12 November 2012

HULU LEDAK: Sebuah Perasaan Kebangkitan Setelah Penolakan

Saya merasa jemari saya lebih cepat menanggapi pikiran saya dibandingkan laptop—yang agak bermasalah--teman yang saya pinjam untuk mengetik tulisan ini sebelumnya, hingga saya memakai komputer saya sendiri untuk menyelesaikan tulisan ini. Semangat saya dalam menyelesaikan tulisan ini tidak datang begitu saja. Setelah melewati masa kecewa dan putus asa yang membuat saya menjadi pasif selama dua hari, seakan saya merasakan diri saya yang paling tua. Selama dua hari saya menghabiskan waktu dalam kamar hanya untuk tidur dan melamun. Jam tidur saya menjadi dua kali lipat dibandingkan biasanya.

    Kekecewaan saya bermula dari gagalnya diterima bekerja pada sebuah perusahaan pembiayaan keuangan. Setelah melakukan  seleksi wawancara yang merupakan seleksi terakhir sebelum tes kesehatan, pihak perusahaan mengatakan akan menghubungi saya pada hari Rabu. Sepanjang hari Rabu tersebut saya menunggu adanya panggilan atau pesan masuk di telepon seluler saya. Bagai menunggu bulan jatuh saya menantikan panggilan dan pesan tersebut. Seperti biasanya saya selalu berpikir kemungkinan terbaik pada setiap keadaan. Saya rasa pihak perusahaan terlambat menghubungi dengan kemungkinan akan menghubungi saya pada hari selanjutnya. Seperti hari pertama penantian saya, hari selanjutnya pun tidak ada panggilan atau pesan masuk dari perusahaan. Keadaan diperparah oleh bergemingnya telepon seluler saya selama dua hari tersebut. Jikapun ada pesan masuk atau panggilan dari nomor yang tidak dikenal paling tidak dapat menimbulkan getaran dan harapan pada diri saya.

    Selama dua hari tersebut saya meyerahkan diri pada siksaan kegagalan. Beranjak dari kamar untuk membeli makanpun saya merasa berat. Pada akhirnya saya merasa harus membagi, lebih tepatnya menceritakan beban saya ini kepada orang-orang terdekat saya. Awalnya saya menceritakan masalah ini kepada seorang perempuan yang menjadi teman saya dalam komunitas Lacikata. Perlahan saya mendapat pencerahan namun belum mampu menerangi sepenuhnya langkah saya pada hari-hari berikutnya. Lalu saya menceritakan perihal kegagalan dan keadaan yang saya alami kepada orang tua saya—vaksin paling ampuh walaupun untuk virus paling mematikan di dunia ini—Ibu.

    Bagi saya seorang Ibu lebih berkhasiat dari obat-obatan apapun terhadap sakit yang saya derita. Nasihat dan motivasinya yang walaupun sederhana dan itu-itu saja, lebih mujarab dibandingkan motivasi dari motivator-motivator handal yang sering muncul dalam televisi atau memberikan kuliah di jejaring sosial. Bagai sikat kain yang digosokkan pada noda pakaian secara berulang kali, kekecewaan dan rasa putus asa saya terkikis habis. Langkah-langkah sederhana mulai saya jalani, seperti mencari lowongan baru di internet, mengikuti job fair, dan mencari tahu tips-tips dalam proses seleksi wawancara pekerjaan.


    Menurut saya motivasi atau petuah yang melepaskan kita dari kekecewaan dan rasa putus asa barulah sekadar obat bius sementara terhadap rasa sakit. Ia belum dapat menyembutkan rasa sakit yang diderita. Penyembuhan dari rasa sakit tersebut adalah tindakan nyata atau langkah baru yang kita ambil. Saya mencoba memahami lebih lanjut tentang jenis pekerjaan yang saya inginkan, teknik dalam wawancara, serta pemilihan diksi yang tepat dalam menjawab pertanyaan pewawancara.

    Saat ini saya merasa bersyukur atas kegagalan saya sebelumnya. Saya mengetahui lebih dalam kelemahan dan kelebihan diri saya. Saya mendapat banyak pelajaran berharga yang akan membantu saya menatap masa depan. Bahkan saya merasa mampu menggapai pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan di perusahaan yang tidak menerima saya. Penolakan yang saya terima menjadi hulu ledak bagi semangat saya hari ini dan hari-hari selanjutnya, termasuk dalam menuntaskan tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar