26 April 2012

Stranger Than Fiction: Tragedi Pengarang Kisah-kisah Tragis


Pada prolog film Stranger Than Fiction (STF) mengatakan bahwa Harold Crick (HC) yang menjadi tokoh utamanya adalah seorang lelaki dengan ilmu yang tidak terbatas, kalkulasi yang tidak ada habisnya dan tidak sombong. Kegiatan yang dilakukannya sangat sistematis dan konsisten seperti menggosok gigi dengan 76 gerakan—38 ke depan-belakang, 38 ke atas-bawah-- dan selama 12 tahun setiap hari kerja HC berlari dengan rata-rata 57 langkah per blok sejauh enam blok untuk mengejar bus Kronecker 8:17 serta makan siang selama 45,7 menit dan tidur tepat pada pukul 11.13 malam, semua ini diatur oleh bunyi jam tangannya. Segala  kegiatannya yang dilakukan HC menjadikannya seakan robot yang digerakkan oleh sistem komputer.

HC dalam kenyataan diikuti oleh suara (narator) yang mengatakan hal-hal yang telah dilakukannya secara akurat dengan pilihan kata yang tepat. Suara itu selalu benar menyampaikan sesuatu tentang HC, kebiasannya, perasaanya, pikirannya, struktur kota kediamannya, hingga tentang kematiannya. Suara itu mengubah pola kehidupan HC yang telah berlangsung selama 12 tahun. Semua itu terjadi karena naluri HC yang skeptis terhadap suara tersebut. Ia mencari-cari keberadaan suara tersebut, menggugatnya, dan mendiskusikannya dengan orang lain.

Dalam pencariannya HC menduga ia adalah bagian dari karakter dalam sebuah cerita. Semua itu berawal dari kata-kata “dia tahu sedikit” yang diucapkan oleh suara tersebut,. Hingga HC memutuskan untuk mencari bagian-bagian cerita selanjutnya. HC dihadapkan dengan dua kemungkinan atas pencariannya yaitu: komedi dan tragedi. Seperti kutipan dari Italo Calvino “pada akhirnya semua cerita akan menujukkan dua hal yaitu; kelangsungan hidup dan kematian yang tidak dapat dihindarkan”. Dapat diasumsikan tragedi berarti kematian dan komedi berarti tetap bertahan hidup.

Selama pencarian ini HC mengalami perubahan drastis dalam hidupnya. Mimpi-mimpi purbanya kembali dihidupkan. Rutinitasnya dihancurkan dan ia mulai menyadari kalau tempatnya bekerja hanya menuntut kedisiplinan dan ketelitian tanpa mengajarkan tata krama. Dari sini terbersit pikiran tentang katalisator pada HC. Ia ingin mempercepat suatu peristiwa, setelah mengetahuinya bahkan ingin mengubahnya. Ana Pascal--pengusaha toko roti--yang menjadi clien dari kantornya adalah perempuan yang turut serta disebut oleh sang narrator. AP menjadi objek penelitian bagi HC tentang akhir dari cerita kehidupannya akan mengarah ke mana.

Ana Pascal ingin menciptakan dunia yang lebih baik dengan kue-kue yang dimasaknya setelah ia di DO dari Harvard University. Seperti HC yang mulai membuka pikiran akan kebahagiaan lain di dunia ini selain dari rutinitas pekerjaan. Kebahagian yang begitu sederhana dari sekeping kue coklat dan segelas susu hangat. Kebahagiaan yang makin lengkap setelah mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih yang juga menegaskan pendapat bahwa “orang-orang yang membencimu pada akhirnya akan mencintaimu”

Tentu saja filmnya tidak berakhir sampai di sini saja. HC pada akhirnya dapat menemukan sang narator. Dia adalah Karen Eiffel (KE), seorang penulis novel tragedi. Dari delapan novel yang selesai ditulisnya, semua tokoh utamanya mati. Mereka mati sebagai pahlawan, namun ceritanya akan selalu hidup. Sebelum pertemuan itu terjadi KE telah menemukan cara yang tepat untuk membunuh tokoh HC dalam novelnya. Kematian yang sangat sederhana dan tentu saja tragis.

KE sama sekali tidak menyangka bahwa tokoh HC dalam novelnya benar adanya dalam kenyataan. Deskripsi fisik, pakaian dan pekerjaan sama sekali, hingga ia merasa bahwa itu semua hanyalah sebuah lelucon. Dalam pertemuan ini HC memaksa KE untuk mengubah akhir ceritanya, agar ia masih tetap hidup. Namun takdir tokoh HC akan ditentukan oleh dua huruf yang belum selesai dituliskan “Harold Crick was de…”

Dalam STF terdapat beberapa tokoh dalam kolase lainnya seperti; perempuan kulit hitam pencari kerja, seorang bocah dengan sepeda barunya, serta seorang pengarang yang selalu mengumpulkan puntung rokoknya dengan tisu. Kolase-kolase ini pada awalnya kelihatan terpisah dan tidak bersambungan sama sekali. Sedikit pintu rahasia yang dibukakan oleh sutradaranya adalah ketika KE mencari-cari cara untuk membunuh Harold Crick. Namun, Harold Crick di sini tidak dijelaskan sebagai tokoh dalam novel atau sebagai kenyataan. Hingga kemisteriusan dari nama Harold Crick semakin tinggi. Pada bagian akhir dari ceritanya semua kolase itu diikat dalam satu scene yang sangat apik. HC tertabrak oleh bus ketika berusaha menyelamatkan bocah yang terjatuh dari sepedanya.



***


Pengarang mati berkali-kali dalam karyanya, barangkali kalimat itu dapat diartikan secara harfiah untuk KE yang melakukan riset untuk membunuh tokoh HC dalam novelnya, ia mencoba membayangkan HC mati karena melompat dari gedung,. Ia rasakan pula kehujanan dekat jembatan ketika mobilnya terjun ke sungai karena menghindari bocah bersepeda. Membayangkan HC mati karena pneumonia, atau mati tertempak geng bersenjata. Riset KE yang paling menarik adalah ketika ia mengunjungi rumah sakit untuk melihat keadaan orang-orang yang sekarat, hingga ia dianggap sebagai orang gila. Semua itu dilakukannya untuk mendapatkan rangsangan visual untuk menulis ceritanya.  

            KE penulis novel-novel tragedi, telah menerbitkan delapan novel yang semua tokoh utamanya mati. Harold Crick menjadi tokoh utama dalam novel terakhirnya yang bertema interkonektivitas fashion. HC tidak bisa lepas dari jam tangannya yang telah mengontrol hidupya selama 12 tahun. KE telah melakukan berbagai riset namun belum juga menemukan cara yang tepat untuk membunuh HC.

            Inspirasi dapat datang dengan tiba-tiba tanpa aba-aba. Seperti ia menemukan cara untuk membunuh HC ketika keluar dari toko melihat apel yang berjatuhan dari onggokannya lalu berguling ke jalan raya. Membunuh seorang tokoh dalam cerita kadang dapat dilakukan dengan sederhana. Barangkali hal ini dapat digunakan untuk sebaliknya, ketika pengarang ingin menghidupkan seorang tokoh dalam ceritanya.


            Cerita yang beraliran tragedi selalu diidentikan dengan kematian tokoh utamanya. Pengarang selalu merdeka dalam membunuh tokoh dalam ceritanya. Namun ketika kematian dalam cerita/fiksi dihadapkan dengan kematian dalam kenyataan akan menghadirkan benturan dan dilema. Dalam fiksi kematian dibuat seolah-olah nyata, sedangkan dalam kenyataan kematian diinginkan seolah-olah fiksi. Sifat alami dari sebuah cerita tragedi adalah kematian tokoh utamanya namun ceritanya tetap berlanjut.

            STF mencoba untuk mengubah mainstream seperti itu. Tragedi tidak harus berakhir dengan kematian. Tokoh utama HC pada akhirnya terselamatkan oleh pecahan jam tangannyayang mencegah pendarahan di pembulu nadinya. Walau Prof. Hilbert menyatakan jika HC mati maka novelnya KE itu akan menajdi masterpiece dalam karyanya. Namun pendapat KE dapat membantahnya. Tokoh yang tahu dia akan mati dan dia menerima kematiannya, lalu dia mencoba untuk menggagalkan, adalah tokoh yang pantas untuk selalu dihidupkan. Cerita-cerita baru akan mengalir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar