12 November 2012

"Ini siapa?" : Sebuah Pertanyaan Kecil yang Menjengkelkan

Semua hal besar memiliki kemungkinan besar berasal dari hal-hal kecil. Ketika hal kecil disepelekan bisa jadi kita telah menyepelekan awal suatu perubahan besar. Hal kecil yang disepelekan dan barangkali terjadi berkali-kali tanpa disadari telah menjadi dinamit yang siap meledak. Mengabaikan hal-hal kecil bagai menumpuk mesiu di pundak, dan waktu akan menjadi pemantiknya. Kurang pekanya terhadap rangsangan dan takutnya berimajinasi merupakan sebab terabaikannya hal-hal kecil tersebut.

Seringkali kekesalan saya timbul karena pertanyaan ini siapa? setelah mengirim pesan pendek kepada seseorang. Pesan yang saya kirim tidaklah sekadar sapaan yang bertendensi menggoda namun mengenai suatu keadaan atau kepentingan di antara kedua pihak. Kejadian ini siapa? tersebut sudah pasti disebabkan nama si pengirim tidak muncul di ponsel si penerima. Saya tidak tahu alasan mengapa nama saya tidak tampil di ponselnya padahal kita pernah berkomunikasi sebelumnya. Namun ketika ada keadaan atau kepentingan yang dapat merujuk ke suatu hal atau ke seseorang, selayaknyalah menjawab pertanyaan yang disampaikan terlebih dahulu, lalu menanyakan siapa pengirimnya jika masih ragu.

Saya tidak habis pikir dengan orang-orang yang setelah membaca pesan masuk langsung mengetik ini siapa? dan mengirimnya tanpa menjawab atau menanggapi isi dari pesan tersebut. Begitu malaskah dia menduga-duga siapa yang menghubunginya atau begitu pentingkah dia mengetahui orang lain untuk berbagi informasi. Mas, bahan untuk tugas kelompok kita sudah saya peroleh. Kamu di mana sekarang? Saya ingin menyerahkannya. Ini adalah contoh pesan pendek saya kepada seseorang setelah beberapa jam sebelumnya dia menunjuk saya untuk mencari bahan tugas kelompok. Saya berpikir dia akan mengatakan keberadaannya agar saya bisa menyerahkan bahan tersebut secepatnya. Namun ini siapa? menjadi balasan yang saya terima. Siang itu matahari terasa lebih dekat ke bumi.

Ini siapa? Menurut saya adalah pertanyaan yang mengarah pada ketidakpedulian terhadap suatu kepentingan dan keengganan untuk berpikir. Walau kelihatan kecil, pertanyaan tersebut tidak efisien dan terkesan membuang-buang waktu. Jika pertanyaan itu dilontarkan atas dasar menjaga sebuah informasi, perlu ditelusuri dulu seberapa penting informasi yang kita jaga tersebut. Apakah orang tersebut menanyakan kode brankasmu atau menayakan posisimu bercinta tadi malam hingga kamu perlu tahu dengan jelas siapa pengirim pesan tersebut. Menurut saya pertanyaan tersebut adalah bentuk dari kebudayaan subjektif yang menjangkiti masyarakat dan bangsa kita. Orang-orang lebih peduli kepada “siapa” yang menyampaikan daripada “apa” yang dia sampaikan.

Saya juga sering menerima pesan pendek dari nomor yang tidak saya kenal, namun saya selalu berusaha untuk menanggapi isi pesan tersebut sebelum menanyakan siapa pengirimnya. Hal itupun saya lakukan jika tidak ada pertanda akan diri si pengirim. Saya mencoba keluar dari pemikiran subjektif yang lebih mementingkan “siapa” daripada “apa” tersebut. Berpikir secara objektif membuat saya menemukan kenikmatan lain dalam kehidupan ini. Kenikmatan dari hal kecil. Saya tidak ingin mengirim ini siapa? tanpa disengaja jika nantinya ada pesan dari nomor yang tidak dikenal mengatakan: orang tuamu sedang sakratul maut, dia ingin melihatmu secepatnya. Semoga saya tidak mendapat kedua pesan tersebut. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar