Saya tertarik menulis tentang merasa bahagia setelah melihat video ibu Eileen Rachman saat mengisi acara TEDx
UI. Sebelumnya, pagi harinya saya berbincang dengan bang Nova, tentang
situasi di kantor yang sekarang ini berjalan sangat dinamis. Salah satu kunci
kedinamisan itu adalah merasa bahagia, mengisi hari-hari dengan senyuman dan
tertawa. Menurut ibu Eileen kebahagiaan itu mengalir dalam darah manusia.
Menurut saya dalam menyambung pendapat bu Elileen, kita tidak perlu melukai
kulit untuk melihat kebahagiaan itu keluar, cukup dirasakan saja. Lalu
bagaimana cara merasakannya?
Merasa bahagia adalah bagian dari
perspektif dalam menjalani hidup, setiap manusia bebas memilih untuk merasa
bahagia atau tidak. Tapi siapa sih di
dunia ini yang tidak ingin merasa bahagia? Telah banyak orang menjelaskan
perihal perbedaan bahagia dan merasa bahagia yang jauh berbeda itu. Saya lebih
tertarik untuk menuliskan merasa bahagia versi saya dan momen-momen yang
membuat saya bahagia. Merasa bahagia versi saya tentu berbeda dengan merasa bahagia
versi anda, namun tidak tertutup kemungkinan bisa sama yang mungkin saja
kapasitasnya berbeda. Ah, tidak perlulah kita mencari persamaan atau perbedaan
dalam merasa bahagia, cukuplah dinikmati saja.
Untuk merasa bahagia yang diperlukan hanya
perasaan, sederhana saja. Sudah siapkah perasaan untuk merasa bahagia? Saya
berusaha selalu menyiapkan perasaan untuk selalu bahagia. Masih berusaha,
karena saya akui belum sepenuhnya usaha itu berhasil. Penghasilan, status,
materi, pakaian, jaringan, pertemanan dan segala hal yang menempel di diri harus bisa
membahagiakan perasaan saya. Berhasilkah? Jawabannya masih “belum”. Khayalan
saya masih dipenuhi punya penghasilan yang jauh lebih tinggi dari sekarang,
ingin punya status lebih tinggi, materi lebih banyak, jaringan dan pertemanan
lebih luas dan segalanya ingin lebih dari yang sekarang, termasuk berat badan.
Namun semua hal itu pernah membuat saya bahagia. Saya sadari itu, misalnya
ketika gajian saya membeli beberapa kebutuhan dan keinginan, datang ke suatu
acara atau nonton bioskop dengan pasangan, atau diperhatikan teman saat
dibutuhkan. Apakah merasa bahagia bisa datang dari pintu lainnya?
Merasa bahagia dari sisi yang tidak
mainstream menjadi tantangan sendiri bagi perasaan. Jika seseorang bahagia
karena cintanya diterima, wajar. Jika seseorang bahagia setelah bisa membantu
ribuan orang, membangun masjid, klub sepakbolanya menang, bertemu idola itupun
masih wajar. Sebenarnya saya begitu subjektif jika harus membedakan mana merasa
bahagia yang mainstream atau tidak. Begini saja, saya merasakan kebahagiaan
baru yang belum pernah saya rasakan sebelumnya dan saya yakin tidak semua orang
setuju menganggap itu kebahagiaan. Itulah yang saya sebut merasa bahagia yang
tidak mainstream. Saya bahagia ketika dapat dengan ikhlas mengucapkan terima
kasih kepada pembantu yang mencucikan piring makan saya, saya merasa bahagia
ketika dapat nomor antrian di rumah sakit yang sangat dekat dengan nomor yang
sedang diproses, dan saya merasa bahagia jika tidak tidur lagi setelah sholat
subuh. Kapasitas merasa bahagia dari hal-hal di atas memang tidak sebesar
kebahagiaan saya jika mendapatkan uang 1 milyar atau bisa membuat 1 juta orang
tersenyum. Namun kapasitasnya cukup membuat saya tersenyum walaupun belum
mendapatkan 1 milyar tersebut.
Kebahagiaan mengalir dalam darah. Apapun
yang dilakukan seharusnya dapat menciptakan kebahagiaan dan bisa dirasakan.
Ada orang yang senang bekerja, bekerja membuat ia merasa bahagia. Ada orang
yang senang mengeluh, ketika keluhannya ditanggapi dia merasa bahagia. Jika
semua hal bisa menciptakan kebahagiaan, lalu di manakah kebahagiaan itu
tersembunyi hingga tidak semua orang merasakannya. Menurut saya kebahagiaan itu
berada sedikit di belakang ekspektasi dan ambisi dan sedikit di depan pikiran. Jika
ekspektasi dan ambisi bisa melongokkan kepalanya ke belakang dan pikiran
bergerak ke depan di situlah bahagia akan dirasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar