Malam ini ia mucul begitu gagahnya tanpa
malu-malu seperti biasa. Dadanya membusung dan langkahnya pasti menghampiriku. “Aku
akan pergi malam ini, namun sebelumnya aku akan ceritakan siapa aku yang
sebenarnya” dia membuka perbincangan. Aku dengan sepenuh usaha mendengarkannya
diantara suara televisi yang memenuhi kamar ini.
Aku bangun pagi setelah kotaku diterangi
dan hangat oleh matahari. Menunaikan kewajibanku melampui batas yang sebaiknya.
Mengulangi tidur adalah kesenangan yang aku nikmati dan semacam menjadi
olahraga bagi detak jantung saat telinga mendengar bunyi pagar atau pintu dibuka,
barangkali itu pimpinanku. Kadang olahraga pagi yang sebenarnya membuat detak
jantung semakin kencang, namun tidak sesering akibat mendengar bunyi pintu atau
pagar.
Suatu aturan yang tidak tertulis kadang
aku anggap sebagai sebuah kebebasan. Aku mulai bekerja menurut jam kemauanku,
jam yang begitu lentur bahkan bisa diulur sepanjang ketidaksadaran. Aku tidak
terobsesi dengan kemampuan maksimal yang bisa dikeluarkan oleh diriku atau
hasil terbaik yang bisa diberikan kepada orang lain. Aku menjalani waktu dengan
tingkah laku yang akan aku sesali sejadi-jadinya pada waktu yang akan datang.
Hal-hal yang sebenarnya tidak menarik dan
tidak penting akan jadi menarik pada saat melakukan sesuatu yang penting,
bahkan genting. Aku seringkali dan mungkin senang terlena dalam hal itu, hingga
hal-hal penting dan mimpiku telah dimakan waktu. Aku seperti berjalan ke
belakang dan waktu semakin cepat maju ke depan.
Aku malu kepada orang tuaku, pasanganku,
pimpinanku, rekan kerjaku, bahkan kepada office
boy di kantorku yang memiliki
ketekunan dan kesungguhan dalam melakukan kewajibannya. Di atas semua orang itu
aku sangat malu kepada diriku sendiri. Waktu dan kesempatan telah aku gunakan
untuk kesia-siaan. Kesia-siaan dalam mimpi-mimpi besar tanpa mau bangkit dari
tempat tidur. Aku malu, aku sangat malu. Karena itu aku ingin pergi.
“Aku akan pergi malam ini!” katanya, “dari
tubuhmu”.
24 01 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar