Dear Mas Anom
Maaf
mengganggu kamu dengan mengirim pesan ini pada tengah malam. Tadi sore aku
habis nonton film Cinta Dalam Kardus dengan seorang teman. Setelah itu kami
mengobrol cukup lama tentang film itu dan hubungannya dengan keadaan kita
masing-masing. Film dan obrolan kami tadi menginspirasiku untuk menulis email
ini. Kamu tidak perlu balas apapun karena aku hanya ingin mengungkapkan
perasaan yang aku rasakan selama ini.
Aku
masih ingat waktu kita bersama dulu, suatu siang kamu mengajakku ke pantai. Di
sana aku tidak berhenti tertawa dan bercanda denganmu, dan aku merasa bahagia
sekali bersamamu. Hingga hal-hal seperti itulah yang selalu aku tunggu. Kita
berbicara apa saja dan menertawakan apapun yang membuat perasaanku jadi senang
dan lepas tanpa beban sedikitpun.
Tiba-tiba
kamu menghilang begitu saja. Aku merasa sangat sedih ketika menyadari kamu
sudah jauh dariku. Pesan-pesanku yang tidak dibalas, panggilan-panggilan telpon
yang tidak dijawab dan tidak ada lagi pertemuan demi pertemuan.
Lalu
aku merasa mungkin kamu hanyalah orang yang mampir secara kebetulan dalam
kehidupanku. Kita bertemu di persimpangan sebelum memilih arah jalan yang
berbeda. Suatu saat kita akan pergi menuju jalan masing-masing namun aku
terlambat menyadarinya. Aku masih terjerat oleh rasa sayangku terhadapmu hingga
masih tetap menunggumu di persimpangan ini, sedangkan kamu sudah jauh menempuh
jalan yang kamu pilih, yaitu meninggalkanku.
Sekarang
aku menyampaikan terima kasih untukmu karena sudah menjadi orang yang aku
sayangi. Kamu adalah laki-laki yang benar-benar aku sayangi untuk pertama
kalinya. Aku berharap kamu baik-baik saja dan bahagia di manapun saat ini dan
kamu tidak perlu membalas email ini.
Suatu perasaan lega yang begitu
besar menghampiri dirimu setelah mengklik icon “send” di email yang baru
selesai kamu tulis. Pesan di email itu telah berkali-kali kamu baca dan ubah
untuk memastikan semua yang tertulis di sana benar, semua makna yang
dikandungnya tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang ingin kamu sampaikan, semua
yang diungkapkan jujur, kecuali untuk satu hal.
Malam itu, setelah email terkirim
kamu mulai menyusun rencana-rencana untuk mengantisipasi jika email kamu
dibalas atau tidak oleh laki-laki itu. Kamu menyiapkan pernyataan-pernyataan
yang mempertegas rasa kehilanganmu setelah kepergiannya. Namun tetap
berhati-hati agar tidak kelihatan terlalu mengharapkannya kembali. Kamu akan menyampaikan
rasa sedihmu ketika tidak bisa lagi tertawa lepas dan bercanda dengannya. Namun
tetap memilih dan memilah kata-kata yang tepat agar tidak kelihatan betapa
tersiksanya kamu saat itu. Kamu juga merencanakan tindakan-tindakan yang akan
dilakukan jika email kamu tidak dibalasnya. Kamu akan menghapus email tersebut
dan mencoba melupakannya, kamu akan menghapus nomor kontaknya dan semua pesan
yang pernah saling kalian kirimkan dari telpon genggammu, dan kamu akan
menghilangkan akun miliknya dari semua jejaring sosial yang kamu ikuti agar
tidak ada hal apapun yang dapat membuatmu mengingatnya.
Kebisingan jalanan di dekat rumahmu
mulai berkurang hingga kamu bisa jelas mendengar bunyi jarum jam yang berdetak
di meja belajarmu. Jarum jam seakan tersenyum ketika kamu melihatnya. Jam dua
kurang sepuluh menit. Sebelum tidur kamu mengingat lagi email yang tadi kamu
kirimkan. Sedikit mengusikmu. Satu hal yang tidak mampu diungkapkan secara
jujur yaitu kamu sangat berharap dia membalas emailmu. Kamu berharap dia akan
meminta maaf karena telah meninggalkanmu atau paling tidak dia memberikan
penjelasan tentang tindakannya selama ini, untuk mengurasi semua persangkaanmu
terhadap dirinya.
Kamu berusaha sekuatnya untuk melupakan
email tersebut dan melupakan laki-laki yang menerimanya. Namun usahamu sebelum
tidur menjadi sia-sia, semakin kamu berusaha melupakannya semakin kuat ingatan
tentang laki-laki itu melekat dalam pikiranmu, hingga akhirnya kantuk berat
dapat membuatmu tertidur sebelum suara adzan subuh berkumandang dari masjid di
dekat rumahmu.
Bersambung..
170714
Tidak ada komentar:
Posting Komentar