13 Februari 2012

Referensi Di Luar Perpustakaan:

Dalam jarak lima ratus meter saya terpisah dari tempat dia memusikalisasikan puisinya. Saya mencoba membayangkan puisi itu dibacakan seperti Iwan Fals membawakan tembang-tembangnya atau seperti Ebiet G. Ade, atau seperti Gombloh yang berapi-api. Isi kepala saya mencoba menerka seperti apa pertunjukan itu berlangsung, namun dalam dada saya berharap pertunjukan itu tertunda sementara. Belum habis sebatang rokok dihisap setelah makan, tirai-tirai air dijatuhkan dari langit. Tirai-tirai itu semakin tebal dan semakin berisik juga bunyinya di terpal plastik warung penyet  Arto Moro.
Bukan hujan yang menjadikan kuyup, tapi tempiaslah yang menggigilkan
Sebaris sajak di atas meloncat dari pikiran saya ketika menunggu hujan reda. Karena tempiasnya hujan melembabkan baju dan calana saya. Begitu juga dengan tetes air yang turun dari lobang-lobang kecil di atap hingga saya dan Purna pindah duduk sampai tiga kali. Mungkin inilah tempias yang menggigilkan itu: batang-batang rokok meninggalkan kotaknya dengan cepat, teh hangat kembali terhidang untuk membasahi kerongkongan yang kering karena suara mesti ditinggikan untuk melawan bunyi hujan.
Hujan reda setelah kami melewatkan satu jam pertama penampilannya dan pemutaran video perjalanannya di Fakultas Sastra Undip di Pleburan. Lampu dari kendaraan yang melintas menghamparkan garis-garis kuning kemerahan di dasar jalan. Gelombang-gelombang kecil tercipta dari ban kendaraan yang tergenang. Tetes air masih jatuh dari pohon-pohon di pinggir jalan yang kami tempuh.
Saya dan Purna sampai di tempat acara ketika dia sedang memusikalisikan puisinya yang ternyata mirip Iwan Fals melantunkan tembang-tembangnya. Liris. Namun saya tidak dapat menikmati lebih lama karena harus mengantarkan kiriman antologi Beternak Penyair ke RRI dulu. Setelah sampai kembali di tempat acara ternyata sedang berlangsung sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Musyafak Timur Banua. Sepenggal video perjalanannya masih diputar namun tanpa suara, mengiringi tanya dan jawab yang memantul-mantul.
Wing Sentot Irawan (WSI) adalah seorang petualang dari Lombok yang bersepeda menempuh Nusantara dan negara-negara di ASEAN. Sekilas memandang wajahnya saya teringat pada Kaka Slank ketika dia masih ringkih dulunya. Gurat wajahnya yang keras, rambut gondrongnya, dan kumis sebagai pagar antara hidung dan bibir atasnya. Konon, katanya dia adalah orang yang memutuskan berhenti sebagai PNS untuk bertualang. Puisi-puisi selalu lahir di setiap daerah-daerah yang disinggahinya. Hidup bagai jalan yang mesti selalu ditempuh bukan perhentian yang dapat membuat lengah.
Wing Sentot Irawan

Dalam video itu nampak pantai dengan pasir putih dan pucuk-pucuk pohon kelapa seakan membentuk garis ke horizon, menghadap ke birunya lautan, ada juga puncak pegunungan yang seperti terapung di atas awan, angklung-angklung yang digerakkan hingga pinggirannya menjadi seperti lengkungan akordion, seorang pria tua menyandang dua bakul keranjang di pundaknya dengan sebilah bambu di bawah deretan pohon-pohon, turis perempuan mengamati relief ukiran di sebuah candi, sepasang kura-kura seperti tertidur dengan damainya di atas pasir, kepala komodo yang mendongak dengan latar belakang langit kemerahan, bocah-bocah berlari di dinding air terjun sambil mengibarkan bendera merah putih, serta penyanyi jalanan yang memainkan gitar di samping tukang becak yang menunggu penumpang. Video yang menghadirkan keindahan, kedamaian, dan semangat itu membuat keinginan saya untuk bertualang semakin tinggi.
Dalam sesi tanya jawab Wing Sentot Irawan mengatakan kalau perjalanan adalah referensi yang tidak terdapat di buku-buku atau perpustakaan bagi dirinya ketika menjawab pertanyaan dari Vivi Andriani tentang makna dari perjalanan yang dilakukannya. Berbagai pengalaman telah dialaminya seperti yang paling tragis ketika salto di jalanan beraspal karena ban sepedanya masuk lobang hingga membentuk angka delapan, atau yang paling unik ketika melihat kingkong yang bulu-bulu di dadanya berwarna putih walau dia sempat meragukan kejadian itu hanya ilusi karena kecapekan atau memang kenyataan yang benar adanya.
Sesi tanya jawab itu diakhiri oleh penampilannya sendiri dengan memusikalisasikan puisi diiringi bunyi harmonika. Duetnya dengan mbak @elmanohara adalah penampilan berikutnya ketika membawakan puisinya yang berjudul Borneo, puisi yang menceritakan keindahan alam di Kalimantan, dengan hutannya yang lebat, namun juga menyimpan kritikan terselubung mengenai pembalakan brutal yang terjadi di sana. Penampilan solonya mbak Latree selanjutnya membuat suasana di bekas ruang kuliah itu menjadi hening lalu mendadak riuh tepuk tangan. Suaranya yang bening lalu melengking pada reff Bapakmu di surga mencari uang, jika sudah banyak dia ‘kan pulang…” sampai tulisan ini ditulis masih terngiang-ngiang di telinga saya. Berturut-turut penampilan dari mas Kurniawan Yunianto membawakan puisinya diiringi petikan gitar, Wika Setiawan membacakan puisi dengan gaya khasnya mengangkat tangan kanan dan menggetarkan jemarinya, kemudian Galih Pandu Adi sebagai ketua panitia acara ini.
Beberapa penampilan tadi mengantarkan acara pada bagian lelang CD musikalisai WSI, juga kotak sumbangan untuk membantu perjalanan bertualang di antara hadirin malam itu. Barangkali inilah wujud persaudaraan yang tampil saat itu. Membantu seorang manusia yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Dan merasa begitu akrab ketika berada di dekatnya. Acara malam itu dilanjutkan dengan penampilan dari Komunitas Penyanyi Jalanan lalau ditutup oleh penampilan WSI sendiri yang diiringi melodi gitar, alunan biola, serta dentuman jimbe. Sebagai seorang petualang yang entah kapan akan singgah dan bertemu lagi, para panitia dan penonton tidak melewatkan sesi untuk mengabadikan momen tersebut dalam bentuk foto. Tidak hanya ingin berfoto dengan WSI saja tapi juga dengan sepeda yang mengantarkannya menjelajah sebagian dunia ini. Dan inilah sepeda tersebut.
Tidak tahu kenapa fotonya gak bisa potrait



1 komentar: