Ditengah perkapan yang hangat kita
butuh rehat untuk sesaat. Saat inilah tubuh kita menjadi induk bahasa dari
semua kata-kata yang tidak sempat diucapkan. Setiap detil gerakannya dapat
menjadi kalimat yang mampu menyisipi percakapan sebelumnya. Di sini kau dapat
sepuasnya mengusap-ngusap hidungmu tanpa dicurigai kau berbohong dengan
kata-kata yang diucapkan. Kau dapat memutar-mutar bola matamu yang bulat
sempurna tanpa disimpulkan kau sedang bingung akan apa yang akan kau sampaikan,
atau apapun gerakan lain yang menurut ilmunya memiliki arti tersendiri.
Beberapa kali tatapan mata kita
beradu saat membisu, aku tersenyum, kau tersenyum namun belum pada satu waktu. Lalu
tatapan mata kita tertuju pada orang-orang di sekitar, sekelompok karyawan yang
merokok dan minum bir sambil tertawa sepuasnya, mereka seperti menunjukkan
kebebasan di ruangan ini. Ketegangan diperlihatkan oleh sepasang kekasih yang
lebih banyak diam dan menunduk dari pada saling menatap dan berbicara. Atau
keseriusan yang ditunjukkan seorang bapak yang menatap layar laptopnya tanpa
mengindahkan suara dan gerakan apapun yang terjadi di ruangan ini. Mereka semua
seakan hadir ke dalam diri kita masing-masing. Mereka hadir saat kita berbicara
dengan bahasa tubuh masing-masing tanpa kata-kata.
“Menurutmu
apa yang harus aku lakukan kepada laki-laki yang tadi aku ceritakan?” Selepas
rehat sejenak, kau mulai menanyakan hal yang tadinya tidak ingin kau bahas.
“Jika
kamu masih menyukainya, sampaikan saja kepadanya. Tidak salah kok. Karena perasaan
diciptkan bukan untuk diperlombakan siapa yang lebih dulu atau lebih akhir menyampaikannya.”
“Oke.
Tapi aku tetap berharap dia yang akan menghubungiku lagi, karena dia
laki-laki.”
“Kenapa
kamu beraharap dia yang menghubungi duluan?”
“Iya
karena dia laki-laki. Aneh banget rasanya kalau perempuan yang duluan”
Kebisuan kembali hadir ditengah
kita. Sebagai laki-laki aku menerka-nerka jawaban untuk pertanyaanku sendiri
berdasarkan logikaku. Aku ragu apakah karena sifat maskulinnya laki-laki harus
lebih dulu menghubungi perempuan, atau karena kepentingan akan suatu hubungan,
atau karena alasan lain yang belum masuk ke dalam pikiranku saat ini. Entah.
Aku berbalik mempertimbangkan kamu dan pikiranmu. Barangkali kamu
menyembunyikan jauh-jauh isi pikiranmu dan menghadirkan keluasan perasaanmu
kepadaku. Kau memaksaku berenang dalam keluasan perasaanmu untuk menemukan
jawaban atas pertanyaanku sendiri.
“Mungkin dia belum menghubungimu karena ada
rasa takut kamu kembali tidak bisa menerimanya.” Aku mencoba memahami pikiran
laki-laki itu berdasarkan apa yang pernah terjadi padaku sebelumnya.
“Kenapa
dia mesti takut?”
“Laki-laki
dewasa sangat berhati-hati agar tidak gagal dua kali dengan perempuan yang
sama. Apalagi dengan umurnya yang sudah 30 tahun, dia menginginkan suatu
hubungan yang pasti yang akan berakhir pada pernikahan”. Aku terpaksa
mempertajam perkiraanku tentang laki-laki itu.
“Kalau
laki-laki terlalu hati-hati bagaimana mau dapat hati perempuan”
Aku
tidak memiliki kata-kata lagi untuk membalas pernyataanmu. Aku memilih diam dan
tak lepas menatap wajahmu. Aku tersenyum saat kau balas menatapku dan berharap
kita sama-sama tersenyum.
Bersambung...
Bersambung...
***
160714
Tidak ada komentar:
Posting Komentar