1 Februari 2012

Bahagia Itu Buta

Bahagia itu buta. Bahagia bisa datang pada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dalam keadaan apa saja. Tidak peduli pengemis, orang kaya, malam hari, siang hari, dalam toilet, dalam mall, saat sakit ataupun sehat. Bahagia suatu kata yang dicari dan diinginkan setiap orang walaupun tidak setiap orang menyadari telah menemukan atau ditemui oleh kebahagiaan itu.

Selembar uang seribu rupiah dapat saja menjadi kebahagiaan bagi seorang pengemis walau bagi orang lain itu belum apa-apa. Malam hari dapat menciptakan kebahagiaan bagi seseorang setelah capek bekerja pada siang hari. Toilet adalah tempat yang paling membahagiakan bagi seorang yang telah menahan kencing selama dua jam. Sakit?

Sengaja saya memberi tanda tanya (?) setalah kata “sakit”. Apakah sakit itu sebuah kebahagian? Saya rasa kita sepakat menjawab tidak. Barangkali sekali lagi kita bisa sepakat kalau kebahagiaan itu bisa datang ketika sakit. Karena sakit tidak melulu berhubungan dengan penderitaan.

Ketika sakit kemarin saya merasakan kebahagiaan—beberapa saat melupakan penderitaan. Kebahagiaan itu datang melalui teman-teman yang membesuk saya. Mereka tidak membawa buah-buahan, berbagai jenis minuman atau makanan kesukaan saya, seperti layaknya melihat seorang yang sakit. Mereka hanya membawa tawa dan menciptakan kebahagiaan.

Saya mengurung diri dalam kamar karena di luar angin kencang dan hujan tak henti-hentinya turun dari pagi. Film yang tersimpan dalam komputer tidak ada yang belum ditonton. Niat ingin menulis tidak dilakukan karena kepala masih sakit juga karena ide belum muncul. Ketika itu masuk pesan singkat dari teman ingin datang ke tempat kost saya. Tidak lupa saya minta dibawakan beberapa film baru, karena teman saya itu bekerja di tempat penyewaan film.

Mereka sampai di kost ketika hujan tinggal rintik-rintiknya dan angin masih saja bertiup kencang hingga tempias air sampai juga ke dalam kamar. Pertanyaan formal ketika melihat orang sakit tidak satupun terlontar dari mulut mereka selain “Kelapir, aku kira sudah mampus kau” lalu kami tertawa. Secara harfiah memang kalimat itu terasa kasar. Namun semuanya akan hilang karena diucapkan dengan tertawa lalu membiarkan hilang seperti matahari siang itu.

Semua hal menjadi bahan tertawaan siang itu; dari karya teman sampai hubungan asmara mereka. Kita menciptakan kebahagiaan dengan tertawa. Menertawakan kesedihan, hal-hal bodoh yang pernah dilakukan, atau ekspresi-ekspresi dalam berfoto. Semuanya dilakukan tanpa ada tendensi untuk melecehkan seseorang teman ataupun orang lain. Semuanya dilakukan hanya untuk menciptakan kebahagiaan dan mungkin untuk membahagiakan saya sebagai si sakit agar cepat sembuh. Karena memang saya merasa bahagia siang itu.
Jaket dan selimut yang membaluti tubuh saya dilepas, karena tubuh merasa hangat dan berkeringat karena tertawa. Rintik hujan dan angin kencang seperti tidak mampu menembus kamar ini. Semuanya terasa hangat, terasa dekat, dan bersahabat. Sehat seperti akan datang dalam waktu dekat.

Selepas mereka pulang saya memutar film yang ditinggalkan.The Burbs dengan Tom Hanks sebagai pemeran utama. Selama film berlangsung selain selalu penasaran pada adegan demi adegan selanjutnya saya juga selalu tersenyum. Menghilangnya seorang tetangga membuat mereka bersatu untuk menemukannya. Hingga pencarian mereka berakhir dengan kekacauan dan terungkapnya kasus pembunuhan. Kebahagian akan terasa berkurang jika tidak dinikmati bersama-sama orang terekat. Untuk resensi filmnya nanti akan saya tulis pada postingan selanjutnya.

Kebahagiaan tidaklah mahal dan tidaklah sulit di dapatkan. Seperti cinta bahagia juga buta. Mungkin bahagia itu adalah cinta atau cinta adalah kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar