama satu tahun. Memang masih ada hal lain yang belum saya tuliskan seperti, kegemaran saya makan lele beberapa bulan terakhir, padahal lele termasuk salah satu makanan yang tidak begitu saya sukai dulunya. Pada 2013 saya lebih sering masuk mall dan nonton bioskop, lebih jarang nonton bola, dan benar-benar hampir bersih dari rokok dan alkohol. Saya mengubah kebiasaan dan kebiasaan mengubah diri saya. Selain itu salah satu resolusi awal tahun dulunya sudah tercapai, yaitu bisa nyetir mobil.

Pertukaran tahun dari satu sisi adalah bertambahnya umur, semakin berkurang sisa hidup dan semakin dekat dengan kematian. Dari sisi lain adalah semakin dekat dengan jodoh dan pernikahan. Saya akan menikah, seperti yang telah dilakukan oleh sebagian besar teman-teman seangkatan saya. Tulisan ini tidak akan membahas tentang masa depan. Jika kalian ingin membaca tentang pernikahan, saya akan tulisan pada awal tahun-tahun berikutnya. Untuk lebih afdol menyambut tahun 2014 dengan membuat resolusi yang akan dijalani, maka resolusi saya untuk tahun ini adalah menambah berat badan dan mengurasi rasa malas. Tabik.















23 Januari 2014

Catatan Seorang Teman Yang Akan Pergi Malam Ini

Malam ini ia mucul begitu gagahnya tanpa malu-malu seperti biasa. Dadanya membusung dan langkahnya pasti menghampiriku. “Aku akan pergi malam ini, namun sebelumnya aku akan ceritakan siapa aku yang sebenarnya” dia membuka perbincangan. Aku dengan sepenuh usaha mendengarkannya diantara suara televisi yang memenuhi kamar ini.

Aku bangun pagi setelah kotaku diterangi dan hangat oleh matahari. Menunaikan kewajibanku melampui batas yang sebaiknya. Mengulangi tidur adalah kesenangan yang aku nikmati dan semacam menjadi olahraga bagi detak jantung saat telinga mendengar bunyi pagar atau pintu dibuka, barangkali itu pimpinanku. Kadang olahraga pagi yang sebenarnya membuat detak jantung semakin kencang, namun tidak sesering akibat mendengar bunyi pintu atau pagar.

Suatu aturan yang tidak tertulis kadang aku anggap sebagai sebuah kebebasan. Aku mulai bekerja menurut jam kemauanku, jam yang begitu lentur bahkan bisa diulur sepanjang ketidaksadaran. Aku tidak terobsesi dengan kemampuan maksimal yang bisa dikeluarkan oleh diriku atau hasil terbaik yang bisa diberikan kepada orang lain. Aku menjalani waktu dengan tingkah laku yang akan aku sesali sejadi-jadinya pada waktu yang akan datang.

Hal-hal yang sebenarnya tidak menarik dan tidak penting akan jadi menarik pada saat melakukan sesuatu yang penting, bahkan genting. Aku seringkali dan mungkin senang terlena dalam hal itu, hingga hal-hal penting dan mimpiku telah dimakan waktu. Aku seperti berjalan ke belakang dan waktu semakin cepat maju ke depan.

Aku malu kepada orang tuaku, pasanganku, pimpinanku, rekan kerjaku, bahkan kepada office boy di kantorku yang memiliki ketekunan dan kesungguhan dalam melakukan kewajibannya. Di atas semua orang itu aku sangat malu kepada diriku sendiri. Waktu dan kesempatan telah aku gunakan untuk kesia-siaan. Kesia-siaan dalam mimpi-mimpi besar tanpa mau bangkit dari tempat tidur. Aku malu, aku sangat malu. Karena itu aku ingin pergi.

“Aku akan pergi malam ini!” katanya, “dari tubuhmu”.


24 01 2014

21 Januari 2014

Bahagia: Sedikit di Belakang Ekspektasi dan Ambisi, Sedikit di Depan Pikiran




Saya tertarik menulis tentang merasa bahagia setelah melihat video ibu Eileen Rachman saat mengisi acara TEDx UI. Sebelumnya, pagi harinya saya berbincang dengan bang Nova, tentang situasi di kantor yang sekarang ini berjalan sangat dinamis. Salah satu kunci kedinamisan itu adalah merasa bahagia, mengisi hari-hari dengan senyuman dan tertawa. Menurut ibu Eileen kebahagiaan itu mengalir dalam darah manusia. Menurut saya dalam menyambung pendapat bu Elileen, kita tidak perlu melukai kulit untuk melihat kebahagiaan itu keluar, cukup dirasakan saja. Lalu bagaimana cara merasakannya?

Merasa bahagia adalah bagian dari perspektif dalam menjalani hidup, setiap manusia bebas memilih untuk merasa bahagia atau tidak. Tapi siapa sih di dunia ini yang tidak ingin merasa bahagia? Telah banyak orang menjelaskan perihal perbedaan bahagia dan merasa bahagia yang jauh berbeda itu. Saya lebih tertarik untuk menuliskan merasa bahagia versi saya dan momen-momen yang membuat saya bahagia. Merasa bahagia versi saya tentu berbeda dengan merasa bahagia versi anda, namun tidak tertutup kemungkinan bisa sama yang mungkin saja kapasitasnya berbeda. Ah, tidak perlulah kita mencari persamaan atau perbedaan dalam merasa bahagia, cukuplah dinikmati saja.

Untuk merasa bahagia yang diperlukan hanya perasaan, sederhana saja. Sudah siapkah perasaan untuk merasa bahagia? Saya berusaha selalu menyiapkan perasaan untuk selalu bahagia. Masih berusaha, karena saya akui belum sepenuhnya usaha itu berhasil. Penghasilan, status, materi, pakaian, jaringan, pertemanan dan segala hal yang menempel di diri harus bisa membahagiakan perasaan saya. Berhasilkah? Jawabannya masih “belum”. Khayalan saya masih dipenuhi punya penghasilan yang jauh lebih tinggi dari sekarang, ingin punya status lebih tinggi, materi lebih banyak, jaringan dan pertemanan lebih luas dan segalanya ingin lebih dari yang sekarang, termasuk berat badan. Namun semua hal itu pernah membuat saya bahagia. Saya sadari itu, misalnya ketika gajian saya membeli beberapa kebutuhan dan keinginan, datang ke suatu acara atau nonton bioskop dengan pasangan, atau diperhatikan teman saat dibutuhkan. Apakah merasa bahagia bisa datang dari pintu lainnya?

Merasa bahagia dari sisi yang tidak mainstream menjadi tantangan sendiri bagi perasaan. Jika seseorang bahagia karena cintanya diterima, wajar. Jika seseorang bahagia setelah bisa membantu ribuan orang, membangun masjid, klub sepakbolanya menang, bertemu idola itupun masih wajar. Sebenarnya saya begitu subjektif jika harus membedakan mana merasa bahagia yang mainstream atau tidak. Begini saja, saya merasakan kebahagiaan baru yang belum pernah saya rasakan sebelumnya dan saya yakin tidak semua orang setuju menganggap itu kebahagiaan. Itulah yang saya sebut merasa bahagia yang tidak mainstream. Saya bahagia ketika dapat dengan ikhlas mengucapkan terima kasih kepada pembantu yang mencucikan piring makan saya, saya merasa bahagia ketika dapat nomor antrian di rumah sakit yang sangat dekat dengan nomor yang sedang diproses, dan saya merasa bahagia jika tidak tidur lagi setelah sholat subuh. Kapasitas merasa bahagia dari hal-hal di atas memang tidak sebesar kebahagiaan saya jika mendapatkan uang 1 milyar atau bisa membuat 1 juta orang tersenyum. Namun kapasitasnya cukup membuat saya tersenyum walaupun belum mendapatkan 1 milyar tersebut.

Kebahagiaan mengalir dalam darah. Apapun yang dilakukan seharusnya dapat menciptakan kebahagiaan dan bisa dirasakan. Ada orang yang senang bekerja, bekerja membuat ia merasa bahagia. Ada orang yang senang mengeluh, ketika keluhannya ditanggapi dia merasa bahagia. Jika semua hal bisa menciptakan kebahagiaan, lalu di manakah kebahagiaan itu tersembunyi hingga tidak semua orang merasakannya. Menurut saya kebahagiaan itu berada sedikit di belakang ekspektasi dan ambisi dan sedikit di depan pikiran. Jika ekspektasi dan ambisi bisa melongokkan kepalanya ke belakang dan pikiran bergerak ke depan di situlah bahagia akan dirasakan.