10 Februari 2012

Metafora Dengan Rasa


Dalam meyampaikan sesuatu kadang tidak cukup rasanya hanya dengan menggunakan kalimat-kalimat biasa.  Metafora sering melengkapi rasa ketidak-cukupan itu. Menurut KBBI metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Ada sensasi lain ketika kita melukiskan atau menyamakan sesuatu hal dengan hal lain. Ada imajinasi yang mengalir dari setiap kata-kata yang digunakan. Metafora digunakan untuk menyampaikan maksud tentang bentuk, rasa, bunyi, sifat dan lainnya.
Metafora masuk tiba-tiba ke dalam tulisan untuk memperjelas atau menyamarkan tanpa disadari. Metafora dapat membuat tulisan terasa lebih padat dan menarik namun tidak berarti hanya karena metafora tulisan itu jadi menarik. Banyak juga tulisan menarik dengan penyampaian yang sederhana.
Ketika ingin memetaforakan bibir ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan, seperti bentuk, rasa, dan sifat. Sebagai bentuk dapat saja kita menuliskan Bibirmu seperti dua ulas jeruk yang menggodaku mencicipinya. Dua ulas jeruk seperti yang sering kita temui. Basah, padat di bagian depan, dan melancip ke ujungnya. Barangkali hanya itu yang dapat kita bayangkan dari bentuk dua ulas jeruk.
Ketika dituliskan Bibirmu seperti angkot yang kutemui di setiap kota. Dalam bagian ini tentu masalah bentuk akan kita lupakan karena keduanya sungguh tidak saling menyerupai. Kita mencoba menyama-nyamakan dengan hal lain seperti rasa, sifat, dan bunyi. Angkot yang tepat mengantar dan menyasarkan penumpang dari tujuannya, angkot yang berisik dengan klakson yang sering memekik-mekik, angkot yang kencang melaju lalu berhenti mendadak. Dengan rasa, sifat, dan bunyi itu imajinasi dituntut lebih bertualang.
Berjelas-jelas atau bergelap-gelap dengan metafora dapat saja membuat tulisan terasa hambar atau bombastis. Karena itu dituntut juga lebih cerdas dalam memetaforakan sesuatu. Tidaklah diwajibkan juga menggunakan metafora dalam sebuah tulisan karena ini menyangkut masalah selera. Maka jalani saja jalan yang dapat membuat nyaman dalam menulis.

2012

2 komentar:

  1. Benar sekali. Dibutuhkan kecerdasan dalam menggunakan metafora dalam tulisan, apapun bentuk tulisannya, baik cerpen maupun puisi. Fenomena yang saya perhatikan saat ini, para penyair pemula sering menggunakan kata-kata bombastis dalam puisinya, atau terkadang perbandingannya itu ingin "dikabur-kaburkan", tapi malah membuat puisi itu jadi aneh dan memang sangat "kabur" dari maksud awalnya. Saya ingat nasihat Bang Hary B. Kori'un untuk para penulis pemula seperti kita, sebaiknya pemilihan kata-kata itu tidak terlalu berlebihan karena para pemula pada umumnya mereka sendiri belum mengetahui apa maksudnya dengan kata-kata bombastis yang mereka gunakan itu, dan hal itu adalah keadaan yang sangat lucu. Karena itu, jika "pondasi" kita belum mantap, gunakanlah bahasa yang biasa-biasa saja. Nanti seiring dengan waktu dan "jam terbang", kita akan bisa menulis seperti seorang Marhalim Zaini menulis (meski tentunya bukan mencontek dan takkan bisa persis sama).

    BalasHapus
  2. Tambahan yang bagus dan saya setuju dengan tanggapan tersebut.

    BalasHapus