Dalam jarak lima
ratus meter saya terpisah dari tempat dia memusikalisasikan puisinya. Saya
mencoba membayangkan puisi itu dibacakan seperti Iwan Fals membawakan
tembang-tembangnya atau seperti Ebiet G. Ade, atau seperti Gombloh yang
berapi-api. Isi kepala saya mencoba menerka seperti apa pertunjukan itu
berlangsung, namun dalam dada saya berharap pertunjukan itu tertunda sementara.
Belum habis sebatang rokok dihisap setelah makan, tirai-tirai air dijatuhkan
dari langit. Tirai-tirai itu semakin tebal dan semakin berisik juga bunyinya di
terpal plastik warung penyet Arto Moro.
Bukan hujan yang menjadikan kuyup, tapi
tempiaslah yang menggigilkan
Sebaris sajak di
atas meloncat dari pikiran saya ketika menunggu hujan reda. Karena tempiasnya
hujan melembabkan baju dan calana saya. Begitu juga dengan tetes air yang turun
dari lobang-lobang kecil di atap hingga saya dan Purna pindah duduk sampai tiga
kali. Mungkin inilah tempias yang menggigilkan itu: batang-batang rokok
meninggalkan kotaknya dengan cepat, teh hangat kembali terhidang untuk
membasahi kerongkongan yang kering karena suara mesti ditinggikan untuk melawan
bunyi hujan.
Hujan reda
setelah kami melewatkan satu jam pertama penampilannya dan pemutaran video
perjalanannya di Fakultas Sastra Undip di Pleburan. Lampu dari kendaraan yang
melintas menghamparkan garis-garis kuning kemerahan di dasar jalan.
Gelombang-gelombang kecil tercipta dari ban kendaraan yang tergenang. Tetes air
masih jatuh dari pohon-pohon di pinggir jalan yang kami tempuh.
Saya dan Purna
sampai di tempat acara ketika dia sedang memusikalisikan puisinya yang ternyata
mirip Iwan Fals melantunkan tembang-tembangnya. Liris. Namun saya tidak dapat
menikmati lebih lama karena harus mengantarkan kiriman antologi Beternak
Penyair ke RRI dulu. Setelah sampai kembali di tempat acara ternyata sedang
berlangsung sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Musyafak Timur Banua.
Sepenggal video perjalanannya masih diputar namun tanpa suara, mengiringi tanya
dan jawab yang memantul-mantul.
Wing Sentot
Irawan (WSI) adalah seorang petualang dari Lombok yang bersepeda menempuh
Nusantara dan negara-negara di ASEAN. Sekilas memandang wajahnya saya teringat
pada Kaka Slank ketika dia masih ringkih dulunya. Gurat wajahnya yang keras,
rambut gondrongnya, dan kumis sebagai pagar antara hidung dan bibir atasnya.
Konon, katanya dia adalah orang yang memutuskan berhenti sebagai PNS untuk
bertualang. Puisi-puisi selalu lahir di setiap daerah-daerah yang
disinggahinya. Hidup bagai jalan yang mesti selalu ditempuh bukan perhentian
yang dapat membuat lengah.
Wing Sentot Irawan |
Dalam video itu
nampak pantai dengan pasir putih dan pucuk-pucuk pohon kelapa seakan membentuk
garis ke horizon, menghadap ke birunya lautan, ada juga puncak pegunungan yang
seperti terapung di atas awan, angklung-angklung yang digerakkan hingga
pinggirannya menjadi seperti lengkungan akordion, seorang pria tua menyandang
dua bakul keranjang di pundaknya dengan sebilah bambu di bawah deretan
pohon-pohon, turis perempuan mengamati relief ukiran di sebuah candi, sepasang
kura-kura seperti tertidur dengan damainya di atas pasir, kepala komodo yang
mendongak dengan latar belakang langit kemerahan, bocah-bocah berlari di
dinding air terjun sambil mengibarkan bendera merah putih, serta penyanyi
jalanan yang memainkan gitar di samping tukang becak yang menunggu penumpang.
Video yang menghadirkan keindahan, kedamaian, dan semangat itu membuat
keinginan saya untuk bertualang semakin tinggi.
Dalam sesi tanya
jawab Wing Sentot Irawan mengatakan kalau perjalanan
adalah referensi yang tidak terdapat di buku-buku atau perpustakaan bagi
dirinya ketika menjawab pertanyaan dari Vivi Andriani tentang makna dari
perjalanan yang dilakukannya. Berbagai pengalaman telah dialaminya seperti yang
paling tragis ketika salto di jalanan beraspal karena ban sepedanya masuk
lobang hingga membentuk angka delapan, atau yang paling unik ketika melihat
kingkong yang bulu-bulu di dadanya berwarna putih walau dia sempat meragukan
kejadian itu hanya ilusi karena kecapekan atau memang kenyataan yang benar
adanya.
Sesi tanya jawab
itu diakhiri oleh penampilannya sendiri dengan memusikalisasikan puisi diiringi
bunyi harmonika. Duetnya dengan mbak @elmanohara adalah penampilan
berikutnya ketika membawakan puisinya yang berjudul Borneo, puisi yang
menceritakan keindahan alam di Kalimantan, dengan hutannya yang lebat, namun
juga menyimpan kritikan terselubung mengenai pembalakan brutal yang terjadi di
sana. Penampilan solonya mbak Latree selanjutnya membuat suasana di bekas ruang
kuliah itu menjadi hening lalu mendadak riuh tepuk tangan. Suaranya yang bening
lalu melengking pada reff “Bapakmu di
surga mencari uang, jika sudah banyak dia ‘kan pulang…” sampai tulisan ini
ditulis masih terngiang-ngiang di telinga saya. Berturut-turut penampilan dari
mas Kurniawan Yunianto membawakan puisinya diiringi petikan gitar, Wika
Setiawan membacakan puisi dengan gaya khasnya mengangkat tangan kanan dan
menggetarkan jemarinya, kemudian Galih Pandu Adi sebagai ketua panitia acara
ini.
Beberapa
penampilan tadi mengantarkan acara pada bagian lelang CD musikalisai WSI, juga
kotak sumbangan untuk membantu perjalanan bertualang di antara hadirin malam
itu. Barangkali inilah wujud persaudaraan yang tampil saat itu. Membantu
seorang manusia yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Dan merasa begitu akrab
ketika berada di dekatnya. Acara malam itu dilanjutkan dengan penampilan dari
Komunitas Penyanyi Jalanan lalau ditutup oleh penampilan WSI sendiri yang
diiringi melodi gitar, alunan biola, serta dentuman jimbe. Sebagai seorang
petualang yang entah kapan akan singgah dan bertemu lagi, para panitia dan
penonton tidak melewatkan sesi untuk mengabadikan momen tersebut dalam bentuk
foto. Tidak hanya ingin berfoto dengan WSI saja tapi juga dengan sepeda yang
mengantarkannya menjelajah sebagian dunia ini. Dan inilah sepeda tersebut.
Tidak tahu kenapa fotonya gak bisa potrait |
SAYA MENSYUKURI FOTOMU YANG ABADI LANSCAPE, PIR, HAHAHA
BalasHapus