16 Juli 2014

4. Bahasa Tubuh

Ditengah perkapan yang hangat kita butuh rehat untuk sesaat. Saat inilah tubuh kita menjadi induk bahasa dari semua kata-kata yang tidak sempat diucapkan. Setiap detil gerakannya dapat menjadi kalimat yang mampu menyisipi percakapan sebelumnya. Di sini kau dapat sepuasnya mengusap-ngusap hidungmu tanpa dicurigai kau berbohong dengan kata-kata yang diucapkan. Kau dapat memutar-mutar bola matamu yang bulat sempurna tanpa disimpulkan kau sedang bingung akan apa yang akan kau sampaikan, atau apapun gerakan lain yang menurut ilmunya memiliki arti tersendiri.

            Beberapa kali tatapan mata kita beradu saat membisu, aku tersenyum, kau tersenyum namun belum pada satu waktu. Lalu tatapan mata kita tertuju pada orang-orang di sekitar, sekelompok karyawan yang merokok dan minum bir sambil tertawa sepuasnya, mereka seperti menunjukkan kebebasan di ruangan ini. Ketegangan diperlihatkan oleh sepasang kekasih yang lebih banyak diam dan menunduk dari pada saling menatap dan berbicara. Atau keseriusan yang ditunjukkan seorang bapak yang menatap layar laptopnya tanpa mengindahkan suara dan gerakan apapun yang terjadi di ruangan ini. Mereka semua seakan hadir ke dalam diri kita masing-masing. Mereka hadir saat kita berbicara dengan bahasa tubuh masing-masing tanpa kata-kata.

“Menurutmu apa yang harus aku lakukan kepada laki-laki yang tadi aku ceritakan?” Selepas rehat sejenak, kau mulai menanyakan hal yang tadinya tidak ingin kau bahas.
“Jika kamu masih menyukainya, sampaikan saja kepadanya. Tidak salah kok. Karena perasaan diciptkan bukan untuk diperlombakan siapa yang lebih dulu atau lebih akhir menyampaikannya.”
“Oke. Tapi aku tetap berharap dia yang akan menghubungiku lagi, karena dia laki-laki.”
“Kenapa kamu beraharap dia yang menghubungi duluan?”
“Iya karena dia laki-laki. Aneh banget rasanya kalau perempuan yang duluan”

            Kebisuan kembali hadir ditengah kita. Sebagai laki-laki aku menerka-nerka jawaban untuk pertanyaanku sendiri berdasarkan logikaku. Aku ragu apakah karena sifat maskulinnya laki-laki harus lebih dulu menghubungi perempuan, atau karena kepentingan akan suatu hubungan, atau karena alasan lain yang belum masuk ke dalam pikiranku saat ini. Entah. Aku berbalik mempertimbangkan kamu dan pikiranmu. Barangkali kamu menyembunyikan jauh-jauh isi pikiranmu dan menghadirkan keluasan perasaanmu kepadaku. Kau memaksaku berenang dalam keluasan perasaanmu untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri.

 “Mungkin dia belum menghubungimu karena ada rasa takut kamu kembali tidak bisa menerimanya.” Aku mencoba memahami pikiran laki-laki itu berdasarkan apa yang pernah terjadi padaku sebelumnya.
“Kenapa dia mesti takut?”
“Laki-laki dewasa sangat berhati-hati agar tidak gagal dua kali dengan perempuan yang sama. Apalagi dengan umurnya yang sudah 30 tahun, dia menginginkan suatu hubungan yang pasti yang akan berakhir pada pernikahan”. Aku terpaksa mempertajam perkiraanku tentang laki-laki itu.
“Kalau laki-laki terlalu hati-hati bagaimana mau dapat hati perempuan”

Aku tidak memiliki kata-kata lagi untuk membalas pernyataanmu. Aku memilih diam dan tak lepas menatap wajahmu. Aku tersenyum saat kau balas menatapku dan berharap kita sama-sama tersenyum.

Bersambung...
***
160714



Tidak ada komentar:

Posting Komentar